Kamis, 04 Februari 2016

Reformulasi HPP Gabah dan Beras

Reformulasi HPP Gabah dan Beras

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”; Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
                                               KORAN SINDO, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki 2016, segenap awak Perum Bulog dihinggapi perasaan waswas. Sebagai operator dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah, penjaga iron stock, penyalur Raskin, dan pembeli gabah/beras dalam negeri sebagai jaminan harga dan pasar produksi petani nasional Bulog belum punya pegangan pasti dalam bekerja.

Mengacu tahuntahun sebelumnya, pergantian tahun biasanya diikuti penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras. Perubahan itu dituangkan dalam instruksi presiden yang disebut Inpres Perberasan. Apakah tahun ini ada inpres baru? Pertanyaan ini penting diajukan karena dua hal.

Pertama, Inpres Perberasan yang terakhir No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah terbukti mandul. Inpres mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksana, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapayangmelakukankoordinasi dan evaluasi.

Yang tak diatur pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (semula Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300kg (semula Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%-12%. Sampai tutup 2015, pengadaan Bulog jauh dari harapan.

Meskipun direksi baru yang mulai menjabat Juni 2015 mengerahkan segala jurus, total pembelian satu tahun untuk melayani kebutuhan Raskin hanya meraih 1,98 juta ton (beras medium) dan pembelian komersial 0,7 juta ton. Pengadaan (beras medium) ini jauh dari target internal (2,7 juta ton) dan target pemerintah (4 juta ton).

Bulog kalah gesit dan tidak berdaya melawan pedagang/ penggilingan padi besar yang bergerak door to door menggunakan kaki dan tangan hingga di level petani. Apalagi, harga gabah/beras selalu di atas HPP. Kalau HPP dinaikkan lewat inpres baru, mendekati harga pasar misalnya, ada peluang pengadaan gabah/beras Bulog membaik.

Masalahnya, kenaikan HPP akan jadi referensi kenaikan harga gabah/beras untuk semua jenis kualitas, memicu instabilitas harga, dan harga beras sulit turun pada tingkat yang wajar. Saat ini harga beras domestik kira-kira dua kali lipat dari harga beras di pasar dunia. Kalau HPP dinaikkan, pertanyaannya kemudian, bagaimanakah daya saing beras kita saat kita memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?

Daya saing beras kita yang sudah rendah tentu akan semakin terpuruk. Kedua, dalam beberapa tahun terakhir target pengadaan beras oleh Bulog terus diperbesar: dari 6%-7% pada 1990-an menjadi 8%-9% pada 2000-an, dan pada era Jokowi-JK menjadi 10%-12% dari produksi nasional. Roh pembentukan dan operasi Bulog adalah buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi.

Bulog menyerap surplus produksi, berapa pun besarnya, untuk menghindari harga jatuh. Apabila harga di atas HPP, seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir, secara otomatis Bulog tidak perlu intervensi pasar lagi. Inilah khitah keberadaan dan pembentukan Bulog. Ketika penyerapan beras Bulog diubah jadi target, ini menyalahi khitah pendirian dan operasi Bulog.

Tugas Bulog kemudian berubah menjadi membeli pada harga beli yang ditetapkan (HPP), baik saat harga jatuh atau tidak. Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas, yaitu membeli sejumlah tertentu beras/gabah (untuk kebutuhan cadangan nasional dan Raskin) pada harga yang ditentukan.

Karena sifatnya pada target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi residual. Perubahan ini amat mendasar. Bila operasi Bulog diubah jadi sistem target, itu perlu kebijakan yang berbeda. Kebijakan itu diperlukan agar tak ada kambing hitam atas kinerja direksi Bulog.

Pertama, kebijakan harga tunggal atau harga beras medium sejak 1969 selain melawan pergerakan harga dan kualitas (harga tinggi dan kualitas baik saat panen gadu dan paceklik, serta harga rendah dan kualitas rendah saat panen raya) juga tidak memiliki alas pijak kokoh. Di pasar ada lebih dari satu kualitas beras.

Di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta ada 17- an jenis beras, di toko-toko kelontong ada 3-5 jenis beras. Kebijakan harga tunggal mengingkari pergerakan harga gabah/beras sesuai musim dan segmentasi pasar sesuai preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.

Kebijakan harga tunggal juga menyulitkan pemerintah dalam intervensi harga lewat operasi pasar. Dengan satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar mampu meredam gejolak harga semua jenis beras di pasar. Operasi pasar menjadi tidak efektif. Ke depan bisa diterapkan kebijakan HPP dua kualitas: medium dan premium. Bedanya mencolok.

Kualitas medium kadar air (KA) 14%, derajat sosoh (DS) minimal 95%, beras patah (BP) maksimal 20%, dan beras menir (BM) maksimal 2%. Sedangkan kualitas premium, KA 14%, DS 100%, BP maksimal 5%, dan BM maksimal 0%. Kualitas medium diserap saat panen raya (Januari-Mei), sedangkan kualitas premium mulai panen gadu atau Juni. Dengan cara ini, target penyerapan beras oleh Bulog berpeluang tercapai.

Kedua, kebijakan pengadaan multikualitas harus dikombinasikan dengan aturan pemerintah yang mewajibkan penggilingan menyetor 5%-10% beras (bergantung besar kecil kapasitas penggilingan) yang dikuasai ke Bulog. Sebagai ganti kewajiban itu, pemerintah bisa memberikan insentif dalam bentuk keringanan pajak misalnya.

Dengan dua kebijakan ini, empat hal diraih sekaligus: Bulog menguasai stok beras publik dengan dua kualitas, operasi pasar akan lebih efektif, pertanggungjawaban fisik dan administrasi akan lebih mudah, serta bila ada kelebihan stok cadangan, beras pemerintah lebih mudah disalurkan, baik untuk ekspor atau bantuan pangan internasional. Selain itu, dengan ada beras premium biaya pemeliharaan juga lebih murah dengan daya simpan lebih lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar