Seandainya
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 07
Februari 2016
Saya membaca di sebuah
media daring hasil penelitian seorang perawat yang menanyai beberapa
pasiennya yang akan meninggal dunia, dengan sebuah pertanyaan, apakah
penyesalan mereka yang terbesar?
Jawabannya dicatat
dalam sebuah buku yang diberinya judul The
Top Five-Regrets of the Dying. Dari kelimanya, saya tergelitik pada
jawaban yang terakhir. I wish that I
had let myself be happier.
Kemaruk?
Tiga hari sebelum
tenggat tulisan ini jatuh, saya diberi kesempatan untuk menceritakan
pengalaman singkat mengenang salah satu klien saya yang meninggal dunia,
sebelum ia dimakamkan. Dua hal yang saya dapatkan dari klien saya selama saya
mengenalnya adalah kerendahan hati dan keberanian untuk mendapatkan
kebahagiaan yang dicarinya.
Saya tak akan
bercerita panjang lebar bagaimana ia mendapatkan kebahagiaan itu, tetapi satu
hal yang saya tahu, kebahagiaan yang didapatnya itu melalui sebuah
pengorbanan yang tidak sedikit. Sampai pada akhirnya ketika saya berjumpa
beberapa tahun lalu, ia berkata dengan wajahnya yang semringah, ”Sekarang,
saya benar-benar berbahagia.”
Beberapa tahun setelah
mendengar jawaban yang saya pikir klise itu, saya berjumpa lagi di rumahnya
saat ia merayakan ulang tahunnya. Di sana, di siang hari itu, saya
benar-benar melihatnya bahwa jawaban yang diberikannya itu bukanlah sebuah
jawaban yang asal-asalan, seperti mungkin seringnya orang mengatakan saya
baik-baik saja meski sama sekali tidak dalam kondisi yang baik.
Hari itu, sepulang
dari perayaan yang sederhana di tengah rumahnya yang mewah tetapi
meninggalkan kesan yang hangat, saya memutuskan untuk menjadi seperti
dirinya. Membuat hidup saya lebih berbahagia dari yang selama ini saya pikir
bahwa menjadi bahagia itu saja sudah cukup.
Kemudian ada yang
menanyakan kepada saya, mengapa saya ingin lebih berbahagia, lha wong saya
sudah bahagia? Ia malah merasa bahwa saya ini orang yang kurang bersyukur. Ia
menambahkan lagi, bahwa yang namanya bahagia itu kalau bisa bersyukur dalam
situasi apa pun. Jadi, menurutnya, saya tidak perlu menjadi lebih berbahagia
dari situasi saya yang sekarang ini.
Pertanyaan teman saya
itu sungguh mengganggu nurani dan otak, tepatnya saya tersinggung karenanya.
Kalau saya bisa memiliki hidup yang menurut mata teman saya itu sudah
membahagiakan, dan saya masih tetap merasa perlu lebih berbahagia, apakah itu
begitu kelirunya? Begitu kemaruknyakah?
”Wah... cilaka kita”
Apakah bahagia itu dan
apakah lebih berbahagia itu? Sampai beberapa tahun lalu, saya manusia yang
bahagia kalau hanya berurusan dengan hal-hal duniawi semata. Bahagia saja
itu, dalam kasus saya, ternyata masih menyelipkan rasa iri hati karena yang
bahagia itu hanya kedagingan saya semata.
Ingin lebih berbahagia
itu artinya ingin naik kelas. Ingin lebih dari sebelumnya. Saya ingin lebih
berbahagia dalam kualitas hidup ketimbang kuantitas. Kalau dimisalkan, saya
ini punya rumah lima hektar di lima lokasi berbeda, maka secara duniawi saya
akan bahagia banget. Kedagingan saya yang bahagia.
Tetapi, saya ingin
lebih berbahagia. Saya ingin rumah yang lima hektar itu adalah sebuah rumah
di mana orang di dalamnya atau yang masuk ke dalamnya mampu merasakan sebuah
rumah yang penuh dengan cinta, yang memamerkan kehangatan dan bukan seperti
sebuah show unit yang tak bernyawa.
Saya bahagia memiliki
sejuta teman, tetapi saya ingin lebih berbahagia memiliki teman yang jiwanya
juga bahagia. Sebab, jiwa yang tidak berbahagia itu menghasilkan sebuah
pertemanan yang sungguh melelahkan lahir dan batin. Jiwa yang tidak bahagia
itu hanya menghadirkan gelak yang retak.
Sekarang saya bahagia
dengan usaha saya, tetapi saya ingin lebih berbahagia melihat ruang rapat
tidak dipenuhi dengan kepanikan yang melumpuhkan mimpi, tidak dipenuhi dengan
ekspresi macam: ”Wah… payah nih…” atau ”Cilaka kita”, tetapi melihat situasi
yang cilaka dan payah nih itu dengan manusia yang jiwanya berbahagia.
Karena memiliki
pegawai atau rekan bisnis yang jiwanya berbahagia, itu seperti dukungan yang
tak tergoyahkan ketika badai persaingan datang, ketika kesusahan hidup
melanda. Jiwa yang bahagia itu mampu berhitung dengan kalkulator atau otak
direktur keuangan yang brilian, tetapi tidak mendewakan keduanya dan
dijadikan tempat bergantung.
Ketenangan dan
kebahagiaan jiwa itu memampukan seseorang melihat jalan keluar di tengah
situasi yang wah payah atau cilaka kita. Setiap pagi seseorang mampu bernyawa
dan diizinkan untuk hidup, itu bukan karena anugerah dari kalkulator dan
otaknya yang cemerlang.
Jiwa yang berbahagia
itu mampu mengubah cara berpikir dan mendukung seseorang melakukan apa yang
ingin dicapainya dalam cara yang benar. Dengan demikian, ketika suatu hari
seseorang kembali ke rumahnya yang abadi, ia tak akan berkata di menit
terakhir hidupnya, I wish that I had
let myself be happier. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar