Teror Pendidikan Musik
Citra Aryandari ; Etnomusikolog; Pengajar Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
|
KOMPAS, 06
Februari 2016
Musik dipercaya
sebagai media yang mampu merangsang pertumbuhan otak kiri manusia. Wajar bila
kemudian lembaga pendidikan musik formal dan nonformal menjamur di kota-kota
besar.
Stigma bahwa anak
harus mengenyam pendidikan musik sejak dini menjadi orientasi yang dianggap
terbaik bagi orangtua masa kini.
Pendidikan musik nonformal yang menjamur di Indonesia biasanya
menawarkan sejumlah program dengan membagi usia anak didik. Pengenalan musik
usia dini, misalnya pada anak usia 2-3 tahun dijanjikan memicu peningkatan
kecerdasan. Anak usia 4-6 tahun diharapkan mampu mengenal do-re-mi. Anak usia
selanjutnya mulai dengan instrumen pilihan individual yang mengejar grade
atau tingkatan keterampilan.
Di Indonesia,
pendidikan musik untuk anak cukup diminati para orangtua dengan kondisi
ekonomi menengah ke atas. Biaya pendidikan yang cukup mahal mau tak mau membuat kelas sosial
tersendiri. Tren dan gengsi tak jarang turut menghiasi tujuan utama
para orangtua memberi pendidikan musik kepada anak- anaknya. Belajar musik di
Indonesia kebanyakan hanya mengikuti gelombang zaman atau hobi, jarang
yang memilih menjadi pilihan hidup.
Pilihan hidup menjadi
seorang musisi dinilai masih belum menjadi cita-cita favorit anak-anak
Indonesia. Dokter dan insinyur tetap pilihan utama. Jika kita menilik sekolah
kejuruan musik dan pendidikan tinggi musik di Indonesia, kebanyakan siswa
mereka berlatar anak musisi atau anak yang tak diterima di sekolah umum atau
perguruan tinggi dalam bidang ilmu lainnya.
Ini ironis, menimbang
pendidikan musik yang awalnya dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan otak
pada akhirnya hanya menjadi pilihan pelarian. Terlebih mengingat biaya yang
cukup mahal meneror kantong para orangtua. Sudah membayar mahal ternyata
hanya terseret tren sesaat.
Berbeda dengan
pendidikan musik di Taiwan. Riset yang berjudul West Meets East: The Meaning and Study of Western Classical Music in
Taiwan (Dr Pan Li-ming)
disampaikan dalam simposium Royal
Music Association yang bertajuk "Intercultural Transfer in Music"
di Singapura, beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa masyarakat
Taiwan menganggap anak perempuan yang mampu memainkan musik klasik
adalah aset berharga.
Maka, menjadi
kewajiban memberikan pendidikan musik klasik yang terbaik meski harus dengan
berutang. Dikatakan sebuah aset karena anak perempuan denganketerampilan
musik klasik yang baik akan dipinang lelaki berprofesi dokter atau pengacara.
Artinya, ini akan menaikkan derajat atau strata kehidupan keluarga mereka.
Di setiap ruang
Pendidikan musik
memiliki makna tersendiri di setiap ruang. Di Indonesia masyarakat masih
terjebak pada penawaran kapital yang menggiurkan. Tren dan gengsi masih
menjadi teror dalam memilih yang terbaik untuk anak. Mengutip pernyataan
musikolog Erie Setiawan, pendidikan musik di Indonesia berbasis tren dan
gengsi menjadikan anak-anak pinter main musik, tetapi belum tentu memiliki
jiwa baik, karakter unggul, mentalitas, dan jiwa kepemimpinan.
Artinya, seorang anak
yang belajar musik di lembaga pendidikan musik-baik formal maupun
nonformal-rupanya sekadar mengasah kemampuan motoriknya. Anak piawai memencet
tuts piano atau menggesek violin, tetapi jiwa dan emosi musiknya tak terasah.
Ini berseberangan dengan harapan yang disebutkan di awal tulisan ini bahwa
musik mampu menggenjot level kecerdasan anak.
Jika ditarik ke ranah
sempit hubungan anak dan keluarga, ini ironis karena anak belajar dan bermain
musik hanya untuk memenuhi tuntutan orangtua. Anak tak mampu memainkan musik
karena jiwanya tidak musikal. Ditarik ke ranah yang lebih luas, misalnya
kenegaraan atau kebangsaan, anak-anak jebolan pendidikan musik ini tak bisa
memberi faedah pemikiran atau ide untuk bangsa karena musik yang dimainkan
sekadar bentuk musik tanpa emosi.
Setelah menyelesaikan
pendidikan musik akhirnya anak-anak ini harus ikut arus musik kapital yang
mapan. Malang nian, sudah belajar musik karena teror tren dan gengsi orangtuanya,
setelah menyelesaikan studi musiknya harus ikut meneror masyarakat penikmat
musik dengan sajian musik berbasis kapital yang tak mementingkan estetika,
dan rasa musik yang bagus.
Di ranah tradisi ada
model pembelajaran musik yang patut diadaptasi: Bali. Masyarakat Bali
memaknai musik tak hanya sebagai laku kesenian, tetapi juga laku spiritual.
Maka, anak-anak belajar karawitan tidak karena paksaan orangtua, tetapi
mereka menyadari sejak usia dini bahwa karawitan adalah bentuk kesenian dan
laku spiritual yang penting bagi kehidupan. Hasilnya, musik tradisi karawitan
Bali bisa hidup berkesinambungan, dirayakan sebagai laku spiritual mendukung
berbagai upacara keagamaan, sekaligus juga mampu menyumbang nominal yang tak
sedikit saat dihadirkan dalam ranah pariwisata. Musisi bisa menjadi pilihan
mata pencaharian yang tak kalah gengsi dengan pekerjaan di ranah nonkesenian,
seperti dokter atau pengacara.
Sudah saatnya para
orangtua di Indonesia memaknai musik secara lebih luas dan menganjurkan
anaknya belajar musik di lembaga pendidikan musik bukan hanya demi gengsi.
Para orangtua harus memberi tawaran yang bisa dibicarakan dengan anak apakah
anak memang mau belajar musik dengan benar agar anak ikhlas belajar musik.
Akhirnya anak bisa menjadi musisi yang bahagia.
Para orangtua yang
takut dengan teror mahalnya biaya pendidikan musik dapat mencari pilihan lain
di luar lembaga formal. Toh mudah dijumpai komunitas atau perkumpulan musik
tertentu dengan semangat kolektif yang tak mematok biaya karena bertujuan belajar
musik bersama.
Ini saatnya pendidikan
dan pedagogi musik memikirkan strategi pembelajaran musik yang lebih relevan
dengan semangat kekinian anak-anak yang tumbuh di zaman sekarang. Anak-anak
belajar musik tidak dalam suasana teror; mereka mampu jadi musisi dengan
karya yang berfaedah bagi khalayak luas penikmat musik, bukan menghadirkan
teror. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar