Akses Universitas
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara (UMN), Serpong
|
KOMPAS, 06
Februari 2016
Bank Dunia sudah lama
menyimpulkan adanya korelasi tinggi antara persentase populasi penduduk yang
memiliki gelar sarjana dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan (Bank Dunia, 1996). Akses masuk ke universitas seharusnya dibuka
secara adil dan merata. Sayangnya, sistem seleksi masuk perguruan tinggi kita
masih jauh dari rasa keadilan.
Sistem seleksi masuk
perguruan tinggi kita bukan saja berlaku tidak adil, melainkan dalam
kebijakannya juga memakai pola pikir irasional, membuka peluang
ketidakjujuran, dan belum memiliki keberpihakan pada mereka yang
tersingkirkan secara ekonomi maupun budaya.
Tiga jalur
Saat ini Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sudah dimulai. Di Indonesia,
ada tiga jalur di mana seseorang bisa masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Jalur pertama, yang sekarang ini sedang berlangsung, yaitu jalur undangan
atau sering disebut dengan SNMPTN. Jalur undangan lebih banyak mempergunakan
nilai rapor dan nilai lain sebagai bahan pertimbangan.
Jalur kedua, jalur tes
tertulis yang disebut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Terakhir, ketiga,
jalur mandiri, yaitu seleksi tertulis plus kriteria lain-bergantung pada
kebijakan PT-bagi mereka yang tidak lolos SBMPTN. Biasanya, seleksi jalur
mandiri hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang karena biaya
masuknya mahal.
Tahun ini, kuota
SNMPTN dikurangi 10 persen dari tahun lalu, sehingga kuotanya menjadi 40
persen. Jalur tes tertulis tetap 30 persen. Jatah kuota 10 persen dari jalur
undangan dialihkan ke jalur mandiri. Kebijakan ini secara transparan
menunjukkan keberpihakan PT pada orang-orang kaya. Sebab, jalur mandiri
biasanya diisi oleh mereka yang mampu membayar mahal untuk masuk ke PTN
secara mandiri.
Chua (2003) dalam
risetnya menyatakan bahwa kesejahteraan karena perbedaan tingkat pendidikan
tidak terdistribusi secara proporsional, tetapi hanya menguntungkan kelompok
orang kaya dan menyingkirkan kelompok lain. Analisis Chua ini justru malah
diafirmasi oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan
mengalihkan kuota SNMPTN untuk jalur mandiri. Orientasi ekonomis PT sangat
terlihat dari kebijakan ini.
Masalah integritas
Sistem seleksi kita
juga membuka peluang adanya inflasi dan manipulasi nilai. Dengan adanya
sistem undangan yang besarnya 40 persen, di mana siswa tidak perlu melalui
tes tertulis, potensi kecurangan ada di sekolah. Kita tahu, di
sekolah-sekolah kita, untuk ujian nasional (UN) saja masih banyak terjadi
kecurangan. Dengan adanya jalur undangan di mana nilai rapor menjadi
kriteria, banyak sekolah berusaha menaikkan nilai siswa secara sistematis
melalui penentuan kriteria ketuntasan minimal sehingga para siswa mereka
dapat lolos masuk ke PTN.
Kecenderungan ini sesungguhnya di masa depan
akan merusak kualitas PT itu sendiri karena para siswa yang lolos adalah
mereka yang nilainya sudah diinflasi sehingga tidak menunjukkan realitas
sesungguhnya tentang kemampuan siswa. Kebijakan seleksi masuk telah membuka
peluang potensi disintegritas moral di kalangan pendidik. Inflasi ini sering
kali menjadi modus, bahkan sejak siswa berada di kelas X.
Melawan akal
Sistem seleksi jalur
undangan melawan akal sehat dan tidak adil. Sistem proporsi berdasarkan akreditasi
sekolah, meskipun tampaknya baik, tetapi sesungguhnya didasari pola pikir
yang tidak logis dan sesat. Sekolah dengan akreditasi A memperoleh kuota 70
persen, B 50 persen, C 25 persen dan tidak terakreditasi hanya memperoleh
kuota 10 persen.
Pemikiran ini sesat
karena menyimpulkan kualitas individu dari kualitas lembaga. Dalam ilmu
logika, ini disebut dengan genetic fallacy, di mana seseorang itu dianggap
tidak berkualitas, tidak kredibel, dan tidak dapat dipercaya karena
asal-usulnya, baik itu karena ras, agama, sosial, atau lembaga di mana ia
berasal.
Pemikiran tidak logis
ini juga terjadi ketika indeks integritas UN dipakai sebagai pertimbangan
masuk PT. Siswa dengan nilai tinggi, tetapi sekolahnya memiliki integritas
rendah bisa jadi tidak lolos dalam seleksi karena kualitas sekolahnya.
Kebijakan sesat pikir ini karena menganggap bahwa sekolah yang indeks
integritasnya rendah, otomatis seluruh siswanya tidak jujur. Padahal, SNMPTN
adalah seleksi individu, bukan seleksi lembaga pendidikan!
Seleksi masuk PTN juga
mendiskriminasi dan tidak adil karena menghukum individu yang tidak bersalah.
Bila ada lembaga pendidikan terbukti memanipulasi nilai, lembaga pendidikan
itu akan dihapus dari daftar SNMPTN tahun berikutnya, sehingga siswa kelas XI
yang tidak bersalah tertutup aksesnya untuk melaju ke PTN melalui jalur
SNMPTN tahun depan.
Demikian juga ketika
ada siswa yang sudah menerima undangan SNMPTN, tetapi kemudian
membatalkannya, maka yang menerima akibat adalah adik kelasnya. Pola pikir
ini sangat tidak rasional, tidak logis, tidak adil, dan sesungguhnya
melanggar hak individu dalam memperoleh akses pendidikan.
Seleksi masuk PT
seharus memakai kriteria keadilan, obyektivitas dan keadilan dengan lebih
mengutamakan kalangan miskin, tetapi memiliki kapasitas dan kemampuan. Kuota
jalur undangan harusnya hanya 5 persen, karena ini merupakan cerminan dari
kandidat mahasiswa terbaik, berbakat, dan istimewa dalam hampir seluruh
populasi dalam kurva normal, 85 persen untuk bersaing secara adil dan meritokratis
melalui seleksi tertulis oleh lembaga independen, dan 10 persen siswa untuk
jalur mandiri yang mencerminkan persentasi rata-rata orang kaya dalam seluruh
populasi. Dalam kuota 85 persen ini, harus ada kuota kebijakan afirmatif
untuk daerah-daerah khusus sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia
ini bisa ditingkatkan.
Perguruan tinggi kita
tidak akan bermutu bila sistem seleksi kita masih memberi ruang bagi berbagai
bentuk ketidakjujuran, tidak logis, dan tidak adil. Universitas seharusnya
mendorong tegaknya integritas moral pendidik, menjadi contoh dipraktikkannya
penalaran yang jernih dan logis, serta menjadi sumber inspirasi bagi
perjuangan keadilan bagi mereka yang miskin dan tersingkirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar