Transparansi Proyek Kereta Cepat
Novi Basuki ; Alumnus Huaqiao University dan Xiamen
University, Tiongkok
|
JAWA POS, 03
Februari 2016
SETELAH groundbreaking
proyek kereta cepat (high-speed train/
HST) Jakarta–Bandung oleh Presiden Joko Widodo (21/1), pro dan kontra terus
mengemuka. Ada kesan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan ”adu mulut”
mempertahankan argumentasi masing-masing. Tidak hanya di Indonesia, di Weibo
–media sosial Tiongkok serupa Twitter– ramai sekali cuitan publik Negeri
Panda tentang kelangsungan proyek pengejawantahan inisiatif ” gaotie waijiao”
(diplomasi kereta cepat) Presiden Xi Jinping di Indonesia tersebut.
Bukan hal yang tidak masuk akal apabila Joko
Widodo ingin Indonesia segera memiliki HST. Sebab, sejarah perkeretaapian di
Indonesia sangatlah panjang. Sepeninggal Belanda, rel yang berhasil dibangun
–tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan Kalimantan– tidak kurang dari
6.110 kilometer. Mestinya perkeretaapian di negara kita sudah semaju Jepang
dengan Shinkansennya, Prancis dengan Train
à Grande Vitesse-nya, dan Tiongkok dengan Zhongguo Tielu Gaosu Lieche-nya.
Pula, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor
23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Peraturan Pemerintah (PP) 56/2009
tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, kereta api harus menjadi moda utama
transportasi masal nasional, menjadi tulang punggung angkutan barang dan
penumpang. Sebagai turunan dari UU dan PP tersebut, pemerintah kemudian
merumuskan pedoman kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional sampai 2030
melalui rencana induk perkeretaapian nasional (ripnas) dan menetapkannya
melalui Peraturan Menteri Perhubungan 43/2011.
Disebutkan dalam ripnas, untuk Pulau Jawa,
terdapat 12 rencana pengembangan jalur kereta api. Pengembangan HST ada di posisi
keenam di belakang pengembangan jaringan antarkota dengan rel ganda (double track), jaringan regional
kawasan aglomerasi, jaringan perkotaan, jaringan penghubung pusat kota dengan
bandara, dan jaringan penghubung wilayah sumber daya alam dengan pelabuhan.
Walakin, pengembangan HST sesuai ripnas hanya
ditujukan untuk lintasan Merak–Jakarta–Cirebon– Semarang–Surabaya–Banyuwangi.
Tidak ada secuil keterangan trayek HST Jakarta–Bandung di sana. Karena itu,
wajar kalau pemerintah tidak mau membiayai pembangunan HST tersebut dengan
modal negara. Sebab, memang tidak ada dasar hukumnya. Jalan keluarnya, sudah
seharusnyalah pemerintah melibatkan swasta dan mengajukan skema non-APBN:
murni business-to-business (B2B).
Tiongkok yang mempunyai jaringan HST terpanjang
di dunia (mencapai 16.000 kilometer) bersedia menggunakan model B2B itu,
menggeser Jepang yang sudah melakukan studi kelayakan lebih dulu. Lantas,
China Railway Group berkongsi dengan PT Pilar Sinergi (gabungan BUMN PT
Wijaya Karya, PT KAI, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII),
membentuk konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Dengan komposisi
saham 60 persen dimiliki pihak Indonesia dan 40 persen dikantongi pihak
Tiongkok.
Dana yang harus disuntikkan BUMN kita adalah
25 persen. Sisanya, 75 persen, merupakan utang dari China Development Bank (CDB) dengan suku bunga 2 persen, jangka waktu
pengembalian 40 tahun, grace period
10 warsa.
Derasnya kritik publik dan ”adu mulut” antar
kementerian seyogianya menjadikan proyek HST dikelola dengan penuh
kehati-hatian. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Pertama, selain
hak monopoli atau eksklusivitas, PT KCIC meminta pemerintah menjamin status
perizinan proyek yang dibiayai dengan fasilitas non-recourse debt dari CDB itu tidak akan berubah karena apa pun
(non-negotiable approval). Kendati
jaminan ini bukan berupa financial
guarantee, kerugian karena pembatalan, misalnya, akan menjadi tanggung
jawab Indonesia, yang pada ujungnya akan menyedot uang rakyat juga.
Kedua, Menteri BUMN Rini Soemarno mengakui
(29/1), konstruksi trayek USD 5,5 miliar tersebut akan menyerap sedikitnya
20.000 pekerja. Tidak dijelaskan berapa persen jumlah pekerja Indonesia
vis-à-vis Tiongkok. Di tengah angka pengangguran yang terus meninggi, kita
tentu tidak mau pekerja lokal tidak turut diserap.
Ketiga, simpang siur mahal-murah harga antara
HST Jakarta–Bandung dibanding 400 kilometer Teheran–Isfahan (Iran) yang didanai
China Export and Credit Insurance
Corporation (Sinosure) dan dikerjakan China
Railway Engineering Corporation (CREC), pemegang 56,10 persen saham CREC.
Kita tahu, dalam struktur CREC, terdapat lebih dari 30 departemen yang
tersebar di seluruh Tiongkok, masing-masing memiliki anak perusahaan
tersendiri. Namun, hingga kini kita belum tahu Indonesia berurusan dengan
departemen dan anak perusahaan yang mana.
Kita berharap transparansi. Sebab, hanya
dengan begitu, di tengah maraknya korupsi di negeri ini, rakyat tidak
terus-menerus berspekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik semua
ini. Mengingat, di Tiongkok sendiri, tak sedikit kasus rasuah yang berkaitan
dengan perkeretaapian. Menteri Kereta Api Tiongkok Liu Zhijun pada Juli 2013
diganjar hukuman mati lantaran menerima suap.
Keempat, saat defisit perdagangan
Indonesia-Tiongkok terus membengkak sampai USD 13 miliar pada 2015, proyek
HST justru berpotensi mendorong pelonjakan importasi barang modal (capital goods) dari Tiongkok,
menjadikan ekspor-impor Indonesia-Tiongkok semakin tidak menguntungkan
Indonesia.
Terakhir, kegaduhan ”adu mulut” elite politik
yang tidak kunjung usai menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar