IndonesiaX dan Disrupsi Pendidikan Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 04
Februari 2016
Saya kerap mendapat
curhat dari para orang tua tentang wajah dunia pendidikan kita. Jumlahnya tak
terhitung. Saya ingin berbagi salah satu di antaranya. Ini dari orang tua
yang anaknya duduk di sekolah dasar.
Dia heran setengah
mati ketika tahu anaknya dianggap tidak piawai dalam menyerap mata pelajaran
komputer. Kok bisa? Di rumah, sang orang tua menyaksikan sendiri betapa
lincahnya sang anak mengoperasikan komputer. Baik untuk mengerjakan
tugas-tugas sekolah, berkirim e-mail sampai main game. Lalu, mengapa nilainya
jelek? Rupanya ini karena nilai ulangan tertulisnya yang jelek.
Pada soal ulangan
tertulis, di situ sang anak diminta menjelaskan apa itu tombol ”Enter”,
tombol ”Shift” atau ”Esc” dan fungsi-fungsinya. Semuanya serbateori. Sang
anak bingung. Dia jelas tahu cara pakainya, tapi tak bisa menjelaskan
teorinya. Akhirnya dia memilih tidak menjawab, sehingga nilainya pun jelek.
Anda yang membaca
curhat tadi tentu merasakan ada sesuatu yang salah dengan sistem pendidikan
kita. Bagaimana mungkin nilai mata pelajaran komputer hanya ditentukan dari
hasil tes tertulis? Bukan dari kepiawaian sang anak dalam menggunakan
komputer.
Bukankah pelajaran
komputer termasuk kategori keterampilan? Ya, ada lah pengetahuannya, tapi
untuk pemula, rasanya tahu pakai lebih penting. Lalu, mengapa seakan-akan yang
dinilai hanya knowledge-nya, bukan skill-nya? Seperti itulah dunia
pendidikan kita. Banyak yang keliru, sehingga terasa muram.
Cara-cara Lama
Saya bisa menyajikan
wajah muram lainnya. Salah satunya, otoriter. Misalnya, guru tak pernah
salah, dosen selalu benar. Memangnya siapa dia, sehingga berhak mengklaim
dirinya selalu benar? Ilmu pengetahuan itu dinamis. Ia terus berkembang.
Kalau dulu mungkin ada suatu teori yang dianggap benar, sekarang bisa saja
teori itu salah.
Di sebuah sekolah di
Chicago bahkan sekarang diterapkan metode The
Power of Yet. Seseorang bukan gagal, tapi diberlakukan kategori ”belum
mahir”. Ya , tidak ada lagi angka merah atau nilai buruk. Yang ada hanya kata
”belum” saja. Tapi berapa banyak yang sudah paham tentang cara belajar baru
yang percaya bahwa ilmu itu terus berkembang dan pengetahuan manusia pun bisa
berubah, diperbaharui dan beradaptasi?
Dulu masyarakat Romawi
berpegang pada pendapat Claudius Ptolomeus, seorang astronom yang juga ahli
geografi, bahwa Bumi adalah pusat tata surya (geosentris). Jadi, matahari dan
planet-planetlah yang berputar mengelilingi bumi. Lalu, datanglah Nicolaus
Copernicus, juga seorang astronom. Ia mementahkan pendapat Ptolomeus. Kata
Copernicus, mataharilah yang menjadi pusat tatasurya, dan bumi serta planet-planet
lainnya bergerak mengelilingi matahari (heliocentric).
Kala itu pendapat
Copernicus terbilang sangat revolusioner dan bertentangan dengan keyakinan
yang berkembang di masyarakat. Akibat pendapatnya tersebut, Copernicus
dikucilkan oleh penguasa dan masyarakat. Buku-bukunya tak boleh beredar.
Sekarang kita semua tahu pendapat mana yang benar. Tambahan lagi, dunia
pendidikan kita ternyata juga tidak egaliter.
Bahkan cenderung
diskriminatif. Banyak anak kita yang tidak dapat belajar hanya karena tak
bisa memenuhi persyaratan formal yang ditentukan secara sepihak oleh sekolah.
Ada kelompok pintar, ada kelompok yang bodoh. Ada sekolah elite, ada sekolah
rakyat. Sangat diskriminatif. Dunia pendidikan kita juga membuat sekolah
menjadi komoditas.
”Perang harga” terjadi
di mana-mana, terutama ketika memperebutkan murid atau mahasiswa baru. Dunia
pendidikan kita ternyata juga masih banyak yang suka mempertahankan status quo, tidak mendidik anak-anak
agar bisa menjadi individu yang mandiri dan mampu berpikir bebas. Anak-anak
kita tidak dididik untuk menjadi driver,
tetapi lebih sebagai passenger.
Duduk manis,
dengarkan, dan ikuti semua instruksi sampai akhirnya mereka lulus. Mereka
yang lulus adalah mereka yang dinilai baik dan benar menurut versi pihak
sekolah. Bukan merefleksikan pandangan terhadap peserta didik atau refleksi
atas realitas mereka. Keberhasilan pendidikan hanya diukur pada sejauh mana
anak-anak kita berhasil mengumpulkan angka-angka tinggi dalam rapor dan
ijazah. Hanya itu, lainnya tidak.
Disrupsi Pendidikan
Maka, saya sangat
merindukan hadirnya wajah lain dari dunia pendidikan kita. Wajah yang seperti
apa? Saya ingin mengajak Anda untuk mengikuti kuliah saya di
indonesiax.co.id. Ini adalah sebuah situs yang mengubah cara kita belajar.
Jadi ini situs MOOC—Massive Open Online
Course. Yang dibangun dalam sebuah jaringan global dan diisi oleh para
edukator berpengalaman.
Platform global ini
dilakukan di mancanegara, ya di Amerika Serikat, Inggris, China, Turki,
Brasil, dan kini Indonesia. Di Amerika Serikat saja, Anda bisa mengikuti
kuliah gratis dari profesor-profesor terkenal melalui situs EDX. Profesor
dari Harvard, MIT dan kampus utama dunia itu benar-benar mencurahkan waktunya
mengajar secara online . Itulah yang kini Rumah
Perubahan lakukan.
Bagi yang masih awam,
saya akan paparkan sedikit soal ini. IndonesiaX, yang resmi diluncurkan pada
17 Agustus 2015, adalah sebuah gerakan untuk memperluas akses pendidikan bagi
masyarakat melalui penyelenggaraan kursus secara terbuka, online dan masif,
atau biasa disingkat massive open
online course (MOOC).
Motonya, ”Enriching Live Through Education.”
Anda, dan siapa saja, bebas bergabung dengan IndonesiaX. Syaratnya hanya
satu: memiliki akses internet. Agar bisa memberikan materi pendidikan yang
berkualitas, IndonesiaX menjalin kerja sama dengan banyak institusi, seperti
perguruan-perguruan tinggi ternama, bursa efek, TV, dan institusi lainnya
termasuk Rumah Perubahan yang saya
pimpin.
Sebagai lembaga
kursus, IndonesiaX menerapkan pendekatan yang berbeda dengan pendidikan
konvensional yang ada di Indonesia. Kalau pada pendidikan konvensional, orang
masuk ke lembaga pendidikan untuk mendapatkan gelar. Bahkan kalau perlu
dengan membeli gelar tersebut. IndonesiaX berbeda.
Di sini yang
diutamakan adalah kompetensi. Jadi, mendapatkan ilmunya dulu, baru ijazah
atau sertifikatnya menyusul. Ibarat orang belajar mengemudi, IndonesiaX
mengutamakan bisa mengemudi terlebih dahulu, baru dapat SIMnya. Bukan
dibalik, SIM-nya dapat lebih dahulu, baru belajar mengemudi.
Saya bayangkan dalam
waktu dekat, disrupsi ini akan benar-benar terjadi, yaitu kala kaum muda tak
lagi ingin belajar di bangku kuliah, tanpa mengutamakan gelar, melainkan bisa
diakses dari mana saja, gratis dan meracik masa depannya secara independen,
dan berorientasi pada kompetensi. Pendidikan adalah kunci dari pertumbuhan
peradaban yang lebih maju.
Bahkan menurut mantan
Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, ”Education
is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Mari, sebelum kita menjadikan pendidikan
sebagai ”senjata” untuk mengubah dunia, kita ubah dulu wajah dunia pendidikan
kita agar menjadi lebih memerdekakan, membebaskan dan memanusiakan anak-anak
didik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar