Senin, 08 Februari 2016

Mengapa Banyak Orang Tua yang Hanya Pandai Menemukan Kesalahan?

Mengapa Banyak Orang Tua

yang Hanya Pandai Menemukan Kesalahan?

Rhenald Kasali  ;   Guru Besar Ilmu Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
                                                KOMPAS.COM, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Istri saya, sehari-hari adalah pengurus yayasan yang menangani Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak. Belum lama ini ia berujar di depan layar televisi yang sedang kami tonton. Ia geram saat menyaksikan kegembiraan para aparat penegak hukum ketika membakar televisi sitaan yang katanya melanggar hukum.

“Itu penyakit mental bangsa kita,” ujarnya. “Kita hanya pandai menemukan kesalahan orang lain.”

Hari-hari itu ia tengah mendalami perkembangan otak manusia dan kebiasaan yang dibangun sejak kecil untuk membangkitkan kecerdasan anak-anak. Gurunya, ilmuwan terkemuka yang mendalami child development adalah guru besar dari sebuah kampus di Florida, Amerika Serikat. Buku-bukunya banyak dikutip para ahli dan pendidik di mancanegara.

Maka ketika ia melihat ritual pembakaran televisi yang dipraktikkan para aparat sambil tertawa-tawa dan membanting-bantingnya ke dalam beberapa buah drum besi, ia pun tersentak.

“Kaget, kesal, menyebalkan,” ujarnya. Apalagi belakangan ia tahu, televisi yang dibakar itu adalah buatan anak negeri, yang namanya sudah Anda baca di mana-mana: Kusrin.

Kusrin adalah sosok yang biasa ia temui di kampung tempat ia mengabdi. Orang-orang seperti Kusrin itulah yang menjadi orang tua anak-anak kami di PAUD-TK Kutilang.

Mereka adalah orang-orang yang tidak tamat SD, buruh yang lusuh, berdaya beli rendah, tetapi bercita-cita tinggi. Karena itulah Kusrin berkembang, mampu membuat televisi. Bukan untuk Anda, tetapi untuk pasar yang berdaya beli rendah.

Ia tentu bukan apa-apabila dibandingkan dengan produsen televisi terkenal. Pasti juga bukan ancaman bagi Sharp, Samsung, LG, atau Polytron.

Namun entah bagaimana, kok kita melihat ada yang merasa terusik dengan kehadiran produk Kusrin. Anda tahu kan, hidup susah diolok-olok, tapi hidup sukses dan makmur dikriminalisasi. Sepertinya ada yang salah dengan mental kita.

Uluran Tangan Pemimpin

Tak seperti di masa lalu yang birokrasinya begitu kusut dan tertutup, beruntung kita hidup di tengah-tengah peradapan kamera. Sehingga ritual bakar-membakar produk TV itu pun menarik perhatian Presiden. Esoknya berita sudah berubah.

Kusrin diterima Presiden Joko Widodo. Sebelumnya Menteri Perindustrian memberikan sertifikat SNI. Keberadaan SNI itu-lah yang menjadi ganjalan sehingga TV-TV buatannya disita aparat.



Sikap tanggap Presiden Joko Widodo membesarkan hati kita. Sama seperti ujarannya saat menyelamatkan Gojek: “Saya tekankan ya, peraturan itu siapa sih yang buat?”

Saya jadi teringat dengan puluhan orang yang sering mengeluhkan kepada kami di Rumah Perubahan ketika menghadapi tembok-tembok perijinan.

Kadang saya pun meluangkan waktu menemani mereka, membujuk para birokrat agar membuka sedikit hatinya (maaf saya lebih senang menyebut hati, bukan pikiran). Kadang saya temui juga orang-orang baik hati yang rela menolong.

Tetapi harus saya akui, bahwa masih amat sulit bagi entrepreneur lokal berkantong tipis untuk mendapatkan sepotong kursi kehormatan di sini. Tetapi kalau saya ingat-ingat lagi bukan hanya orang kecil yang dipersulit.

Sesama pejabat tinggi, bahkan sesama mentri pun banyak yang hanya pandai menemukan kesalahan dan kekurangan dari kolega-koleganya dalam menjalankan program yang dicanangkan negara.

Bukannya menolong, mereka malah memperoloknya lewat media massa.

Selain jajaran birokrasi yang bertradisi mempersulit, kita juga menemui banyak akademisi yang masih hidup di atas menara gading. Sehingga kemampuan kita menerima hasil kerja keras putra-putri bangsa seringkali terhambat oleh arogansi.

Anda tentu masih ingat dengan Tawan yang dijuluki sebagai Iron Man. Banyak ilmuwan yang mengambil jarak dan mempertanyakannya ketimbang menyemangatinya.

Ya, kita, orang-orang dewasa, lebih banyak memiliki tradisi “menemukan kesalahan mereka”, ketimbang berupaya keras untuk “membukakan jalan”.

Para aparat penegak hukum, politisi, birokrat, ilmuwan, dan kita semua ternyata lebih banyak dan lebih mampu menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang lain ketimbang membukakan jalan.

Saya masih ingat betapa sulitnya warga Kaltim memiliki jalan tol yang diinisasi oleh Gubernur Awang Farouk lantaran izin tak kunjung tiba dari Kementrian Kehutanan.

Waktu saya tanyakan di kementerian, orang yang mengeluarkan izin mengatakan bahwa jalur itu menabrak kawasan resapan air. Tetapi anehnya ia sama sekali tak memberi jalan keluar.

Ia hanya sekedar bangga bisa menghadang perijinan, padahal pada waktu yang sama masyarakat berkomentar sinis karena jalan yang sama diijinkan untuk lewatnya kendaraan berat "pencuri kayu".

Soal hadang menghadang dengan menunjukkan kesalahan pihak lain ini tampaknya akan semakin banyak kita lihat.

Kompas (1/2/2016) menyebutnya sebagai politik adu mulut. Dan Para auditor senior mengatakan, "Itu dulu. Dulu kami hanya mencari-cari kesalahan orang. Tapi kini kita mengirim early warning supaya selamat."

Namun benarkah mereka sudah berubah? Bahkan para orang tua terhadap anak-anak di rumah pun melakukannya.

Keahlian Menemukan Kesalahan

Tapi maaf ya, kalau ahlinya cuma untuk menemukan kesalahan orang lain, maka sebenarnya ini tidak sulit-sulit amat kok untuk dipelajari. Maka rasanya janggal kalau ada yang merasa bangga bangga melakukannya.

Orang dewasa kini banyak mengabaikan esensi, pura-pura tidak tahu sesuatu yang harusnya dibaca sambil berpikir lalu buru-buru menyalahkan orang lain. Seakan-akan mereka itu orang yang paling benar dan yang lain "kurang berhati-hati."

Memang sebagian adalah soal kepentingan, tapi tentu juga soal perspektif. Amat sangat tergantung dari misi atau posisi di mana seseorang berada.

Sebagai orang yang lebih tua, Anda lah yang menentukan benar-salahnya anak-anak yang masih belia.

Sebagai guru dialah yang berada dalam posisi kebenaran. Demikian juga sebagai auditor, penegak hukum, pembuat undang-undang, dan regulator. Bahkan saat anda menjadi pemilik uang, atasan, atau pejabat.

Masalahnya, kebenaran itu sebenarnya tidaklah berlaku sesempit itu. Sebab, kebenaran perspektif itu akan lebih banyak menghasilkan keributan, perpecahan, dan kemunduran ketimbang kemajuan. Itu sebabnya manusia butuh kebijakan yang terbentuk dari multiperspektif.

Regulasi itu baru akan powerful dan menjadi bermanfaat kalau mereka pernah duduk dan tahu betapa susahnya berada di posisi pelaku usaha atau profesional yang dipersulit.

Demikian pula bagi pihak-pihak yang berseteru, memahami dan melihat dari sudut yang berbeda akan membuat manusia lebih dewasa dan lebih mampu menjawab tantangan zaman.

Dan andaikan ia berada di posisi lain, barangkali ia juga belum tentu mampu menjalankannya.

Saya berani menjamin tak ada satu pun aparat penegak hukum yang bisa membuat televisi seperti Kusrin. Dan seandainya pun mampu, saya pun percaya mereka akan menghadapi kesulitan yang sama dalam menghadapi aparat penegak hukum atau mengurus seritifikat-sertifikat usaha.

Saya pun berkeyakinan serupa, bahwa tak banyak ilmuwan yang mempunyai ketertarikan dan mampu membuat produk-produk seperti yang dilakukan oleh Tawan.

Ya, kita semua baru hanya mampu sebatas pada menemukan kesalahan hasil kerja orang lain.

Seperti yang kini sedang ramai diperdebatkan: mulai dari upaya polisi menangkap tersangka penabur racun sianida, sampai kebijakan Presiden untuk menjalankan pembangunan kereta cepat. Itulah kehebatan semu yang masih kita agungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar