Kamis, 04 Februari 2016

Transparansi Proyek Kereta Cepat

Transparansi Proyek Kereta Cepat

Novi Basuki  ;   Alumnus Huaqiao University dan Xiamen University, Tiongkok
                                                   JAWA POS, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETELAH groundbreaking proyek kereta cepat (high-speed train/ HST) Jakarta–Bandung oleh Presiden Joko Widodo (21/1), pro dan kontra terus mengemuka. Ada kesan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan ”adu mulut” mempertahankan argumentasi masing-masing. Tidak hanya di Indonesia, di Weibo –media sosial Tiongkok serupa Twitter– ramai sekali cuitan publik Negeri Panda tentang kelangsungan proyek pengejawantahan inisiatif ” gaotie waijiao” (diplomasi kereta cepat) Presiden Xi Jinping di Indonesia tersebut.

Bukan hal yang tidak masuk akal apabila Joko Widodo ingin Indonesia segera memiliki HST. Sebab, sejarah perkeretaapian di Indonesia sangatlah panjang. Sepeninggal Belanda, rel yang berhasil dibangun –tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan Kalimantan– tidak kurang dari 6.110 kilometer. Mestinya perkeretaapian di negara kita sudah semaju Jepang dengan Shinkansennya, Prancis dengan Train à Grande Vitesse-nya, dan Tiongkok dengan Zhongguo Tielu Gaosu Lieche-nya.

Pula, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Peraturan Pemerintah (PP) 56/2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, kereta api harus menjadi moda utama transportasi masal nasional, menjadi tulang punggung angkutan barang dan penumpang. Sebagai turunan dari UU dan PP tersebut, pemerintah kemudian merumuskan pedoman kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional sampai 2030 melalui rencana induk perkeretaapian nasional (ripnas) dan menetapkannya melalui Peraturan Menteri Perhubungan 43/2011.

Disebutkan dalam ripnas, untuk Pulau Jawa, terdapat 12 rencana pengembangan jalur kereta api. Pengembangan HST ada di posisi keenam di belakang pengembangan jaringan antarkota dengan rel ganda (double track), jaringan regional kawasan aglomerasi, jaringan perkotaan, jaringan penghubung pusat kota dengan bandara, dan jaringan penghubung wilayah sumber daya alam dengan pelabuhan.
Walakin, pengembangan HST sesuai ripnas hanya ditujukan untuk lintasan Merak–Jakarta–Cirebon– Semarang–Surabaya–Banyuwangi. Tidak ada secuil keterangan trayek HST Jakarta–Bandung di sana. Karena itu, wajar kalau pemerintah tidak mau membiayai pembangunan HST tersebut dengan modal negara. Sebab, memang tidak ada dasar hukumnya. Jalan keluarnya, sudah seharusnyalah pemerintah melibatkan swasta dan mengajukan skema non-APBN: murni business-to-business (B2B).

Tiongkok yang mempunyai jaringan HST terpanjang di dunia (mencapai 16.000 kilometer) bersedia menggunakan model B2B itu, menggeser Jepang yang sudah melakukan studi kelayakan lebih dulu. Lantas, China Railway Group berkongsi dengan PT Pilar Sinergi (gabungan BUMN PT Wijaya Karya, PT KAI, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII), membentuk konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Dengan komposisi saham 60 persen dimiliki pihak Indonesia dan 40 persen dikantongi pihak Tiongkok.

Dana yang harus disuntikkan BUMN kita adalah 25 persen. Sisanya, 75 persen, merupakan utang dari China Development Bank (CDB) dengan suku bunga 2 persen, jangka waktu pengembalian 40 tahun, grace period 10 warsa.

Derasnya kritik publik dan ”adu mulut” antar kementerian seyogianya menjadikan proyek HST dikelola dengan penuh kehati-hatian. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Pertama, selain hak monopoli atau eksklusivitas, PT KCIC meminta pemerintah menjamin status perizinan proyek yang dibiayai dengan fasilitas non-recourse debt dari CDB itu tidak akan berubah karena apa pun (non-negotiable approval). Kendati jaminan ini bukan berupa financial guarantee, kerugian karena pembatalan, misalnya, akan menjadi tanggung jawab Indonesia, yang pada ujungnya akan menyedot uang rakyat juga.

Kedua, Menteri BUMN Rini Soemarno mengakui (29/1), konstruksi trayek USD 5,5 miliar tersebut akan menyerap sedikitnya 20.000 pekerja. Tidak dijelaskan berapa persen jumlah pekerja Indonesia vis-à-vis Tiongkok. Di tengah angka pengangguran yang terus meninggi, kita tentu tidak mau pekerja lokal tidak turut diserap.

Ketiga, simpang siur mahal-murah harga antara HST Jakarta–Bandung dibanding 400 kilometer Teheran–Isfahan (Iran) yang didanai China Export and Credit Insurance Corporation (Sinosure) dan dikerjakan China Railway Engineering Corporation (CREC), pemegang 56,10 persen saham CREC. Kita tahu, dalam struktur CREC, terdapat lebih dari 30 departemen yang tersebar di seluruh Tiongkok, masing-masing memiliki anak perusahaan tersendiri. Namun, hingga kini kita belum tahu Indonesia berurusan dengan departemen dan anak perusahaan yang mana.

Kita berharap transparansi. Sebab, hanya dengan begitu, di tengah maraknya korupsi di negeri ini, rakyat tidak terus-menerus berspekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Mengingat, di Tiongkok sendiri, tak sedikit kasus rasuah yang berkaitan dengan perkeretaapian. Menteri Kereta Api Tiongkok Liu Zhijun pada Juli 2013 diganjar hukuman mati lantaran menerima suap.

Keempat, saat defisit perdagangan Indonesia-Tiongkok terus membengkak sampai USD 13 miliar pada 2015, proyek HST justru berpotensi mendorong pelonjakan importasi barang modal (capital goods) dari Tiongkok, menjadikan ekspor-impor Indonesia-Tiongkok semakin tidak menguntungkan Indonesia.

Terakhir, kegaduhan ”adu mulut” elite politik yang tidak kunjung usai menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar