Mengapa Banyak Orang Tua
yang Hanya Pandai Menemukan Kesalahan?
Rhenald Kasali ; Guru Besar Ilmu Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 02 Februari
2016
Istri saya,
sehari-hari adalah pengurus yayasan yang menangani Pendidikan Anak Usia Dini
dan Taman Kanak-kanak. Belum lama ini ia berujar di depan layar televisi yang
sedang kami tonton. Ia geram saat menyaksikan kegembiraan para aparat penegak
hukum ketika membakar televisi sitaan yang katanya melanggar hukum.
“Itu penyakit mental
bangsa kita,” ujarnya. “Kita hanya pandai menemukan kesalahan orang lain.”
Hari-hari itu ia
tengah mendalami perkembangan otak manusia dan kebiasaan yang dibangun sejak
kecil untuk membangkitkan kecerdasan anak-anak. Gurunya, ilmuwan terkemuka
yang mendalami child development adalah
guru besar dari sebuah kampus di Florida, Amerika Serikat. Buku-bukunya
banyak dikutip para ahli dan pendidik di mancanegara.
Maka ketika ia melihat
ritual pembakaran televisi yang dipraktikkan para aparat sambil tertawa-tawa
dan membanting-bantingnya ke dalam beberapa buah drum besi, ia pun tersentak.
“Kaget, kesal,
menyebalkan,” ujarnya. Apalagi belakangan ia tahu, televisi yang dibakar itu
adalah buatan anak negeri, yang namanya sudah Anda baca di mana-mana: Kusrin.
Kusrin adalah sosok
yang biasa ia temui di kampung tempat ia mengabdi. Orang-orang seperti Kusrin
itulah yang menjadi orang tua anak-anak kami di PAUD-TK Kutilang.
Mereka adalah
orang-orang yang tidak tamat SD, buruh yang lusuh, berdaya beli rendah,
tetapi bercita-cita tinggi. Karena itulah Kusrin berkembang, mampu membuat
televisi. Bukan untuk Anda, tetapi untuk pasar yang berdaya beli rendah.
Ia tentu bukan
apa-apabila dibandingkan dengan produsen televisi terkenal. Pasti juga bukan
ancaman bagi Sharp, Samsung, LG, atau Polytron.
Namun entah bagaimana,
kok kita melihat ada yang merasa terusik dengan kehadiran produk Kusrin. Anda
tahu kan, hidup susah diolok-olok, tapi hidup sukses dan makmur
dikriminalisasi. Sepertinya ada yang salah dengan mental kita.
Uluran Tangan Pemimpin
Tak seperti di masa
lalu yang birokrasinya begitu kusut dan tertutup, beruntung kita hidup di
tengah-tengah peradapan kamera. Sehingga ritual bakar-membakar produk TV itu
pun menarik perhatian Presiden. Esoknya berita sudah berubah.
Kusrin diterima
Presiden Joko Widodo. Sebelumnya Menteri Perindustrian memberikan sertifikat
SNI. Keberadaan SNI itu-lah yang menjadi ganjalan sehingga TV-TV buatannya
disita aparat.
Sikap tanggap Presiden
Joko Widodo membesarkan hati kita. Sama seperti ujarannya saat menyelamatkan
Gojek: “Saya tekankan ya, peraturan itu siapa sih yang buat?”
Saya jadi teringat
dengan puluhan orang yang sering mengeluhkan kepada kami di Rumah Perubahan
ketika menghadapi tembok-tembok perijinan.
Kadang saya pun
meluangkan waktu menemani mereka, membujuk para birokrat agar membuka sedikit
hatinya (maaf saya lebih senang menyebut hati, bukan pikiran). Kadang saya
temui juga orang-orang baik hati yang rela menolong.
Tetapi harus saya
akui, bahwa masih amat sulit bagi entrepreneur lokal berkantong tipis untuk
mendapatkan sepotong kursi kehormatan di sini. Tetapi kalau saya ingat-ingat
lagi bukan hanya orang kecil yang dipersulit.
Sesama pejabat tinggi,
bahkan sesama mentri pun banyak yang hanya pandai menemukan kesalahan dan
kekurangan dari kolega-koleganya dalam menjalankan program yang dicanangkan
negara.
Bukannya menolong,
mereka malah memperoloknya lewat media massa.
Selain jajaran
birokrasi yang bertradisi mempersulit, kita juga menemui banyak akademisi
yang masih hidup di atas menara gading. Sehingga kemampuan kita menerima
hasil kerja keras putra-putri bangsa seringkali terhambat oleh arogansi.
Anda tentu masih ingat
dengan Tawan yang dijuluki sebagai Iron Man. Banyak ilmuwan yang mengambil
jarak dan mempertanyakannya ketimbang menyemangatinya.
Ya, kita, orang-orang
dewasa, lebih banyak memiliki tradisi “menemukan kesalahan mereka”, ketimbang
berupaya keras untuk “membukakan jalan”.
Para aparat penegak
hukum, politisi, birokrat, ilmuwan, dan kita semua ternyata lebih banyak dan
lebih mampu menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang
lain ketimbang membukakan jalan.
Saya masih ingat
betapa sulitnya warga Kaltim memiliki jalan tol yang diinisasi oleh Gubernur
Awang Farouk lantaran izin tak kunjung tiba dari Kementrian Kehutanan.
Waktu saya tanyakan di
kementerian, orang yang mengeluarkan izin mengatakan bahwa jalur itu menabrak
kawasan resapan air. Tetapi anehnya ia sama sekali tak memberi jalan keluar.
Ia hanya sekedar
bangga bisa menghadang perijinan, padahal pada waktu yang sama masyarakat
berkomentar sinis karena jalan yang sama diijinkan untuk lewatnya kendaraan
berat "pencuri kayu".
Soal hadang menghadang
dengan menunjukkan kesalahan pihak lain ini tampaknya akan semakin banyak
kita lihat.
Kompas (1/2/2016)
menyebutnya sebagai politik adu mulut. Dan Para auditor senior mengatakan,
"Itu dulu. Dulu kami hanya mencari-cari kesalahan orang. Tapi kini kita
mengirim early warning supaya
selamat."
Namun benarkah mereka
sudah berubah? Bahkan para orang tua terhadap anak-anak di rumah pun
melakukannya.
Keahlian Menemukan Kesalahan
Tapi maaf ya, kalau
ahlinya cuma untuk menemukan kesalahan orang lain, maka sebenarnya ini tidak
sulit-sulit amat kok untuk dipelajari. Maka rasanya janggal kalau ada yang
merasa bangga bangga melakukannya.
Orang dewasa kini
banyak mengabaikan esensi, pura-pura tidak tahu sesuatu yang harusnya dibaca
sambil berpikir lalu buru-buru menyalahkan orang lain. Seakan-akan mereka itu
orang yang paling benar dan yang lain "kurang berhati-hati."
Memang sebagian adalah
soal kepentingan, tapi tentu juga soal perspektif. Amat sangat tergantung
dari misi atau posisi di mana seseorang berada.
Sebagai orang yang
lebih tua, Anda lah yang menentukan benar-salahnya anak-anak yang masih
belia.
Sebagai guru dialah
yang berada dalam posisi kebenaran. Demikian juga sebagai auditor, penegak
hukum, pembuat undang-undang, dan regulator. Bahkan saat anda menjadi pemilik
uang, atasan, atau pejabat.
Masalahnya, kebenaran
itu sebenarnya tidaklah berlaku sesempit itu. Sebab, kebenaran perspektif itu
akan lebih banyak menghasilkan keributan, perpecahan, dan kemunduran
ketimbang kemajuan. Itu sebabnya manusia butuh kebijakan yang terbentuk dari
multiperspektif.
Regulasi itu baru akan
powerful dan menjadi bermanfaat
kalau mereka pernah duduk dan tahu betapa susahnya berada di posisi pelaku
usaha atau profesional yang dipersulit.
Demikian pula bagi
pihak-pihak yang berseteru, memahami dan melihat dari sudut yang berbeda akan
membuat manusia lebih dewasa dan lebih mampu menjawab tantangan zaman.
Dan andaikan ia berada
di posisi lain, barangkali ia juga belum tentu mampu menjalankannya.
Saya berani menjamin
tak ada satu pun aparat penegak hukum yang bisa membuat televisi seperti
Kusrin. Dan seandainya pun mampu, saya pun percaya mereka akan menghadapi
kesulitan yang sama dalam menghadapi aparat penegak hukum atau mengurus
seritifikat-sertifikat usaha.
Saya pun berkeyakinan
serupa, bahwa tak banyak ilmuwan yang mempunyai ketertarikan dan mampu
membuat produk-produk seperti yang dilakukan oleh Tawan.
Ya, kita semua baru
hanya mampu sebatas pada menemukan kesalahan hasil kerja orang lain.
Seperti yang kini
sedang ramai diperdebatkan: mulai dari upaya polisi menangkap tersangka
penabur racun sianida, sampai kebijakan Presiden untuk menjalankan
pembangunan kereta cepat. Itulah kehebatan semu yang masih kita agungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar