Pangan sebagai Isu Strategis
Ali Khomsan ; Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi,
Pascasarjana IPB
|
KORAN SINDO, 03
Februari 2016
Ketika wakil presiden
kita Pak Jusuf Kalla (JK) ingin tahu berapa sesungguhnya konsumsi beras
rata-rata penduduk Indonesia, beliau dengan cerdik menyediakan 3-5 rice cooker dan kemudian memasak nasi
berdasarkan data konsumsi beras nasional yang beragam.
Ada yang mengatakan
konsumsi beras adalah 139 kg/kapita/tahun dan ada pula yang menyebutkan 115
kg atau bahkan lebih rendah lagi. Setelah nasi matang dan dimasukkan ke
piring, Pak JK mengatakan sepertinya konsumsi beras rata-rata penduduk
Indonesia yang relatif bisa dipercaya datanya adalah 115 kg/kapita/tahun.
Data konsumsi beras maupun produksi beras mempunyai makna strategis.
Pengambilan keputusan
untuk merancang program yang didasarkan pada data yang salah akibatnya bisa
runyam. Di Indonesia konon segala macam data tersedia, namun yang sulit
dicari adalah data yang benar. Entah ini hanya anekdot atau kenyataan.
Produksi beras nasional tentu akan ditentukan luas tanam, luas panen, asumsi
kehilangan produksi bila terjadi bencana kekeringan atau banjir dan
sebagainya.
Kemudian, semua itu
akan berdampak pada penyediaan pupuk, benih, pestisida, dan selanjutnya pada
pengadaan stok Bulog serta rencana impor bila memang diperlukan. Apabila
perencanaan didasarkan pada data yang tidak sahih, rentetan kerugiannya
sungguh tak terbayangkan. Bung Karno pernah berkata pangan merupakan hidup
matinya suatu bangsa.
Apabila kebutuhan
pangan rakyat tidak dipenuhi, akan muncul malapetaka. Pada 1960-an bangsa
kita pernah mengalami kesulitan pangan, rakyat antre untuk mendapatkan
pangan. Sebagian masyarakat makan gaplek, tiwul, atau bulgur, bukan nasi.
Saat ini pun secara insidental kita masih melihat antre saat bantuan
pemerintah datang untuk masyarakat miskin.
Ketidaktahanan pangan
masih tetap menjadi problem yang menghadang di depan mata dan dapat
menimbulkan instabilitas politik maupun sosial. Apa yang menjadi kerisauan
bangsa ini adalah hampir seluruh penduduknya gemar makan nasi. Tiga hal
penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pangan nasional adalah kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan. Penyelenggaraan pangan mempunyai tujuan utama
yakni pemenuhan konsumsi pangan masyarakat.
Kedaulatan pangan
dimaknai sebagai hak bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan pangan.
Termasuk di dalamnya hak masyarakat untuk menghidupkan potensi sumber daya
lokal dalam produksi pangan. Sementara pengertian kemandirian pangan adalah
menyangkut kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan dari dalam negeri
untuk seoptimal mungkin dapat menjamin pemenuhan pangan penduduk.
Yang terakhir
ketahanan pangan, ini lebih menyangkut pada aspek terpenuhinya pangan bagi
negara dan perseorangan sehingga tercapai derajat hidup sehat, aktif, dan
produktif. Ketahanan pangan mempunyai dimensi ketersediaan (produksi), akses
(daya beli), stabilitas (sepanjang waktu), dan konsumsi (untuk kesehatan).
Produksi padi
memperoleh perhatian utama karena kebutuhan dalam negeri yang luar biasa
banyak. Para penyuluhpertanian selama ini lebih fokus pada produksi beras
sehingga pangan sumber karbohidrat lain nyaris kurang mendapat perhatian.
Ada tiga kelompok
negara yang dapat dibedakan berdasarkan keswasembadaan pangannya. Pertama,
negara-negara maju (industri) yang sekaligus memiliki sumber daya pertanian
yang dapat diandalkan sehingga produksi pangannya senantiasa surplus seperti
Amerika, Kanada, danAustralia. Tiga negara tersebut boleh dikatakan telah
berswasembada pangan.
Mereka yang digdaya
dalam pangan dapat menggunakan kekuatan pangannya sebagai senjata untuk
mengembargo (menyetop ekspor pangan) ke negara-negara lain yang tidak sejalan
garis politiknya. Kedua, negara maju dengan sumber daya alam terbatas seperti
Singapura atau Jepang.
Dua negara tersebut
dapat dikatakan tidak mampu berswasembada pangan, namun ketahanan pangannya
jauh lebih tinggi dibandingkan negara kita. Kita barangkali termasuk sebagai
negara tipe ketiga, yaitu belum dapat disebut sebagai negara maju dan
sekaligus masih mempunyai persoalan besar di bidang ketahanan pangan meski
memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah.
Laporan dari Food Insecurity and Vulnerable Atlas
(WFP, 2010) menyebutkan terdapat 100 dari 346 kabupaten/kota di Indonesia
yang tergolong daerah rawan pangan. Ciri wilayah rawan pangan adalah
tingginya persentase kemiskinan, gizi kurang, serta buruknya infrastruktur.
Daerahdaerah tersebut
mungkin secara eksplisit tidak tampak sebagai wilayah yang penuh kasus
kelaparan, namun sangat besar kemungkinan penduduknya mengonsumsi kalori,
protein, atau zat gizi lain tidak memenuhi standar angka kecukupan gizi yang
dianjurkan. Pola konsumsi pangan adalah sesuatu yang sulit diubah, tetapi
sejatinya dapat berubah.
Pada 1954 beras
menyumbang 53,5% terhadap total konsumsi karbohidrat, kini kontribusinya
mungkin telah melebihi 90%. Sementara umbiumbian yang pada 1950-an dikonsumsi
oleh banyak penduduk dengan kontribusi 28,3% dari total karbohidrat, kini
konsumsinya semakin berkurang.
Dalam suatu seminar
yang bertajuk One Day No Rice yang
dihadiri penulis beberapa waktu lalu, dikemukakan bahwa bangsa Indonesia kini
dijajah Barat dan Timur dalam pola makan. Kini kita semakin banyak makan mi
instan (Timur) dan roti (Barat). Tren konsumsi terigu terus merambat naik.
Produk olahan terigu tersedia di berbagai warung sampai mal sehingga
masyarakat mudah menjangkaunya.
Di dunia ini pemakan
nasi bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi kita adalah yang tertinggi. Per
kapita per tahun konsumsi beras di Malaysia sekitar 80 kg, Thailand 70 kg,
Jepang 50 kg, Korea 40 kg, dan Indonesia 115 kg. Kita merasa belum makan
kalau belum bersua nasi, nasi menjadi pangan pokok paling favorit bagi
masyarakat Indonesia.
Perbaikan pola
konsumsi pangan untuk mengurangi proporsi nasi memerlukan beberapa prasyarat.
Pertama, diperlukan pengetahuan tentang pola konsumsi pangan yang berbasis
pada keberagaman. Secara filosofis pengetahuan akan membangkitkan kesadaran
dan akhirnya membentuk kebiasaan.
Kedua, pemerintah
harus meningkatkan aneka produksi pangan lokal sebagai sumber kalori,
protein, dan gizi rakyat. Adalah omong kosong apabila kita menghendaki
pengurangan konsumsi beras, namun produk-produk pangan lainnya sebagai
pengganti nasi kurang tersedia di pasaran.
Ketiga, program
pengentasan kemiskinan seyogianya dilakukan bukan sekadar memberikan charity
seperti distribusi raskin, tetapi juga membuka lapangan kerja yang semakin
luas. Kalau kita perhatikan, dalam demo-demo pekerja yang selama ini terjadi
tuntutan yang sering dimunculkan adalah hapus kebijakan outsourcing.
Mengapa? Karena,
outsourcing menimbulkan ketidakpastian bagi masa depan kesejahteraan pekerja.
Bayangkan, para pekerja yang notabene banyak di antaranya generasi muda
mereka sedang mulai menata kehidupannya. Ketika mereka bercita-cita membeli
rumah, hidup berumah tangga, dan tiba-tiba kontrak kerjanya habis, pupuslah
rencana kehidupannya.
Mereka harus berjuang
lagi mencari pe-kerjaan baru, sementara umur berjalan terus. Sebab itu,
kepastian untuk memperoleh pekerjaan tetap (bukan outsourcing) menjadi sangat penting. Akhirnya nanti mereka akan
mampu mengakses pangan yang layak untuk meraih kesehatan dan kualitas hidup
yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar