Sabtu, 04 Juni 2016

Menjiwai Pancasila

Menjiwai Pancasila

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pancasila sedang naik daun. Terlebih, kemarin, 1 Juni, dikenang sebagai Hari Lahir Pancasila. Mengacu pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 29 Mei-1 Juni 1945, sekitar dua bulanan sebelum Indonesia merdeka, Moh Yamin, Soepomo, Soekarno (Bung Karno) berpidato tentang falsafah dan asas negara. Bung Karno akhirnya mengusulkan nama Pancasila. Presiden Joko Widodo pun menerbitkan Keppres Nomor 24 Tahun 2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan ditetapkan sebagai hari libur nasional, walau efektif mulai tahun depan.

Pancasila pun menjadi sakral. Namun, di era kekuasaan Bung Karno (Orde Lama), Pancasila justru merupakan bagian dari Panca Azimat Revolusi, ajaran Bung Karno yang merupakan pengejawantahan seluruh jiwa nasional, meliputi Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol Usdek (1959), Trisakti (1964), Berdikari (1965). Puncak sakralisasi terjadi pada era Soeharto (Orde Baru). Bahkan, muncul istilah Demokrasi Pancasila, yang kontras bedanya dengan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Demokrasi Liberal (1950-1959).

Pada era Soeharto, indoktrinasi Pancasila begitu masif dan meluas. Berbeda pendapat saja dianggap anti Pancasila. Melakukan gerakan tak sesuai rezim penguasa, kecil sekalipun, dianggap merongrong Pancasila. Setiap rezim penguasa sepertinya berhak menafsir sendiri Pancasila. Pancasila pun menjadi kaku dan dogmatis. Sulit menemukan ruang terbuka penuh dialog. Pancasila seakan hidup di lahan tandus, tidak bisa tumbuh subur. Kalaupun tumbuh, ia seperti bonsai yang kerdil.

Pancasila tidak tumbuh menjadi jiwa bangsa. Padahal, menurut Bung Karno (1964), Pancasila sebagai kesatuan jiwa, manifestasi persatuan bangsa dan wilayah, dan weltanschauung bangsa Indonesia. Dalam pendekatan perilaku politik (behavioralis) yang dianut, misalnya David Easton (1917-2014), barangkali inilah kegagalan bekerjanya sistem politik (negara) sebagai subsistem dari sistem sosial (masyarakat). Pendekatan behavioralis menyatakan, bagian-bagian subsistem saling berinteraksi dan bekerja sama untuk menopang sistem itu.

Tak heran, hal itu menjadi perjalanan bangsa penuh derita. Bung Karno telah melukiskan fase derita bangsa ini. Dalam pidato bertajuk Penemuan Kembali Revolusi Kita pada peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, Bung Karno membuat ilustrasi dirinya dalam perjalanan bangsa yang baru seumur jagung. Ia mengutip Dante Alighieri (1265-1321), pujangga Italia yang menulis Divina Commedia. Dante melakukan perjalanan penuh penderitaan dari neraka (inferno), kemudian mengalami segala macam penyucian di tempat penyucian (purgotario), akhirnya ia menuju surga (paradiso).

"Saya merasa seperti Dante dalam Divina Commedia itu. Saya merasa bahwa revolusi kita ini pun menderita siksaan segala macam setannya neraka, segala macam penderitaannya inferno, dan kemudian dengan kembali kita ke UUD 1945, kini sedang mengalami penyucian agar nanti kita bisa memasuki surga. Kita sedang dalam purgotario, sedang dicuci dari segala kekotoran, sedang dalam louteringsproces (proses pemurnian) dalam segala hal agar nanti jika kita sudah tercuci, sudah gelouterd (halus) kita dapat memasuki kebahagiaan paradiso- nya masyarakat adil dan makmur," ujar Bung Karno.

Pada masa revolusi, Bung Karno mengidentifikasi gambaran inferno yang dipenuhi dengan terkaman setan-setan seperti liberalisme, federalisme, individualisme, sukuisme, penyelewengan-penyelewengan, petualang politik, korupsi, pengeruk kekayaan negara, pemberontakan.

Hari ini gambaran inferno itu belum menghilang. Koruptor, maling uang rakyat, penjual jabatan, perusak hukum bebas berkeliaran, menunggangi demokrasi. Di depan publik, mereka mencitrakan diri sangat Pancasilais, tetapi sesungguhnya merekalah para penggergaji pilar-pilar Pancasila. Proses pencucian purgotario selama reformasi semestinya menjadi langkah untuk menuju paradiso bangsa adil dan makmur. Syaratnya, jadikan Pancasila sebagai jiwa yang hidup, bukan lagi yang kering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar