Bunga
Trias Kuncahyono ;
Penulis
Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 31 Januari
2016
“Kita semua
bunga-bunga di kebun Tuhan." Begitu kata Presiden Iran Hassan Rouhani
(67). Di Vatikan dan di hadapan Paus Fransiskus, tokoh reformis, yang kerap
menyerukan moderasi, rasionalitas, dan perlunya membuka perundingan dengan
Barat, mengungkapkan hal itu.
Memang, bukan Rouhani
yang pertama kali membuat rumusan begitu indah itu. Dramawan dan produser
film asal Inggris, John James Osborne (1929-1994), dalam puisinya Flowers In
God's Garden menulis We all are flowers in God's Garden. Dalam rumusan yang
lain, Yesaya, sekitar 2.700 tahun silam, menulis, "...engkau akan
seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah
mengecewakan."
Maksud Rouhani jelas.
Ia ingin mengungkapkan bahwa umat beriman, baik itu Kristen, Yahudi, maupun
Muslim, harus hidup berdampingan secara damai, bagaikan bunga yang aneka
ragam warna di taman Tuhan. Begitu indah. Pertemuannya dengan Paus Fransiskus
di Vatikan, beberapa hari lalu, adalah gambaran tentang keinginan itu.
Keinginan Rouhani itu
gayung bersambut. Vatikan-di tengah keberagaman budaya yang ada-memberikan
tekanan yang tegas tentang perlunya membangun kesadaran akan kebersatuan
sebagai keluarga umat manusia agar perbedaan budaya bukannya memecah-belah,
melainkan semakin mau membuka diri satu sama lain untuk bisa saling menerima
dalam perbedaan. Dengan demikian, "kebun bunga" itu menjadi nyata,
mewujud.
Bukankah tidak mungkin
manusia sanggup membangun "hidup bersama" jika tidak mampu menerima
fakta, kenyataan kemajemukan, keanekaragaman, baik dalam hal agama maupun
kebudayaan? Itu sebuah keniscayaan yang harus diterima bagi siapa yang saja
yang mendamba akan perdamaian dan kedamaian.
Dalam rumusan yang
sudah populer, Hans Kung, seorang tokoh post-orientalis, menyatakan, tidak
ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama. Perdamaian hanya bisa
terwujud jika ada dialog antaragama, antarumat beragama dan kepercayaan, dan
tidak ada dialog antaragama tanpa mengkaji fondasi agama-agama.
Karena itu, Paus
Fransiskus mengembangkan tiga dialog. yakni dialog dengan negara, dialog
dengan masyarakat-termasuk dialog dengan budaya dan ilmu pengetahuan, dan
dialog dengan umat beriman yang beragama lain. Pertemuan antara Paus
Fransiskus dan Rouhani di Vatikan adalah pertemuan dua saudara yang sama-sama
mendambakan perdamaian. Keduanya ingin mengembangkan dialog konstruktif untuk
mencari perdamaian.
Dialog, itulah kata
kuncinya. Dialog menuntut kerendahan dan kelembutan hati untuk saling
mendengarkan. Selain itu, diperlukan juga kepercayaan dan kebijaksanaan.
Dalam dialog, kepercayaan akan menumbuhkan persahabatan dan kebijaksanaan
meneguhkan persahabatan. Itulah "nilai dialog".
Dalam bahasa lain,
pendahulu Paus Fransiskus, yakni Paus Yohanes Paulus II, menyebut, dialog
adalah suatu perjumpaan, saling percaya, dan saling hormat satu sama lain.
Perjumpaan memang kadang mengagetkan dan menimbulkan banyak kesan, bisa
positif dan bisa negatif. Namun, perjumpaan yang dilandasi saling percaya dan
saling hormat satu sama lain akan menghasilkan kesadaran baru tentang makna
hidup dan bagaimana hidup bersama seharusnya.
Hal itu pula yang
disarankan Paus Fransiskus kepada pemimpin AS dan Kuba. Bagi Paus Fransiskus,
dialog adalah satu-satunya jalan mengakhiri isolasi Kuba dan permusuhan Kuba
terhadap agama. Upaya memulihkan hubungan antara AS dan Kuba sudah dilakukan
oleh Paus Yohanes XXIII (1962) untuk mengakhiri krisis rudal. Paus Yohanes
Paulus II dan Paus Benediktus XVI melakukan hal yang sama. Semua dilakukan
bagi terciptanya perdamaian.
Usaha untuk perdamaian
itu dilakukan oleh Paus Fransiskus lewat diplomasi religius, yakni diplomasi
yang diinspirasi oleh prinsip-prinsip religius dan dapat bersama-sama membuat
rencana untuk memerangi kekejaman dan ekstremisme di dunia dan mengakhiri
perang. Diplomasi Paus Fransiskus mengikuti jejak diplomasi Paus Yohanes
Paulus II yang mampu membantu meruntuhkan Tembok Berlin dan mengakhiri
komunisme di Polandia dan seluruh Eropa (Samuel C Baxter dan Stacey l Palm:
2015).
Teheran melihat semua
itu. Teheran tidak hanya melihat Tahta Suci, Vatikan, sebagai persimpangan
global agama Abrahamik yang lain selain Islam dan Yudaisme, tetapi Teheran
juga melihatnya sebagai pusat geopolitik independen dan otoritatif yang
berbeda dengan Washington dan negara-negara Eropa. Karena itu, perjalanan
Rouhani ke Eropa-Italia dan Perancis-dimulai di Vatikan sebagai pintu gerbang
masuk Barat. Hubungan baru bisa berkembang dan berbuah jika ada saling
percaya percaya di antara yang berhubungan. Teheran mempercayai Vatikan.
Paus Fransiskus pun
percaya bahwa Iran bisa memainkan peran lebih besar, lebih penting untuk
mengusahakan perdamaian di Timur Tengah, dan memerangi terorisme,
radikalisme. "Doakan saya," kata Rouhani menirukan pernyataan yang
selalu dikatakan Paus Fransiskus ketika menanggapi harapan pemimpin umat
Katolik sedunia itu.
Bukan tanpa dasar jika
Paus Fransiskus dan Rouhani minta "didoakan". Doa bukanlah pelarian
dari realitas historis dan problem riil yang tengah dihadapi. Doa bagi
perdamaian dipilih sebagai tindakan karena kekuatan nyata untuk menegakkan
perdamaian dan keadilan hanya datang dari Yang Ilahi.
Perdamaian, dengan
demikian, merupakan sesuatu yang memiliki dimensi spiritual karena doa juga
merupakan tindak perdamaian. Perdamaian bukan hanya hasil dari perundingan,
kompromi politik atau ekonomi. Perdamaian bukan hanya hasil dari para
perunding, melainkan hasil bersama, termasuk berdoa.
Itulah sebabnya, pada
2014, Paus Fransiskus mengundang Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon
Peres untuk berdoa bersama di Vatikan. Beberapa hari lalu, Rouhani ke Vatikan
untuk bersama Paus Fransiskus menyirami "kebun bunga di ladang
Tuhan" yang di banyak tempat mengering. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar