Pembersihan
Samuel Mulia ;
Penulis
Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 31 Januari
2016
Dua teman saya
menjalankan program detoks selama tiga hari dengan hanya mengonsumsi jus
buah. Salah satu dari keduanya mengatakan, setelah tiga hari, ia merasa bahwa
indera kecapnya lebih peka dalam merasakan makanan. Terlalu asin atau terlalu
manis. Ia mengakui, sebelum program pembersihan itu dilakukan, lidahnya tak
pernah sepeka itu.
Asupan negatif
Salah satu karyawan
saya juga melakukan program semacam itu selama tujuh hari karena berat badan
yang bertambah. Semua yang melakukan pembersihan raga ini hanya memiliki satu
tujuan: memulihkan keadaan.
Setelah mendengar
cerita itu, tiba-tiba saya merasa bahwa program pembersihan semacam itu bisa
diterapkan juga untuk menghilangkan sikap buruk saya. Menghilangkan asupan
negatif yang saya konsumsi bertahun lamanya.
Kekhawatiran, korupsi,
perselingkuhan, iri hati, kesombongan, dan pertikaian karena perbedaan
pendapat. Padahal, dari sejak dunia ini diciptakan, Anda dan saya tahu persis
bahwa perbedaan itu sudah ada. Sedihnya, kita sudah tahu sejak lama, tetapi
kita juga bertikai sejak lama.
Kekhawatiran. Itu
adalah salah satu asupan negatif yang paling banyak saya konsumsi bertahun
lamanya, yang membuat "lidah" tidak peka lagi terhadap kemampuan
saya sendiri. Saya menimbun lemak kekhawatiran yang menggunung sehingga saya
menghadapi kejadian setiap hari dengan tekanan batin yang sangat.
Perselingkuhan. Sebuah
aktivitas yang saya pelihara karena saya menemukan kesenangan di dalamnya.
Sama seperti sedang menikmati makanan yang sungguh nikmat nan menggiurkan,
yang sayang kalau tidak dicicipi dan didiamkan saja. Yang menggiurkan itu
sampai membuat saya lupa bahwa itu mengundang datangnya kolesterol, gula
darah, dan tekanan darah yang bisa naik melejit seperti roket.
Mengonsumsi yang
negatif awalnya takut, deg-degan, merasa bersalah, tetapi karena dilakukan
setiap saat, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi sebuah ketakutan yang
nikmat. Dan, makin lama dilakukan, maka ketakutan hilang dan hanya
kenikmatannya saja yang tersisa.
Setelah merasakan
nikmat, maka seperti lidah teman saya sebelum detoksifikasi dilakukan, hati
saya menjadi kebal dan kehilangan kepekaan. Karena kebal, maka saya tidak
lagi merasa kalau asupan itu terlalu "asin" atau terlalu
"manis". Maka, saya menyantap makanan bernama perselingkuhan itu
tanpa rasa bersalah.
Pencegahan
Perasaan takut atau
deg-degan yang timbul di awal ketika menelan asupan negatif sejujurnya adalah
sebuah reaksi positif karena terjadinya friksi antara kebaikan dan keburukan.
Itu adalah perasaan yang dihasilkan karena kedisiplinan yang biasa dilakukan,
mulai tergoda untuk melanggar. Mengapa tergoda? Sebab, umumnya hal yang
melanggar itu nikmatnya setengah mati.
Kalau disiplin itu
dianalogikan sebagai makanan, maka ia akan berupa sayur mentah atau rebusan,
buah-buah segar, bubur gandum, minum air, ikan. Nah, melanggar itu ada
garamnya, ada gulanya, ada bumbu ini dan bumbu itu.
Disiplin itu renang,
lari, pergi ke pusat kebugaran, tidur yang cukup. Melanggar itu bernama rasa
malas, memilih tetap di tempat tidur yang empuk, selimut yang menghangatkan
di hari hujan, dan kamar berpendingin. Belum lagi kalau di kamar berpendingin
atau di suasana hujan seperti yang terjadi belakangan, ada yang menemani
tidur. Dan, yang menemani itu adalah pasangan milik orang lain.
Beberapa hari lalu
saya dipanggil seorang klien. Singkat cerita mereka ingin membuat sebuah
proyek. Saya tanya siapa saja yang ikut dalam tender ini. Kemudian ia menyebut
salah satu perusahaan besar. Sepulang dari rapat itu, ada perasaan khawatir,
kok, lawannya perusahaan besar.
Bapak, Ibu, dan
Saudara-saudari se-Tanah Air, ketika kekhawatiran datang meski baru sedikit
saja, saya sejujurnya sudah jatuh ke dalam godaan. Godaan untuk tidak
menghargai kemampuan sendiri. Godaan berupa kekhawatiran itu kelihatannya
bagus karena saya bisa berhati-hati dalam melakukan persiapan.
Saya katakan,
pemikiran semacam itu sebuah kekeliruan besar. Kekhawatiran tidak akan pernah
menimbulkan kedisiplinan untuk berhati-hati, kekhawatiran bukan alasan untuk
mawas diri. Kekhawatiran itu menyetir seseorang kepada kepanikan.
Namanya juga khawatir,
maka ia tak pernah memberikan rasa damai sehingga seseorang tak bisa berpikir
tenang. Dalam kekhawatiran, saya tak bisa lagi memiliki "lidah"
yang peka kalau sebuah kondisi yang dihadapi sejujurnya tidak terlalu sulit.
Saya tak bisa lagi melihat kemampuan saya kalau saya pernah dua kali
mengalahkan perusahaan besar itu di beberapa kesempatan. Kekhawatiran saya
sudah mengecoh kepekaan.
Maka, pembersihan yang
dilakukan dua teman dan satu karyawan saya di atas adalah sebuah jalan keluar
untuk mengembalikan "indera pengecapan" pada kondisi semula. Karena
pembersihan itu mencegah yang awalnya sudah kita setujui keliru, kemudian
berubah menjadi begitu benar adanya. Pembersihan diri itu mencegah asupan
yang buruk agar tidak merusak kebiasaan yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar