Senin, 08 Februari 2016

Memperingati Hari Film dan 100 Tahun Sensor?

Memperingati Hari Film dan 100 Tahun Sensor?

Kemala Atmojo  ;   Pengamat Perfilman
                                                     KOMPAS, 07 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada dua peristiwa penting yang diperingati oleh insan perfilman nasional dalam waktu dekat. Pertama adalah memperingati Hari Film Nasional yang ke-66 (dihitung sejak 1950) dan kedua adalah memperingati 100 Tahun Sensor (dihitung sejak 1916). Lalu, apa yang bisa dicatat dari kedua peristiwa ini?

Dalam hal Hari Film Nasional (HFN) kita bisa bertanya, apa artinya peringatan pada tahun 2016 ini dibandingkan dengan 2015 atau tahun-tahun sebelumnya? Apa artinya ini bagi sutradara, produser, pemain, dan bioskop? Toh, tiap saat menit berganti, hari berubah, dan tahun pun terus bertambah. Bukankah ini cuma deretan angka? Februari ke Maret, Minggu ke Senin, pukul 00 ke 01, hanyalah penunjuk dari konsep ”waktu” obyektif-matematis. Hanyalah ruang. Hanyalah waktu yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan. Henri Bergson, filosof Perancis, menyebutnya sebagai temps (’waktu’), dan ini sebenarnya hanyalah salah satu dimensi waktu.

Peringatan HFN menjadi penting apabila kita merefleksikan apa yang sudah kita kerjakan dalam ”keberlangsungan” (duree) selama ini dan apa yang akan kita kerjakan berikutnya. Hal ini agar perfilman kita menjadi bertambah baik dalam situasi konkret. Duree adalah dimensi lain dari waktu. Dalam konsep Bergson, ini adalah ”lamanya” atau ”keberlangsungan”. Jika temps dapat dibagi-bagi, diukur, dan obyektif-matematis; maka duree merupakan kontinuitas, mengalir, tak terbagi, dan subyektif-psikologis. Jika temps adalah waktu menurut kronometer; maka duree adalah waktu menurut pengalaman pribadi. Jika temps adalah kuantitas; maka duree merupakan kualitas, yang jauh lebih penting.

Karena itu, apa artinya temps bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman, jika dalam duree tak ada yang berubah. Di dalam duree inilah kita hidup konkret dan memberikan makna setiap langkah. Di dalam duree pula kebebasan kita, kesadaran kita, ditantang menghadapi berbagai godaan yang menyesatkan, yang merugikan kemanusiaan.

Dan, konsep ”makna konkret” ini pula yang menurut saya penting bagi Usmar Ismail. Film Darah dan Doa bukan film pertama arahan Usmar. Sebelumnya Usmar sudah menyutradarai setidaknya dua film lain (Harta Karun dan Tjitra), tetapi baru dalam Darah dan Doa Usmar merasa dirinya membuat film pertama. Sebab, baru dalam film Darah dan Doa itu ia menemukan makna hidupnya sebagai seorang pekerja film. Lalu, tanggal 30 Maret 1950 itulah (hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa) yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Jadi, dalam konteks peringatan HFN, apa yang harus dan perlu berubah agar menjadi lebih baik? Pertama-tama adalah mentalitas proteksi. Kita tidak boleh terus-menerus bermental seperti pengemis proteksi. Persaingan harus dimaknai sebagai tantangan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya. Kehadiran negara tidak boleh dimengerti sebagai kewajiban negara untuk melindungi kemalasan dan seterusnya. Negara perlu hadir untuk memastikan bahwa semua orang mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama sesuai dengan aturan. Negara perlu hadir untuk membantu meningkatkan sumber daya manusia, kemudahan akses, dan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah segera mempersiapkan revisi undang-undang perfilman. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman terlalu banyak kelemahannya dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Misalnya saja, terlalu banyak ”pasal mati”, pasal tidak jelas, dan pasal yang tidak lagi bisa merespons perkembangan teknologi mutakhir, termasuk masalah hak asasi manusia.

100 tahun sensor

Fakta bahwa sampai hari ini kita memiliki Lembaga Sensor Film (LSF) adalah tak bisa dimungkiri. Ini fakta sosial, politik, dan kebudayaan kita. Akan tetapi, memperingati–apalagi merayakan–kehadiran sensor di sini, buat saya hal itu seperti mempermalukan diri sendiri atau mengolok-olok martabat bangsa sendiri. Kenapa demikian? Sensor film, sejak kehadirannya di zaman Hindia Belanda, menjadi momok bagi kebebasan masyarakat mengakses informasi serta pada akhirnya menjadi alat jagal kreativitas insan film kita.

Sejarah sensor adalah sejarah gelap dan kegagalan kita menuntaskan diri sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri. Kita tahu, lembaga sensor pada mulanya dimaksudkan oleh penguasa Hindia Belanda untuk melindungi citra dan kewibawaan mereka terhadap penduduk lokal.

Ketika makin banyak film-film dari Eropa dan Amerika masuk, penguasa Hindia Belanda dan sebagian penduduk Eropa di sini merasa galau. Kendati sebagian besar masih berupa film bisu, penduduk lokal dan sebagian orang Eropa menyambut hangat kehadiran film-film itu. Namun, menurut pejabat di Hindia Belanda, film-film itu bisa mengubah citra masyarakat Eropa yang selama ini dicitrakan sebagai masyarakat beradab, berpendidikan, taat hukum, dan lain-lain. Sementara film-film yang masuk justru memperlihatkan adegan saling bunuh, melakukan hubungan seks di luar pernikahan, atau intinya menunjukkan kehidupan yang lebih bebas. Akibatnya, pada 1916, diterbitkan undang-undang bernama Ordonansi Bioskop.

Undang-undang itu isinya adalah pembentukan komisi pemeriksaan film yang hendak diputar di sini. Lalu pada 1919 dibuat undang-undang baru untuk menggantikan undang-undang lama, dengan maksud memperketat film impor dan memperluas keberadaan komisi sensor di daerah-daerah lain.

Sayangnya, ketika Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan diteruskan dengan nama Panitia Pengawas Film. Panitia ini berhak menggunting film dengan kriteria sangat umum: melanggar kesusilaan, mengganggu ketenteraman umum, dan memberikan pengaruh buruk kepada masyarakat. Lembaga ini menjadi salah satu sarana ampuh bagi pemerintah untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Sebab, begitulah kisah sensor film dimulai di negeri ini.

Hingga saat ini, LSF masih tercantum dalam UU No 33/2009. Kemudian, pada masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 sebagai pengganti PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Tata cara penyensoran memang agak berbeda dibandingkan dengan sebelum undang-undang film yang baru, tetapi pada prinsipnya kreativitas insan film tetap terancam.

Melihat sejarah semacam itu, maka merayakan kehadiran sensor sesungguhnya menyakitkan hati. Semestinya yang dilaklukan saat ini adalah refleksi kritis atas keberadaan lembaga ini. Jika lembaga ini belum bisa dihilangkan atau diubah menjadi lembaga klasifikasi, minimal yang harus diubah adalah pola pikir para anggotanya.

Seperti kita ketahui, Pasal 28 F UUD 1945 mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Maka film, adalah salah satu sarana itu.

Hak-hak dasar manusia tersebut kemudian dituangkan dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara lebih spesifik hak untuk mengembangkan diri ini termuat dalam Pasal 11 hingga Pasal 16. Pembatasan hak-hak asasi itu hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Karena itu, penting sekali para anggota LSF memahami hal ini.

Sejauh pengamatan saya, hanya tinggal satu hal yang masih perlu mendapat perhatian, yakni masalah SARA. Kondisi multikultur bangsa kita dan kesenjangan pendidikan yang tinggi, masalah SARA ini masih mungkin muncul dalam film. Di luar itu, rasanya para insan film sudah bisa melakukan sensor terhadap dirinya sendiri. Apakah pengamatan saya terhadap tingkat kedewasaan insan film kita ini salah? Semoga tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar