Efektivitas Jubir Presiden
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 04
Februari 2016
Pemerintahan Jokowi-JK
sudah melangkah di perjalanan tahun kedua. Fase yang teramat menentukan bagi
produktivitas pemerintahan mereka. Jika di tahun pertama Jokowi-JK diberi
banyak pemakluman karena masa adaptasi di semua lini, kini publik mulai
menuntut realisasi sejumlah janji politik yang disampaikan saat pemilu.
Pemerintahan baru
biasanya punya momentum untuk produktif di tahun kedua hingga keempat. Akhir
tahun 2018 dan memasuki tahun 2019, pemerintahan Jokowi-JK akan disibukkan
lagi dengan beragam agenda kontestasi elektoral yang membuat konsentrasi para
menteri, partai politik, dan mungkin juga Jokowi-JK terganggu tarikmenarik
kepentingan jelang pertarungan mendatang.
Problem Komunikasi
Salah satu problem
mendasar dan tampak masih menganga lebar dalam perjalanan pemerintahan
Jokow-JK hingga saat ini adalah efektivitas komunikasi di lingkaran Presiden.
Manajemen komunikasi Istana masih berjalan sporadis, belum terkoordinasi
dengan baik. Problem terkini adalah silang sengketa antarkementerian dalam memberi
penjelasan seputar polemik kereta api cepat Jakarta–Bandung.
Sebelumnya juga muncul
problem komunikasi saat Istana harus menjelaskan perbedaan pandangan antara
Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dengan Menteri BUMN Rini Soemarno
dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Polemik
informasi juga terjadi saat Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika. Selain
juga masalah yang timbul dari arus komunikasi yang terbangun di antara Jokowi
dan JK.
Tak dapat disangkal,
inilah era yang oleh John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998)
disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance), terutama informasi politik yang setiap
saat menerpa khalayak baik melalui media massa seperti televisi dan radio maupun
melalui media online. Media sosial yang saat ini dominan digunakan oleh
masyarakat kian mengintensifkan sebaran informasi, penetratif hingga ke
ruang-ruang personal.
Isu yang berembus dari
Istana maupun bertiup kencang dari warga ke Istana semakin cepat menyebar dan
beresonansi bersama-sama dengan bingkai pemberitaan media arus utama. Di saat
seperti inilah penanganan komunikasi kepresidenan menjadi penting. Jokowi pun
sesungguhnya sudah menyadari bahwa sangat berat terus-menerus menangani
urusan komunikasi ke publik ini sendirian.
Cara berkomunikasi
langsung dan spontan ala Jokowi kerap menimbulkan beberapa masalah di level
praktis, misalnya konsep baru setengah matang, Jokowi menjadi titik
episentrum semua isu yang sifatnya harian, dan sering tergagap dalam
menyikapi beragam polemik dengan tensi politik tinggi.
Jokowi pun akhirnya
menunjuk mantan Juru Bicara KPK Johan Budi sebagai juru bicara Presiden
dengan jabatan resmi sebagai staf khusus bidang komunikasi. Tentu penunjukan
Johan Budi harus diapresiasi sebagai pilihan tepat karena pengalaman dan
jaringan Johan Budi sebagai juru bicara KPK yang terbiasa dalam situasi penuh
tekanan. Hanya saja, hingga sekarang peran Johan Budi pun belum terlalu
dioptimalkan.
Efektivitas juru
bicara Presiden akan sangat ditentukan dua hal. Pertama, kewenangan yang
diberikan. Juru bicara Presiden harus diberi kepercayaan sekaligus wewenang
untuk menyampaikan pernyataan, tanggapan, jawaban, penjelasan yang sifatnya
resmi (official), presidential, dan directional. Tiga karakter tadi harus
melekat dalam pernyataan-pernyataan seorang juru bicara Presiden.
Oleh karenanya,
seorang juru bicara harus matang dalam memahami keinginan, arahan, dan
interpretasi Presiden. Idealnya ada dua orang juru bicara Presiden untuk
urusan dalam dan luar negeri sehingga fokus keduanya akan sangat membantu
Jokowi dalam mengatasi masalah-masalah komunikasi dalam kapasitasnya sebagai
presiden.
Kedua, efektivitas
komunikasi juru bicara juga akan sangat ditentukan oleh pola koordinasi di
lingkaran Istana. Misalnya koordinasi antara Johan Budi dengan tim komunikasi
Presiden seperti Sukardi Rinakit dan Ari Dwipayana. Koordinasi dengan Deputi
Komunikasi Politik Kantor Kepresidenan, juga dengan semua elemen pemasok
informasi kepada Presiden Jokowi.
Keluaran (output) informasi publik yang
berkarakter official, presidential, dan directional tadi seharusnya melalui
satu pintu, yakni juru bicara Presiden jika Presiden berkehendak menyampaikan
informasi itu ke publik tanpa dinyatakan langsung olehnya.
Oleh karenanya, jubir
pun harus membantu arus komunikasi Presiden ke publik sehingga saat Jokowi
berbicara, sudah terpilah dan terkoordinasi mengeluarkan pernyataan-pernyataan
yang sudah matang dan berkonsep. Tantangannya adalah menyelaraskan hal
tersebut dengan gaya komunikasi Jokowi yang kerap kali retorikanya bersifat
impromptu atau spontan dan mengalir cair.
Tim Komunikasi
Juru bicara Presiden
harus diberi jam terbang memadai untuk tampil ke permukaan, bukan peran-peran
di balik layar. Tak seluruh penjelasan sikap, tindakan, dan kebijakan
pemerintah selalu bergantung pada pernyataan seorang Jokowi. Sebagai sebuah
sistem, Jokowi bisa mendistribusikan sebagian kewenangannya untuk urusan
komunikasi publik kepada juru bicara dan tim komunikasi yang dimilikinya.
Jika tim ini bernama
tim komunikasi, hakikat kerja komunikasi adalah membangun kesepahaman (mutual understanding) antara Presiden
dengan lingkar utama orang-orang di kekuasaannya, terutama lagi dengan
publik. Hanya di tim komunikasi ini juga harus dipilah antara yang berperan
sebagai penyuplai sekaligus konseptor narasi Presiden dengan juru bicara
Presiden.
Saat juru bicara
banyak bekerja di ruang terbuka dan dalam liputan media, konseptor sekaligus
penyuplai data bekerja dalam kesunyian. Tim komunikasi nonjuru bicara
harusmengerjakanduahal utama. Pertama, berperan optimal sebagai jangkar
aliran data, fakta, narasi yang kuat dan tepercaya bagi Presiden.
Problem sering kali
muncul saat “tim pembisik” Presiden keliru karena dampaknya bisa fatal.
Pernyataan Presiden bisa tergelincir, mentah, tidak menunjukkan karakter
komunikasi kepresidenan. Memang tak mungkin membuat narasi tunggal mengingat
Jokowi lebih suka dengan gayanya yang orisinal. Tapi, jika pasokan datanya
lemah, pernyataan Presiden pun akan menimbulkan banyak masalah.
Oleh karenanya,
timkomunikasi Presiden harus diperkuat dengan dasar kelembagaan yang kuat dan
dukungan tim ahli yang memadai. Jangan biarkan tim yang strategis ini dibuat
dan dibiarkan seadanya. Kedua, tim komunikasi harus berperan superaktif dalam
menganalisis seluruh lalu lintas informasi terkait dengan Presiden.
Fokus utama kerja tim
komunikasi Presiden tentu saja Presiden itu sendiri. Tim komunikasi sebaiknya
berperan sebagai pintu pembuka dan jendela sirkulasi informasi dari dan untuk
Presiden. Sekarang ini, masih tak terlalu jelas siapa yang memiliki wewenang
utama dalam sirkulasi informasi di sekitar Presiden. Sayang jika namanya tim
komunikasi, tetapi ruang geraknya tidak komunikatif. Jokowi bukan superman
yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan sendirian! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar