Reformulasi HPP Gabah dan Beras
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat;
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”;
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN SINDO, 03
Februari 2016
Memasuki 2016, segenap
awak Perum Bulog dihinggapi perasaan waswas. Sebagai operator dalam
pengelolaan cadangan beras pemerintah, penjaga iron stock, penyalur Raskin,
dan pembeli gabah/beras dalam negeri sebagai jaminan harga dan pasar produksi
petani nasional Bulog belum punya pegangan pasti dalam bekerja.
Mengacu tahuntahun
sebelumnya, pergantian tahun biasanya diikuti penyesuaian harga pembelian
pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras. Perubahan itu dituangkan
dalam instruksi presiden yang disebut Inpres Perberasan. Apakah tahun ini ada
inpres baru? Pertanyaan ini penting diajukan karena dua hal.
Pertama, Inpres
Perberasan yang terakhir No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras
dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah terbukti mandul. Inpres mengatur harga
pembelian, menunjuk pelaksana, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa,
serta menunjuk siapayangmelakukankoordinasi dan evaluasi.
Yang tak diatur pola
pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kerugian. Harga
gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering
giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (semula Rp4.200/kg), dan beras di gudang
Bulog Rp7.300kg (semula Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%-12%. Sampai tutup
2015, pengadaan Bulog jauh dari harapan.
Meskipun direksi baru
yang mulai menjabat Juni 2015 mengerahkan segala jurus, total pembelian satu
tahun untuk melayani kebutuhan Raskin hanya meraih 1,98 juta ton (beras
medium) dan pembelian komersial 0,7 juta ton. Pengadaan (beras medium) ini
jauh dari target internal (2,7 juta ton) dan target pemerintah (4 juta ton).
Bulog kalah gesit dan
tidak berdaya melawan pedagang/ penggilingan padi besar yang bergerak door to
door menggunakan kaki dan tangan hingga di level petani. Apalagi, harga
gabah/beras selalu di atas HPP. Kalau HPP dinaikkan lewat inpres baru,
mendekati harga pasar misalnya, ada peluang pengadaan gabah/beras Bulog
membaik.
Masalahnya, kenaikan
HPP akan jadi referensi kenaikan harga gabah/beras untuk semua jenis
kualitas, memicu instabilitas harga, dan harga beras sulit turun pada tingkat
yang wajar. Saat ini harga beras domestik kira-kira dua kali lipat dari harga
beras di pasar dunia. Kalau HPP dinaikkan, pertanyaannya kemudian,
bagaimanakah daya saing beras kita saat kita memasuki Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA)?
Daya saing beras kita
yang sudah rendah tentu akan semakin terpuruk. Kedua, dalam beberapa tahun
terakhir target pengadaan beras oleh Bulog terus diperbesar: dari 6%-7% pada
1990-an menjadi 8%-9% pada 2000-an, dan pada era Jokowi-JK menjadi 10%-12%
dari produksi nasional. Roh pembentukan dan operasi Bulog adalah buyer of the last resort atau pembeli
terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi.
Bulog menyerap surplus
produksi, berapa pun besarnya, untuk menghindari harga jatuh. Apabila harga
di atas HPP, seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir, secara otomatis
Bulog tidak perlu intervensi pasar lagi. Inilah khitah keberadaan dan
pembentukan Bulog. Ketika penyerapan beras Bulog diubah jadi target, ini
menyalahi khitah pendirian dan operasi Bulog.
Tugas Bulog kemudian
berubah menjadi membeli pada harga beli yang ditetapkan (HPP), baik saat
harga jatuh atau tidak. Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas, yaitu membeli
sejumlah tertentu beras/gabah (untuk kebutuhan cadangan nasional dan Raskin)
pada harga yang ditentukan.
Karena sifatnya pada
target kuantum, pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi
residual. Perubahan ini amat mendasar. Bila operasi Bulog diubah jadi sistem
target, itu perlu kebijakan yang berbeda. Kebijakan itu diperlukan agar tak
ada kambing hitam atas kinerja direksi Bulog.
Pertama, kebijakan
harga tunggal atau harga beras medium sejak 1969 selain melawan pergerakan
harga dan kualitas (harga tinggi dan kualitas baik saat panen gadu dan
paceklik, serta harga rendah dan kualitas rendah saat panen raya) juga tidak
memiliki alas pijak kokoh. Di pasar ada lebih dari satu kualitas beras.
Di Pasar Induk Beras
Cipinang Jakarta ada 17- an jenis beras, di toko-toko kelontong ada 3-5 jenis
beras. Kebijakan harga tunggal mengingkari pergerakan harga gabah/beras
sesuai musim dan segmentasi pasar sesuai preferensi konsumen: segmen
menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang
mengonsumsi beras medium.
Kebijakan harga
tunggal juga menyulitkan pemerintah dalam intervensi harga lewat operasi
pasar. Dengan satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil
operasi pasar mampu meredam gejolak harga semua jenis beras di pasar. Operasi
pasar menjadi tidak efektif. Ke depan bisa diterapkan kebijakan HPP dua
kualitas: medium dan premium. Bedanya mencolok.
Kualitas medium kadar
air (KA) 14%, derajat sosoh (DS) minimal 95%, beras patah (BP) maksimal 20%,
dan beras menir (BM) maksimal 2%. Sedangkan kualitas premium, KA 14%, DS
100%, BP maksimal 5%, dan BM maksimal 0%. Kualitas medium diserap saat panen
raya (Januari-Mei), sedangkan kualitas premium mulai panen gadu atau Juni.
Dengan cara ini, target penyerapan beras oleh Bulog berpeluang tercapai.
Kedua, kebijakan
pengadaan multikualitas harus dikombinasikan dengan aturan pemerintah yang
mewajibkan penggilingan menyetor 5%-10% beras (bergantung besar kecil
kapasitas penggilingan) yang dikuasai ke Bulog. Sebagai ganti kewajiban itu,
pemerintah bisa memberikan insentif dalam bentuk keringanan pajak misalnya.
Dengan dua kebijakan
ini, empat hal diraih sekaligus: Bulog menguasai stok beras publik dengan dua
kualitas, operasi pasar akan lebih efektif, pertanggungjawaban fisik dan
administrasi akan lebih mudah, serta bila ada kelebihan stok cadangan, beras
pemerintah lebih mudah disalurkan, baik untuk ekspor atau bantuan pangan
internasional. Selain itu, dengan ada beras premium biaya pemeliharaan juga
lebih murah dengan daya simpan lebih lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar