Memperingati Hari Film dan 100 Tahun Sensor?
Kemala Atmojo ; Pengamat Perfilman
|
KOMPAS, 07
Februari 2016
Ada dua peristiwa
penting yang diperingati oleh insan perfilman nasional dalam waktu dekat.
Pertama adalah memperingati Hari Film Nasional yang ke-66 (dihitung sejak
1950) dan kedua adalah memperingati 100 Tahun Sensor (dihitung sejak 1916).
Lalu, apa yang bisa dicatat dari kedua peristiwa ini?
Dalam hal Hari Film
Nasional (HFN) kita bisa bertanya, apa artinya peringatan pada tahun 2016 ini
dibandingkan dengan 2015 atau tahun-tahun sebelumnya? Apa artinya ini bagi
sutradara, produser, pemain, dan bioskop? Toh, tiap saat menit berganti, hari
berubah, dan tahun pun terus bertambah. Bukankah ini cuma deretan angka?
Februari ke Maret, Minggu ke Senin, pukul 00 ke 01, hanyalah penunjuk dari
konsep ”waktu” obyektif-matematis. Hanyalah ruang. Hanyalah waktu yang
diselidiki oleh ilmu pengetahuan. Henri Bergson, filosof Perancis,
menyebutnya sebagai temps
(’waktu’), dan ini sebenarnya hanyalah salah satu dimensi waktu.
Peringatan HFN menjadi
penting apabila kita merefleksikan apa yang sudah kita kerjakan dalam
”keberlangsungan” (duree) selama
ini dan apa yang akan kita kerjakan berikutnya. Hal ini agar perfilman kita
menjadi bertambah baik dalam situasi konkret. Duree adalah dimensi lain dari
waktu. Dalam konsep Bergson, ini adalah ”lamanya” atau ”keberlangsungan”.
Jika temps dapat dibagi-bagi,
diukur, dan obyektif-matematis; maka duree
merupakan kontinuitas, mengalir, tak terbagi, dan subyektif-psikologis. Jika
temps adalah waktu menurut kronometer; maka duree adalah waktu menurut pengalaman pribadi. Jika temps adalah
kuantitas; maka duree merupakan
kualitas, yang jauh lebih penting.
Karena itu, apa
artinya temps bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman, jika dalam duree
tak ada yang berubah. Di dalam duree
inilah kita hidup konkret dan memberikan makna setiap langkah. Di dalam duree
pula kebebasan kita, kesadaran kita, ditantang menghadapi berbagai godaan
yang menyesatkan, yang merugikan kemanusiaan.
Dan, konsep ”makna
konkret” ini pula yang menurut saya penting bagi Usmar Ismail. Film Darah dan Doa bukan film pertama
arahan Usmar. Sebelumnya Usmar sudah menyutradarai setidaknya dua film lain (Harta Karun dan Tjitra), tetapi baru dalam Darah
dan Doa Usmar merasa dirinya membuat film pertama. Sebab, baru dalam film
Darah dan Doa itu ia menemukan
makna hidupnya sebagai seorang pekerja film. Lalu, tanggal 30 Maret 1950
itulah (hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa) yang kemudian ditetapkan
sebagai Hari Film Nasional.
Jadi, dalam konteks
peringatan HFN, apa yang harus dan perlu berubah agar menjadi lebih baik?
Pertama-tama adalah mentalitas proteksi. Kita tidak boleh terus-menerus
bermental seperti pengemis proteksi. Persaingan harus dimaknai sebagai
tantangan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya. Kehadiran negara tidak
boleh dimengerti sebagai kewajiban negara untuk melindungi kemalasan dan
seterusnya. Negara perlu hadir untuk memastikan bahwa semua orang mendapat
perlakuan dan kesempatan yang sama sesuai dengan aturan. Negara perlu hadir
untuk membantu meningkatkan sumber daya manusia, kemudahan akses, dan
keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman.
Hal lain yang perlu
dilakukan adalah segera mempersiapkan revisi undang-undang perfilman.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman terlalu banyak
kelemahannya dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Misalnya
saja, terlalu banyak ”pasal mati”, pasal tidak jelas, dan pasal yang tidak
lagi bisa merespons perkembangan teknologi mutakhir, termasuk masalah hak
asasi manusia.
100 tahun sensor
Fakta bahwa sampai
hari ini kita memiliki Lembaga Sensor Film (LSF) adalah tak bisa dimungkiri.
Ini fakta sosial, politik, dan kebudayaan kita. Akan tetapi, memperingati–apalagi
merayakan–kehadiran sensor di sini, buat saya hal itu seperti mempermalukan
diri sendiri atau mengolok-olok martabat bangsa sendiri. Kenapa demikian?
Sensor film, sejak kehadirannya di zaman Hindia Belanda, menjadi momok bagi
kebebasan masyarakat mengakses informasi serta pada akhirnya menjadi alat
jagal kreativitas insan film kita.
Sejarah sensor adalah
sejarah gelap dan kegagalan kita menuntaskan diri sebagai bangsa yang merdeka
dan mandiri. Kita tahu, lembaga sensor pada mulanya dimaksudkan oleh penguasa
Hindia Belanda untuk melindungi citra dan kewibawaan mereka terhadap penduduk
lokal.
Ketika makin banyak
film-film dari Eropa dan Amerika masuk, penguasa Hindia Belanda dan sebagian
penduduk Eropa di sini merasa galau. Kendati sebagian besar masih berupa film
bisu, penduduk lokal dan sebagian orang Eropa menyambut hangat kehadiran
film-film itu. Namun, menurut pejabat di Hindia Belanda, film-film itu bisa
mengubah citra masyarakat Eropa yang selama ini dicitrakan sebagai masyarakat
beradab, berpendidikan, taat hukum, dan lain-lain. Sementara film-film yang
masuk justru memperlihatkan adegan saling bunuh, melakukan hubungan seks di
luar pernikahan, atau intinya menunjukkan kehidupan yang lebih bebas.
Akibatnya, pada 1916, diterbitkan undang-undang bernama Ordonansi Bioskop.
Undang-undang itu
isinya adalah pembentukan komisi pemeriksaan film yang hendak diputar di
sini. Lalu pada 1919 dibuat undang-undang baru untuk menggantikan
undang-undang lama, dengan maksud memperketat film impor dan memperluas
keberadaan komisi sensor di daerah-daerah lain.
Sayangnya, ketika
Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan diteruskan
dengan nama Panitia Pengawas Film. Panitia ini berhak menggunting film dengan
kriteria sangat umum: melanggar kesusilaan, mengganggu ketenteraman umum, dan
memberikan pengaruh buruk kepada masyarakat. Lembaga ini menjadi salah satu
sarana ampuh bagi pemerintah untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan
menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Sebab,
begitulah kisah sensor film dimulai di negeri ini.
Hingga saat ini, LSF
masih tercantum dalam UU No 33/2009. Kemudian, pada masa pemerintahannya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 18 Tahun 2014 sebagai pengganti PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Lembaga Sensor Film. Tata cara penyensoran memang agak berbeda dibandingkan
dengan sebelum undang-undang film yang baru, tetapi pada prinsipnya
kreativitas insan film tetap terancam.
Melihat sejarah
semacam itu, maka merayakan kehadiran sensor sesungguhnya menyakitkan hati.
Semestinya yang dilaklukan saat ini adalah refleksi kritis atas keberadaan
lembaga ini. Jika lembaga ini belum bisa dihilangkan atau diubah menjadi
lembaga klasifikasi, minimal yang harus diubah adalah pola pikir para
anggotanya.
Seperti kita ketahui,
Pasal 28 F UUD 1945 mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. Maka film, adalah salah satu sarana itu.
Hak-hak dasar manusia
tersebut kemudian dituangkan dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Secara lebih spesifik hak untuk mengembangkan diri ini termuat dalam Pasal 11
hingga Pasal 16. Pembatasan hak-hak asasi itu hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Karena itu, penting sekali para
anggota LSF memahami hal ini.
Sejauh pengamatan
saya, hanya tinggal satu hal yang masih perlu mendapat perhatian, yakni
masalah SARA. Kondisi multikultur bangsa kita dan kesenjangan pendidikan yang
tinggi, masalah SARA ini masih mungkin muncul dalam film. Di luar itu,
rasanya para insan film sudah bisa melakukan sensor terhadap dirinya sendiri.
Apakah pengamatan saya terhadap tingkat kedewasaan insan film kita ini salah?
Semoga tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar