Pesan Suu Kyi
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 07
Februari 2016
“Sebagai anggota parlemen, hiduplah bermartabat, disiplin,
idealistik, dan jangan hanya mementingkan diri sendiri. Parlemen bukannya
tempat orang yang hanya memburu kepentingan diri, tetapi tempat untuk
mengabdi dan memperjuangkan nasib serta kepentingan rakyat. Partai akan
mendukung apa pun yang kalian lakukan kalau semua itu untuk kepentingan
rakyat."
Itulah pesan Aung Sang
Suu Kyi, tokoh demokrasi Myanmar, kepada para anggota parlemen baru dari
partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dia pimpin. Sudah layak dan
sepantasnya kalau penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 itu berpesan kepada
para anggota partainya yang terpilih menjadi anggota parlemen. Suu Kyi
khawatir para anggota partainya yang masih diselubungi euforia kemenangan
pemilu lupa akan tugas dan kewajibannya, atau berbuat mementingkan diri
sendiri.
Pesan Aung San Suu
Kyi, sebenarnya, biasa saja. Orang bisa bilang, "ah itu normatif".
Tetapi, yang biasa saja, yang normatif itu, bukan berarti tidak penting dan
tidak perlu dilaksanakan. Bahkan, yang sering terjadi, hal-hal yang normatif
tidak mudah dilakukan. Dalam bahasa lain, sebenarnya Suu Kyi ingin
mengingatkan bahwa berpolitik, menjadi politisi, menjadi politikus, itu tidak
mudah. Demikian juga, menjadi anggota parlemen itu tidak mudah.
Politik menuntut
adanya kejujuran dan integritas (Socrates).
Oleh Socrates, politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Politik
sebagai seni mengandung keagungan dan kesantunan. Keagungan dan kesantunan
politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabdikan diri manusia (Haryatmoko: 2014). Mengabdikan diri
bagi manusia.
Hal itu persis seperti
yang dikatakan oleh Suu Kyi: "...mengabdi
dan memperjuangkan nasib serta kepentingan rakyat". Singkatnya,
konsep politik itu lugas dan sederhana, hanya dua kata, yakni
"kesejahteraan" dan "umum". Jadi "kesejahteraan
umum" atau sering disebut sebagai bonum
commune. Jadi orang berpolitik itu memperjuangkan terwujudnya
kesejahteraan bersama (Ign Suharyo:
2009).
Tentu, untuk
memperjuangkan kesejahteraan umum itu dibutuhkan kecerdikan memahami arti
kekuasaan. Kekuasaan memberikan peluang bagi seseorang yang memegang
kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan,
status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. Mungkin karena begitu
sentralnya kekuasaan dalam kehidupan masyarakat kita, muncul anggapan bahwa
kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit, yang diberikan
hanya kepada orang-orang tertentu, dan karena itu bersifat sakral.
Sakralisasi kekuasaan
berakibat bahwa kekuasaan itu cenderung tidak pernah salah sehingga kekuasaan
bisa melakukan segala-galanya. Kekuasaan menjadi absolut. Ingat Raja Perancis
Louis XIV (1638-1715) yang mengatakan, L'Etat
c'est moi, negara adalah saya. Pernyataan Louis XIV itu menggambarkan
absolutisitas kekuasaannya. Karena dengan mengatakan itu, ia tidak terikat
pada hukum dan aturan, serta kekuasaannya tak ada batasnya. Meski ada yang
mengatakan, sebenarnya bukan dia yang mengatakan hal itu. Tetapi, dia
telanjur dianggap sebagai yang mengatakan kalimat tersebut, walaupun
diceritakan sebelum meninggal Louis XIV mengatakan, "Je m'en vais, mais l'État demeurera toujours," saya akan
pergi, tetapi negara akan tetap ada. Tentang pembenaran kekuasaannya yang tak
terbatas itu, ia mengatakan sebagai la grâce de Dieu, berkat Tuhan.
Dalam masyarakat yang
percaya adanya pulung, apa yang dikatakan Louis XIV, bahwa kekuasaan adalah la grâce de Dieu, mendapat pembenaran.
Tetapi, apakah kekuasaan itu akan abadi dalam diri seseorang? Tidak!
Kekuasaan itu akan jatuh pada saatnya, melalui suatu krisis politik yang
destruktif yang mengacaukan kehidupan masyarakat. Dan pada saat itulah si
pulung dari langit itu terlepas, dan akan jatuh pada seseorang yang ditunjuk
secara gaib untuk mendapatkannya, dan begitu seterusnya. Terjadi perputaran
jatuh bangun kekuasaan, yang semuanya tak terlepas dari campur tangan gaib,
tangan ilahi.
Tanda-tanda memudarnya
kekuasaan dari langit yang ada pada diri seseorang yang sedang berkuasa
biasanya adalah jatuhnya wibawa penguasa. Wibawa penguasa jatuh kalau
penguasa meninggalkan rakyatnya dan hanya mementingkan diri sendiri,
keluarga, dan juga kelompoknya. Banyak contoh tentang hal ini. Revolusi Musim
Semi di Arab dan Afrika Utara-yang ditandai dengan jatuhnya Ben Ali dari
puncak kekuasaan di Tunisia; Hosni Mubarak dari kursi tertinggi di Mesir;
Moammar Khadafy dari takhta kekuasaannya; juga Ali Abdullah Saleh dari pucuk
kekuasaan di Yaman-menjelaskan tentang hal itu: pemimpin, pemegang kekuasaan
lupa daratan, mementingkan diri sendiri.
Padahal, kekuasaan
pertama-tama bukan represi, juga bukan pertarungan kekuatan, bukan pula
dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau
ideologi. Tetapi, pertama-tama, kekuasaan itu adalah peduli, perhatian pada
orang lain, melayani orang lain.
Bagi rakyat
pegangannya sangat jelas: yang setia dalam urusan kecil akan setia pada
urusan besar! Dalam bahasa lain Khalil Gibran mengatakan, berbuat baik
sekecil apa pun lebih berharga daripada niat besar tanpa perbuatan. Mengapa
demikian? Sebab, politik adalah bentuk usaha yang paling baik untuk mencapai
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Untuk mencapai tatanan sosial yang
baik dan berkeadilan itu membutuhkan tindakan nyata, tidak cukup hanya
pidato, omong, dan janji. Tidak cukup retorika meskipun politik tidak bisa
dilepaskan dari retorika, seni membujuk rakyat.
Dengan demikian,
seperti dikatakan oleh Aung San Suu Kyi, "jadilah anggota parlemen
(sebagai orang yang memegang kekuasaan) yang bermartabat". Kalau anggota
parlemen, atau siapa saja yang berpolitik, tidak memiliki martabat, maka akan
mendorong pada terjadinya pembusukan politik. Mengapa? Karena kerja politik
tidak lagi untuk kesejahteraan bersama, bahkan kerja politik tidak lagi ada
kaitannya dengan usaha pencapaian kesejahteraan bersama. Apabila para pekerja
politik-termasuk anggota parlemen-tidak bermartabat, politik seperti berada
di hutan rimba, yang akan mengikuti hukum siapa kuat akan menang, Survival of
the fittest (Herbert Spencer).
Hukum rimba politik
adalah kehidupan politik yang telah menjadi busuk. Karena para pemegang
kekuasaan, para pekerja politik, para pelaku politik yang semestinya penuh
bermartabat telah menjadi koruptor, pembual, pelaku tindak kekerasan, pencari
aman, penjilat, dan pemuas diri sendiri. Semua keburukan, kebusukan itu tidak
diinginkan oleh Aung San Suu Kyi menjangkiti orang-orang partainya di
parlemen. Karena itu, ia mewanti-wanti semua anggota NLD untuk menjadi orang
politik yang "bermartabat". Dengan demikian, akan tumbuh budaya
politik yang manusiawi. Karena hidup seperti politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar