Suparto Brata, Begawan Sastra Jawa
Tito Setyo Budi; Dosen
STKIP PGRI Ngawi;Peserta Program Doktor di ISI Solo
|
KOMPAS, 31 Januari
2016
Ada tiga nama besar
yang tergolong pengarang anapas landhung (memiliki napas panjang, artinya
mampu membuat cerita-cerita panjang) dalam sastra Jawa modern, yaitu Esmiet,
Tamsir AS, dan Suparto Brata. Ketiganyalah yang secara bergantian mengisi
lembar-lembar cerita bersambung di tiga majalah berbahasa Jawa terkemuka,
yaitu Panjebar Semangat dan Jaya Baya (keduanya terbitan Surabaya) serta
Djaka Lodang (terbitan Yogyakarta), dalam kurun waktu tiga dasawarsa, dari
tahun 1960-an hingga 1980-an.
Namun, dalam peta
sastra Jawa, nama Suparto Brata seakan berada dalam kelas tersendiri.
Pemilihannya atas cerita-cerita detektif membuatnya memiliki barisan
penggemar fanatik. Tokoh detektif Handoko yang digambarkan bertubuh kurus,
tinggi sedang, berkulit sawo matang, namun cerdik dan teliti (ada yang lantas
mengidentifikasikan dengan persona Suparto Brata sendiri), telah membius
ribuan pembacanya. Terutama pada pengujung tahun 1960-an, yang ketika itu
Panjebar Semangat mencapai oplah 88.000 eksemplar per minggu (Kompas, 12
September 2015, halaman 16).
Kemampuannya menguasai
sejumlah bahasa asing (Inggris, Belanda, dan Jepang) membuatnya tak kesulitan
meracik cerita detektif yang disesuaikan dengan lingkungan dan zamannya.
Itulah detektif Jawa. Suparto Brata begitu cermat mencatat tempat-tempat atau
kota yang akan dijadikan setting cerita bersambungnya. Juga karakter tokoh-tokohnya
yang sering digambarkan unik, beneh (berbeda), dalam olahan plot yang tak
gampang ditebak, menjadikan pembacanya semakin penasaran.
Dalam proses kreatif,
ada perbedaan antara membuat cerita bersambung yang akan diterbitkan setiap
pekan dan penulisan novel detektif langsung. Ada kiat tersendiri untuk
menjerat pembaca agar selalu menanti dengan harap-harap cemas terbitan
berikutnya. Tamsir AS pernah memberikan resepnya, yaitu dengan mengangkat
atau mencuatkan sedikit pada ujung alinea sebelum tulisan diakhiri dengan
kata: ana candhake (bersambung). Itu pula yang dilakukan oleh Suparto Brata
dan Esmiet.
Pengarang ulang-alik
Dalam sebuah sarasehan
di pengujung tahun 1970-an di Sasana Mulya, Solo, Sapardi Djoko Damono yang
diundang untuk memberikan pemikirannya agar sastra Jawa tetap lestari
mengatakan bahwa salah satu caranya adalah sastrawan Jawa harus bisa menjadi
pengarang ulang-alik. Artinya, bisa mengarang dalam bahasa Jawa sekaligus
juga dalam bahasa Indonesia. Maklumlah, pada sarasehan tahun sebelumnya,
pengarang sastra Jawa yang sedang naik daun kala itu menjadi sastrawan
Indonesia, Arswendo Atmowiloto, tampil sebagai pembicara dengan makalah yang
sangat pendek bertajuk Sastra Jawa Telah Mati. Adapun yang hadir dalam
sarasahen itu, katanya, tak lebih dari para peziarah. Banyak peserta
sarasehan yang marah. Bahkan seorang pengarang muda dari Tulungagung, Jawa
Timur, menyebut Arswendo sebagai pengecut. Dasar Arswendo, dengan gaya
cengengesan-nya bukannya menarik ucapannya atau meminta maaf, dia malah
berseloroh: iya kecut, karena memang belum mandi.
Maka, nasihat yang
disampaikan oleh Sapardi Djoko Damono bak kidung pelipur lara. Para pengarang
sastra Jawa seakan tergugah untuk melihat cakrawala baru. Ada sebagian yang
kemudian ikut menulis dalam bahasa Indonesia. Toh, Suparto Brata tetap yang
muncul sebagai jawara. Dialah salah satu (kalau bukan satu-satunya) pengarang
sastra Jawa yang mampu melakukan ulang-alik itu. Yang lain tenggelam atau
hanya sayup terdengar.
Dengan
novelnya-novelnya semacam Saksi Mata, Kremil, Aurora, Saputangan Gambar Naga,
Gadis Tangsi, Kerajaan Raminten, Mahligai di Ufuk Timur, Mencari Sarang
Angin, dan yang terakhir Tak Ada Nasi Lain (kecuali Kremil, semua novel itu
diterbitkan oleh grup Kompas), sepatutnya Suparto Brata disejajarkan dengan
sastrawan Indonesia yang lain. Namun, ironisnya, dia tetaplah
"hanya" dianggap sebagai pengarang sastra Jawa yang
"kebetulan" mengarang dalam bahasa Indonesia. Padahal, novelnya
yang berjudul sama, Jaring Kalamangga, yang ditulis dalam dua bahasa, Jawa
dan Indonesia, sama memikatnya.
Hal itu juga secara
tidak langsung diakui oleh Sapardi Djoko Damono. Dalam majalah Horison,
Oktober 1973, Sapardi menulis: "Barangkali ada juga karya bahasa Sunda
atau Jawa yang baik, yang seharusnya diikutsertakan kalau kita menyusun
antologi sastra Indonesia, terutama yang sengaja disusun untuk bangsa lain.
Apakah kita tidak akan pernah memperkenalkan Suparto Brata, misalnya, sebagai
penulis Indonesia".
Sastra itu buku
Lahir di Surabaya pada
27 Februari 1932 setelah menamatkan pendidikan menengahnya di SMA St Louis
Surabaya (1954-1956), Suparto Brata telah menjatuhkan pilihan untuk mengisi
hari-harinya dengan mengarang. Hampir tak ada waktu terlewatkan untuk terus
membaca dan menulis, terutama, memang, dalam bahasa Jawa. Jika ada sedikit
waktu luang dari pekerjaannya sebagai anggota staf humas Kotamadya Surabaya (1971-1988/pensiun),
pasti diisi dengan menulis crita cekak (cerita pendek). Menurut pengakuannya,
aktivitas menulis dimulai pada 1952. Semula dalam bahasa Indonesia yang
dimuat oleh media massa waktu itu, semacam Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah,
Roman,dan Sastra. Tahun 1958, barulah menulis dalam bahasa Jawa yang dimuat
dalam majalah Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Garis tangan tak bisa
disalahkan jika kemudian Suparto Brata rupanya lebih mencintai sastra Jawa.
Meskipun saat saya berkunjung ke rumahnya di kawasan Rungkut Asri, Surabaya,
dia mengatakan sambil terkekeh, enaknya menulis dalam bahasa Indonesia dan
dibukukan adalah honornya bisa buat membangun rumah. Waktu itu memang bagian
belakang rumahnya sedang direnovasi besar-besaran menyusul novelnya, Saksi
Mata, baru saja diterbitkan Kompas.
Setelah dua
sejawatnya, Tamsir AS dan Esmiet, wafat, tinggal Suparto Brata yang menjadi
panutan dan rujukan para pengarang sastra Jawa generasi muda. Hampir di setiap acara sastra Jawa di sejumlah
kota, dia selalu hadir meski biaya untuk itu harus merogoh dari kantongnya
sendiri. Duduk, menyaksikan, kemudian menyampaikan beberapa komentar saat
diminta. Jika anak-anak muda berdebat hingga tak jelas ujung pangkalnya,
biasanya begitu, dia menengahinya dengan kalimat-kalimat yang bijak dan
menyejukkan.
Meski tak pernah
diakui, saya tahu Suparto Brata membantu biaya penerbitan sejumlah buku
pengarang-pengarang muda serta beberapa kali mendonasi lomba penulisan esai
dan kritik sastra Jawa. Karena itulah, tak ada yang menampik sebutan begawan
sastra Jawa disematkan kepada lelaki kurus, suka berblangkon dan berbaju
lurik, itu.
Ketika pada Jumat Pon,
11 September 2015, saya terima kabar dari teman-teman Surabaya bahwa Eyang
Suparto Brata telah mengembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 21.30,
saya terdiam, tergugu. Saya pandangi foto bersamanya yang tergantung di
samping tangga ruang atas, di mana beliau, waktu itu, dengan usianya yang
hampir menyentuh angka 80, masih energik naik dan turun dari dan ke kamar
yang saya sediakan.
Saya dengar kritik
kerasnya pada pendidikan sekarang yang mengesampingkan pelajaran mengarang
dan lebih mengutamakan keilmuan bahasanya. Juga kegalauannya terhadap
minimnya penerbitan buku-buku karya sastra berbahasa Jawa. "Sastra itu
buku," teriaknya dalam berbagai kesempatan. Dan dia sendiri telah
menerbitkan sedikitnya 183 buku, termasuk yang berbahasa Indonesia. Sepuluh tahun
terakhir, sejumlah bukunya dicetak ulang, antara lain Garuda Putih, Donyane
Wong Culika, Tretes Tintrim, Jaring Kalamangga,dan Dom Sumurup ing Banyu.
Semuanya tak berhenti lama di pajangan toko-toko buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar