Salah Kaprah CSR
Maria R Nindita Radyati ; Pendiri
Program Magister Manajemen CSR (MM-CSR) di Universitas Trisakti
|
MEDIA INDONESIA,
01 Juni 2016
KARENA banyak
interpretasi tentang CSR (corporate
social responsibility), saya sebagai akademisi dengan bidang kekhususan
CSR merasa bertanggung jawab membagikan pengetahuan tentang ini. Banyak orang
memahami CSR sebagai kegiatan sosial
charity saja. Untuk memahami CSR yang benar, harus merujuk ISO 26000,
Panduan CSR dunia yang disepakati lebih 160 negara, termasuk RI. Kadin
Indonesia melalui Komite CSR telah membuat Panduan CSR menurut ISO 26000.
Menurut ISO 26000,
tanggung jawab sosial dapat dilakukan seluruh jenis organisasi, yakni
perusahaan maupun nonperusahaan, contoh di Indonesia termasuk PT, firma
hukum, CV, dan yayasan, koperasi, perkumpulan, organisasi massa, dan serikat
pekerja.
Definisi tanggung
jawab sosial menurut ISO 26000 ialah tanggung jawab organisasi atas dampak
keputusan dan aktivitas terhadap masyarakat dan lingkungan hidup dengan cara
transparan dan beretika, berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan.
Ruang lingkup CSR menurut ISO 26000: tata kelola organisasi, HAM, praktik
tenaga kerja, operasi bisnis yang adil, isu konsumen, lingkungan hidup, serta
pelibatan dan pengembangan komunitas. Jadi tanggung jawab sosial tidak hanya
donasi atau filantrofi meski kedua hal itu disebut dalam ISO 26000 sebagai
bagian kecil dari tanggung jawab sosial.
Selain itu pemahaman
kata social dalam bahasa Inggris
diartikan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, jadi tidak berhubungan
dengan jiwa sosial (suka menolong dan memberi sumbangan), sedangkan di
Indonesia, kata itu dipersepsikan demikian. Oleh sebab itu, ketika CSR
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab sosial
perusahaan, Kementerian Sosial menganggap kegiatan itu harus di bawah
koordinasinya. Jika mengikuti kesepakatan dunia, CSR justru sangat berkaitan
dengan bisnis bukan sosial dalam persepsi Indonesia, melainkan bisnis yang
berkelanjutan.
Dengan memahami
definisi CSR berdasarkan ISO 26000, CSR adalah tanggung jawab seluruh
departemen dalam perusahaan. Hal itu disebabkan seluruh departemen harus
mengambil keputusan dan melakukan aktivitas, yang akan menghasilkan dampak
kepada masyarakat dan lingkungan hidup.
Collective action atau gotong royong
Oleh sebab itu, secara
tidak langsung ISO 26000 menyatakan CSR harus dilakukan secara
bergotong-royong, kerja sama di antara seluruh departemen dalam perusahaan.
Dalam konteks daerah di Indonesia, untuk mengatasi persoalan masyarakat
(sosial dalam konteks bahasa Inggris) caranya menyelesaikan akar persoalan
bersama-sama, bergotong royong.
Persoalan perilaku
masyarakat yang membuang sampah sembarangan, di jalan dan di sungai, yang
dapat menyebabkan banjir, merupakan tanggung jawab kita semua. Solusinya, mengubah
perilaku masyarakat dan menciptakan social punishment secara gotong royong.
Misalnya, pemerintah daerah (pemda) membuat kampanye berupa video pendek
untuk membuat masyarakat malu membuang sampah dan menciptakan social punishment.
Setelah itu, pemda
mengajak kolaborasi kantor-kantor dan apartemen, melalui CSR mereka, untuk
turut berpartisipasi membersihkan lingkungan di sekitar sungai, membuat
taman, dan mendidik masyarakat tidak membuang sampah ke sungai. Hal itu
membantu perusahaan melakukan CSR di bidang lingkungan hidup.
Kemudian pemda dapat
mengimbau media TV melalui CSR mereka untuk mengalokasikan 2-3 menit sebanyak
5-10 kali dalam 1 hari untuk menayangkan video kampanye revolusi mental itu.
Hal itu membantu CSR industri media di bidang yang sangat berkaitan dengan
nature of business mereka. Dengan demikian, akan tercipta CSR dan
penyelesaian persoalan masyarakat secara bergotong royong.
Pemerintah sebagai fasilitator
Di lain aspek,
pemerintah dapat menjadi fasilitator antara perusahaan, masyarakat, dan pihak
lain dalam melakukan CSR mereka. Misalnya dengan menyediakan data tentang
persoalan masyarakat, kebutuhan masyarakat, dan potensi masyarakat di daerah
mereka kepada perusahaan yang membutuhkan untuk keperluan merencanakan
program CSR.
Pemda dapat bekerja
sama dengan universitas dalam melakukan needs
assessment tersebut. Dengan demikian, tercipta open government untuk penyediaan data kepada para perusahaan
sehingga kegiatan CSR yang dilakukan tepat sasaran karena berdasarkan hasil
penelitian. Fasilitasi dapat dilakukan dengan melaksanakan koordinasi antara
agenda pembangunan dan rencana program CSR sehingga tercipta sinergi.
Jika pemda hanya
menyelesaikan persoalan sendiri, tanpa koordinasi dengan perusahaan dan tidak
mengajak rakyat bergotong-royong, tidak dapat memberikan hasil optimal.
Risiko korupsi
Jika pemerintah
memaksakan perusahaan untuk menyerahkan dana CSR berupa persentase tertentu
dari laba bersih menjadi pooling funds
untuk disalurkan pemerintah, di sini dapat tercipta peluang korupsi. Siapa
yang akan mengawasi penggunaannya dan bagaimana mempertanggung-jawabkannya?
Persoalan penting lainnya ialah karena dananya sudah diserahkan, perusahaan
tidak dapat melakukan kegiatan community
development langsung ke masyarakat karena tidak punya uang lagi. Hal itu
membuat komunitas merasa perusahaan tidak peduli kepada mereka dan ada risiko
mereka akan melakukan demonstrasi sehingga mengganggu kelancaran operasi
perusahaan.
Jangan pula
mencampuradukkan persoalan pelanggaran hukum dengan CSR. Jika perusahaan
merusak lingkungan, diperlukan tindakan penegakan hukum oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jadi, ini bukan semata-mata tentang CSR,
melainkan merupakan pelanggaran hukum.
Jika kemiskinan tetap
terjadi di masyarakat sekitar operasi perusahaan, pemerintah setempat perlu
bekerja sama dengan universitas untuk melakukan penelitian sebab-sebab
kemiskinan. Mereka memberikan akses atas data hasil penelitian itu kepada perusahaan,
menciptakan insentif dan gotong royong dengan perusahaan untuk menyelesaikan
akar persoalan kemiskinan tersebut.
Open government, collective action, dan insentif yang
diciptakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dapat meningkatkan perekonomian
setempat secara signifikan, dan hal itu patut dicontoh daerah-daerah lain.
Jadi, CSR bukan sekadar donasi, filantrofi, dan CSR tidak bisa dipaksakan
dalam bentuk penyisihan laba bersih melalui UU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar