Senin, 08 Februari 2016

Seandainya

Seandainya

Samuel Mulia  ;   Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 07 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya membaca di sebuah media daring hasil penelitian seorang perawat yang menanyai beberapa pasiennya yang akan meninggal dunia, dengan sebuah pertanyaan, apakah penyesalan mereka yang terbesar?

Jawabannya dicatat dalam sebuah buku yang diberinya judul The Top Five-Regrets of the Dying. Dari kelimanya, saya tergelitik pada jawaban yang terakhir. I wish that I had let myself be happier.

Kemaruk?

Tiga hari sebelum tenggat tulisan ini jatuh, saya diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman singkat mengenang salah satu klien saya yang meninggal dunia, sebelum ia dimakamkan. Dua hal yang saya dapatkan dari klien saya selama saya mengenalnya adalah kerendahan hati dan keberanian untuk mendapatkan kebahagiaan yang dicarinya.

Saya tak akan bercerita panjang lebar bagaimana ia mendapatkan kebahagiaan itu, tetapi satu hal yang saya tahu, kebahagiaan yang didapatnya itu melalui sebuah pengorbanan yang tidak sedikit. Sampai pada akhirnya ketika saya berjumpa beberapa tahun lalu, ia berkata dengan wajahnya yang semringah, ”Sekarang, saya benar-benar berbahagia.”

Beberapa tahun setelah mendengar jawaban yang saya pikir klise itu, saya berjumpa lagi di rumahnya saat ia merayakan ulang tahunnya. Di sana, di siang hari itu, saya benar-benar melihatnya bahwa jawaban yang diberikannya itu bukanlah sebuah jawaban yang asal-asalan, seperti mungkin seringnya orang mengatakan saya baik-baik saja meski sama sekali tidak dalam kondisi yang baik.

Hari itu, sepulang dari perayaan yang sederhana di tengah rumahnya yang mewah tetapi meninggalkan kesan yang hangat, saya memutuskan untuk menjadi seperti dirinya. Membuat hidup saya lebih berbahagia dari yang selama ini saya pikir bahwa menjadi bahagia itu saja sudah cukup.

Kemudian ada yang menanyakan kepada saya, mengapa saya ingin lebih berbahagia, lha wong saya sudah bahagia? Ia malah merasa bahwa saya ini orang yang kurang bersyukur. Ia menambahkan lagi, bahwa yang namanya bahagia itu kalau bisa bersyukur dalam situasi apa pun. Jadi, menurutnya, saya tidak perlu menjadi lebih berbahagia dari situasi saya yang sekarang ini.

Pertanyaan teman saya itu sungguh mengganggu nurani dan otak, tepatnya saya tersinggung karenanya. Kalau saya bisa memiliki hidup yang menurut mata teman saya itu sudah membahagiakan, dan saya masih tetap merasa perlu lebih berbahagia, apakah itu begitu kelirunya? Begitu kemaruknyakah?

”Wah... cilaka kita”

Apakah bahagia itu dan apakah lebih berbahagia itu? Sampai beberapa tahun lalu, saya manusia yang bahagia kalau hanya berurusan dengan hal-hal duniawi semata. Bahagia saja itu, dalam kasus saya, ternyata masih menyelipkan rasa iri hati karena yang bahagia itu hanya kedagingan saya semata.

Ingin lebih berbahagia itu artinya ingin naik kelas. Ingin lebih dari sebelumnya. Saya ingin lebih berbahagia dalam kualitas hidup ketimbang kuantitas. Kalau dimisalkan, saya ini punya rumah lima hektar di lima lokasi berbeda, maka secara duniawi saya akan bahagia banget. Kedagingan saya yang bahagia.

Tetapi, saya ingin lebih berbahagia. Saya ingin rumah yang lima hektar itu adalah sebuah rumah di mana orang di dalamnya atau yang masuk ke dalamnya mampu merasakan sebuah rumah yang penuh dengan cinta, yang memamerkan kehangatan dan bukan seperti sebuah show unit yang tak bernyawa.

Saya bahagia memiliki sejuta teman, tetapi saya ingin lebih berbahagia memiliki teman yang jiwanya juga bahagia. Sebab, jiwa yang tidak berbahagia itu menghasilkan sebuah pertemanan yang sungguh melelahkan lahir dan batin. Jiwa yang tidak bahagia itu hanya menghadirkan gelak yang retak.

Sekarang saya bahagia dengan usaha saya, tetapi saya ingin lebih berbahagia melihat ruang rapat tidak dipenuhi dengan kepanikan yang melumpuhkan mimpi, tidak dipenuhi dengan ekspresi macam: ”Wah… payah nih…” atau ”Cilaka kita”, tetapi melihat situasi yang cilaka dan payah nih itu dengan manusia yang jiwanya berbahagia.

Karena memiliki pegawai atau rekan bisnis yang jiwanya berbahagia, itu seperti dukungan yang tak tergoyahkan ketika badai persaingan datang, ketika kesusahan hidup melanda. Jiwa yang bahagia itu mampu berhitung dengan kalkulator atau otak direktur keuangan yang brilian, tetapi tidak mendewakan keduanya dan dijadikan tempat bergantung.

Ketenangan dan kebahagiaan jiwa itu memampukan seseorang melihat jalan keluar di tengah situasi yang wah payah atau cilaka kita. Setiap pagi seseorang mampu bernyawa dan diizinkan untuk hidup, itu bukan karena anugerah dari kalkulator dan otaknya yang cemerlang.

Jiwa yang berbahagia itu mampu mengubah cara berpikir dan mendukung seseorang melakukan apa yang ingin dicapainya dalam cara yang benar. Dengan demikian, ketika suatu hari seseorang kembali ke rumahnya yang abadi, ia tak akan berkata di menit terakhir hidupnya, I wish that I had let myself be happier.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar