Jumat, 05 Februari 2016

Revisi UU Pilkada Serentak

Revisi UU Pilkada Serentak

Agus Riewanto  ;   Pengajar Fakultas Hukum dan
Program Pascasarjana Ilmu Hukum  UNS
                                            KORAN JAKARTA, 04 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 telah berakhir dan kini tinggal menunggu putusan final sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi (MK)  sebanyak 142 gugatan (Koran Jakarta, 25 Januari 2016).

Sistem pilkada serentak tahun 2015  lalu belum cukup sempurna menciptakan sistem yang lebih baik untuk pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017 yang tahapannya dimulai April 2016 mendatang. Hal itu  dapat dilihat  dari data mutakhir MK sepanjang tahun 2015  yang  menerima 140 kasus uji materi UU (judicial review) akan  UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Gugatan 13 kali berarti  terbanyak sepanjang sejarah pilkada.

DPR bersama pemerintah telah bersepakat menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan rujukan untuk menyusun Rencana Undang-Undang (RUU) tahun 2016. Prolegnas kali ini akan memprioritaskan  40 RUU, di mana 22 di antaranya  merupakan luncuran tahun 2015. Hanya 18 RUU yang baru. Selain itu, disepakati pula 32 RUU prioritas cadangan yang dapat diusulkan dalam perubahan Prolegnas 2016.

Sudah seharusnya pemerintah dan DPR berinisiatif membenahi sistem pilkada  melalui revisi terhadap  UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada dan menempatkannnya dalam prioritas Prolegnas tahun 2016. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) problematikan pilkada serentak 2015 yang harus diperbaiki.

 Pertama, pilkada serentak 2015 terkendala  realitas tersendatnya pembiayaan dana  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akibatnya memecah  konsentrasi KPU dan Bawaslu. Mereka  bukan menyiapkan tahapan pilkada dengan baik, tapi sibuk melobi DPRD dan Kepala Dearah untuk bergegas membiayai pilkada serentak.

Tak ketinggalan Menteri Dalam Negeri  harus turun tangan menekan pemerintah daerah (Pemda) untuk dapat membiayai Pilkada. Ke depan perlu dipersiapkan revisi UU Pilkada agar pendanaan penyelenggaraan Pilkada dibiayai APBN sebagaimana penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Kedua, perlunya menciptakan norma baru penghapusan syarat pencalonan berdasarkan perolehan suara/kursi di DPRD (threshold) 20%. UU Pilkada perlu membuka kesempatan kepada semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Model ini akan mampu mengairahkan elite parpol untuk berani mencalonkan kader-kader parpol  mencalonkan diri. Sebaliknya dengan pembatasan syarat dukungan parpol dengan ambang batas (threshold) tertentu akan dapat mengunci parpol  tak menggadaikan suaranya kepada calon petahana yang kuat. Akibatnya akan berpotensi melahirkan calon tunggal.

Ketiga,  UU Pilkada perlu menyiapkan pranata untuk meringankan syarat dukungan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk calon dari jalur perseorangan (independent). Sebab beratnya syarat dukungan KTP dalam UU Pilkada ini telah memicu calon perseorangan tidak berani mendaftar sebagai calon kepala daerah ke KPU.

Revisi UU Pilkada perlu mengembalikan persyaratan dukungan KTP, seperti dalam UU No 32/2004 Tentang Pilkada yang hanya mensyaratkan 3,5% dukungan KTP dari jumlah penduduk, bukan 6,5-10% seperti dalam UU No 8/2015 Tentang Pilkada saat ini. Dengan meringakan syarat dukungan calon perorangan diharapkan kehadiran calon berasal dari unsur perseorangan kian banyak di daerah dan akan dapat menjadi pengimbang dalam proses politik dan memberi alternatif calon yang dapat dipilih dalam pilkada.

Keempat, perlunya UU Pilkada memberi sanksi hukuman kepada partai politik yang tidak mengajukan pasangan calon berupa   administratif dan politik, bukan pidana. Misalnya parpol yang abai menggunakan haknya untuk mencalonkan kadernya dalam pilkada tidak dapat mengajukan  calon dalam pilkada berikutnya. Cara ini akan memaksa partai politik   dipastikan  berpikir ulang  tak mengajukan calon  walaupun harus  melawan petahana  yang sangat kuat.

 Kelima, UU Pilkada perlu diubah untuk mengembalikan model penyelesaian sengketa pilkada ke MA. Sesuai dengan keputusan MK No 97/PUU-XI/2013  tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada. Dengan model ini akan dapat menjaga  MK hanya sebagai penjaga konstitusi. Ini  menghindarkan  kolusi seperti  dilakukan  mantan Ketua MK Akil Muchtar dalam banyak sengketa pilkada.

Keenam, perlu memperluas kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan hanya menangani pelanggaran etika  penyelenggara pemilu,  tetapi juga  yang dilakukan  pemangku kepentingan  seperti parpol, peserta pemilu, media, pemilih dan pejabat negara.

Tak Memadai

Selama ini penanganan pelanggaran hanya diserahkan kepada tiap-tiap institusi asal pelanggar, sehingga tidak ada  sanksi  memadai. Untuk pelanggaran dari parpol bahkan tak ada dewan etik yang  menindaknya. Ke depan diperlukan integrasi lembaga pengawas etika pemilu dalam satu lembaga. Untuk itu perlu dibentuk peradilan khusus mengenai sengketa pemilu yang ditangani Bawaslu. Sedangkan untuk peradilan etika oleh DKPP dengan kewenangan diperluas.

Ketujuh, UU Pilkada perlu direvisi untuk kian mampu mengadili tindak pidana politik uang  dalam proses pencalonan berupa mahar  maupun jual-beli suara. UU Pilkada baru perlu dirancang untuk memastikan berbagai model pembuktian, proses penyidikan, dan penuntutan hingga proses ajudikasinya dengan membentuk pengadilan khusus pemilu.

Tak tertanganinya politik uang dalam pilkada selama ini karena tak tersedianya pranata hukum praktis dan cepat yang dapat menjerat para “politikus busuk” dalam pilkada. Revisi  UU Pilkada ini akan jauh lebih efektif jika dilaksanakan  tahun 2016  bersamaan  kodifikasi  tiga UU Pemilu: UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif, UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden serta  UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini untuk menyongsong putusan  MK No 14/PUU-XI/2013 tentang Penyelenggaraan Pemilu Nasional Serentak tahun 2019.

Dalam praktik ada  tiga jenis pemilu (pileg, pilpres dan pilkada) dengan  asas penyelengaraan sama: langsung, umum, bebas dan rahasia. Bahkan penyelenggara sama pula:  KPU, Bawaslu dan DKPP. Namun uniknya diatur dalam UU  berbeda-beda. Di titik ini kodifikasi atau penyusunan beberapa UU Pemilu tersebut dalam satu naskah UU  tak dapat ditawar lagi untuk menghindari peraturan pemilu yang tumpang tindih dan revisi tambal sulam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar