Minggu, 07 Februari 2016

Imlek dan Pamer Kekayaan Budi

Imlek dan Pamer Kekayaan Budi

Jaya Suprana  ;   Pemerhati Kerakyatan dan Kemanusiaan
                                                     KOMPAS, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tradisi Imlek berakar pada kalender lunisolar sebagai perpaduan kalender bulan dengan matahari, berorientasi pada titik balik gerak Matahari yang mengakhiri musim dingin di daratan Tiongkok.

Konon kalender Tiongkok pada milenium III Masehi dihadirkan atas prakarsa Kaisar Shih Huangti, lalu dikembangkan Kaisar Yao, dan makin disempurnakan pada masa Dinasti Zhou. Misioner Adam Schall di zaman dinasti Qing merangkum kesemuanya dengan perhitungan kebudayaan Barat. Di samping astronomi, muncul pula tafsir astrologi yang melahirkan 12 shio yang melambangkan 12 cabang Bumi dengan urutan simbolis margasatwa: tikus, kerbau, macan, kelinci (kucing), naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing, dan babi.

Pada hakikatnya, Imlek lebih terkait pada astronomi, musim, dan agrikultur ketimbang agama.  Secara geokultural, Hari Raya Imlek tidak bisa diseragamkan untuk menyambut musim semi sebab nisbi terkait pada lokasi geografis di mana Imlek dirayakan.  Imlek di Australia  bukan menandai akhir musim dingin, tetapi justru puncak musim panas. Menyambut Imlek dengan perayaan musim semi sama absurdnya dengan menyambut hari Natal di Australia dengan lagu "White Christmas".  Di Indonesia tak ada empat musim. Tak ada musim semi. Yang ada cuma musim kemarau dan musim hujan. Maka, merayakan Imlek di Indonesia jelas bukan untuk merayakan ketibaan musim semi.

Gus Dur

Bagi saya pribadi, Imlek punya makna tersendiri. Setiap kali tiba saat merayakan Hari Raya Imlek, langsung saya terkenang kepada Gus Dur. Saya yakin bahwa tanpa Gus Dur, mustahil Hari Raya Imlek di Indonesia dapat dirayakan semeriah, seleluasa, dan seterbuka seperti di masa kini. Saya mustahil melupakan jasa Gus Dur.

Di masa Orde Baru, dengan beraneka alasan terutama yang tak masuk akal sehat, apa pun yang berbau kebudayaan (pada waktu masih disebut sebagai) Cina memang dianggap tak baik, maka dilarang secara resmi maupun tak resmi. Bahasa, aksara, kesenian, busana Cina dilarang atau minimal tak diperbolehkan. Meski ada kekecualian, misalnya makanan, cerita, dan film silat Cina tetap dibiarkan digemari. Di masa Orba, perayaan Hari Raya Imlek praktis dilarang atau minimal tak dibenarkan meski diam-diam secara internal bergerilya masih dirayakan di kalangan warga keturunan.  Zaman kegelapan bagi Imlek di Indonesia berakhir setelah Gus Dur menggantikan BJ Habibie menjadi presiden RI. Kini di Indonesia, Tahun Baru Imlek resmi ditetapkan sebagai hari raya nasional sebagai bukti   kebesaran jiwa bangsa Indonesia dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.

Sudah sewajarnya bahkan selayaknya Imlek sebagai hari raya nasional Indonesia dirayakan demi  menjunjung tinggi harkat dan martabat bukan Tanah Leluhur nun jauh di sana, tapi Tanah Air: Indonesia! Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Demi menghormati Gus Dur, sebaiknya perayaan Hari Raya Imlek dirayakan bukan sebagai kesempatan berfoya-foya, apalagi pamer kekayaan harta benda.

Semasa hidup, Gus Dur mewejangi saya agar selalu bersikap ojo dumeh dalam merayakan Imlek. Gus Dur berpesan agar saya jangan euforia lalu takabur menganggap Imlek sebagai kesempatan foya-foya, berpesta pora, apalagi pamer kekayaan harta benda duniawi.  Sebaiknya Hari Raya Imlek dirayakan sebagai kesempatan pamer kekayaan budi-pekerti, semisal yang dilakukan teman-teman pengabdi kerakyatan dan kemanusiaan yang tergabung di Yayasan Buddha Tzu Chi. Saya bukan anggota kelompok itu dan meski bentuk ragawi saya mirip Buddhatertawa, saya bukan umat Buddha.

Secara obyektif  saya berhak kagum dan bangga terhadap  cara mereka merayakan Imlek yang di Indonesia kebetulan jatuh saat puncak musim hujan dan di Jakarta kerap kali musim banjir.  Para pendekar kemanusiaan merayakan Imlek yang kebetulan tiba bersama musim banjir bukan dengan pesta pora gemerlap duniawi, tetapi terjun ke kawasan banjir secara nyata dan langsung menolong korban banjir. Balairung markas besarBuddha Tzu Chi berubah fungsi menjadi tempat berteduh  para pengungsi akibat petaka banjir. Para relawan mendirikan dapur umum untuk penyediaan makanan minuman bagi para pengungsi.

Marilah merayakan Imlek dengan  semangat  ojo dumeh  sesuai dengan pesan Gus Dur sebagai tokoh yang memungkinkan perayaan Imlek di Indonesia masa kini. Marilah merayakan Imlek dengan riang-gembira, tetapi jangan berlebihan dengan gemerlap pesta pora gegap-gempita, apalagi pamer kekayaan harta benda.

Marilah merayakan Imlek dengan pamer kekayaan budi pekerti dan kasih sayang tanpa melupakan nasib sesama warga Indonesia yang kurang beruntung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar