Mewaspadai
Konflik (Terbuka) Arab Saudi-Iran
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2016
EKSEKUSI mati terhadap salah satu tokoh Syiah
terkemuka di Arab Saudi, Nimr al-Nimr, telah mengantarkan konflik antara
Arab Saudi dan Iran ke permukaan yang lebih kasatmata. Sebagaimana dimaklumi,
pada Sabtu (2/1) Arab Saudi mengumumkan telah mengeksekusi mati 47 orang
dengan tuduhan terorisme. Salah satunya Syeikh Nimr al-Nimr. Eksekusi itu
memancing kemarahan besar dari komunitas-komunitas Syiah, khususnya di Iran
sebagai negara yang mayoritas penduduknya bersekte Syiah, hingga terjadi aksi
penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada
pemutusan diplomatik di antara kedua negara.
Ibarat gunung es, konflik yang semakin
kasatmata antara Arab Saudi dan Iran pascaeksekusi Syeikh Nimr al-Nimr
hanyalah bagian atas dari fenomena gunung es. Dikatakan bagian atas karena
konflik ini masih sangat besar kemungkinannya untuk terus meningkat hingga
membawa kedua negara pada perang terbuka.
Kegagalan Arab Spring
Bila diamati secara cermat, segenap konflik di
Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir dapat disebut sebagai perang
sektarian, Sunni dengan Syiah. Secara periodik, perang sektarian di Timur
Tengah belakangan ini terjadi pada paruh terakhir 2012 di Suriah yang
sekaligus menjadi tanda kuat bagi gagalnya Arab Spring yang melanda dunia
Arab pada akhir 2010.
Pada awalnya, Arab Spring tak ubahnya bunga yang mekar di kalangan dunia Arab
sekaligus menjadi tanda bagi terbentuknya pemerintahan yang lebih demokratis,
terbuka, dan jauh dari aksi-aksi otoritarianisme. Itu sebabnya, Arab Spring kerap disebut dengan
istilah Musim Semi Arab (ar-rabi'
al-`arabi).
Dengan segala ketulusan, kemurnian, dan
harapan yang ada, Arab Spring terus menggulingkan penguasa-penguasa dunia
Arab yang secara samar-samar sebelumnya diberitakan kerap memperlakukan
rakyatnya secara otoriter. Bahkan, Arab Saudi pun sempat digoyang oleh Arab
Spring (khususnya di wilayah timur yang salah satu tokohnya ialah Nimr
al-Nimr).
Begitulah seterusnya hingga Zainal Abidin di
Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir dapat dilengserkan oleh rakyatnya sendiri.
Kemurnian Arab Spring tampak mulai
berkurang ketika terjadi di Libia karena tak hanya melibatkan rakyat, tapi
juga negara-negara luar. Hal kurang lebih sama juga terjadi dengan Arab Spring di Yaman yang pada
akhirnya bisa dikondisikan oleh negara-negara Arab Teluk, termasuk Arab
Saudi.
Arab Spring yang terjadi di Suriah juga kurang
lebih sama, ditambah dengan penggunaan sentimen Syiah-Sunni pada paruh
terakhir 2012. Bashar al-Assad yang tak mau turun dari takhtanya dianggap
telah membantai orang-orang Sunni. Rezim Bashar al-Assad pun kerap mendapat
kecaman dari komunitas-komunitas Sunni yang bersifat mayoritas di dunia Arab
dan Timur Tengah secara umum. Saat ini Arab
Spring pun benar-benar menjadi perjuangan yang gagal.
Kedekatan khusus rezim Bashar al-Assad dengan
unsur-unsur Syiah sejak dulu (mulai Iran sampai Hizbullah di Libanon) menjadi
pembenar tersendiri bagi sentimen sektarian yang mulai hadir dalam krisis
politik di Suriah. Apalagi rezim ini terus mendapatkan dukungan dari
unsur-unsur Syiah di atas. Sementara kelompok revolusi dan masyarakat Suriah
yang mayoritas Sunni terus didukung dan diperkuat oleh unsur-unsur Sunni,
seperti Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara Arab Teluk lainnya. Hingga
sentimen sektarian tak ubahnya `gula aren' yang matang di atas `wajan' krisis
di Suriah sekaligus menjadi daya tarik bagi datangnya pejuangpejuang asing
dari luar untuk berperang di negeri itu.
Konflik sektarian
Pada beberapa bagian, konflik sektarian di
Timur Tengah dapat disebut sebagai konflik paling sensitif sekaligus klasik.
Di satu sisi karena pendukung dari kedua belah pihak sangat besar jumlahnya
di kawasan ini, dan di sisi lain karena di wilayah ini terdapat
monumenmonumen sejarah yang merekam dengan sangat kuat sejumlah konflik dan
perang atas semangat sektarian.
Hal yang harus diperhatikan, konflik sektarian
di wilayah ini bisa terkelupas secara mudah dan menganga kembali sebagai luka
baru akibat peristiwa-peristiwa politik kekinian. Demikianlah, persoalan
pergantian kekuasaan di Suriah akhirnya menjadi konflik semiterbuka antara
Arab Saudi dan Iran. Begitu juga persoalan ambisi kekuasaan mantan Presiden
Yaman, Ali Badullah Saleh, untuk kembali berkuasa telah membuka luka
sektarian yang akhirnya benar-benar menganga sebagai luka yang baru hingga
sekarang.
Di sini dapat ditegaskan, bila sebuah konflik
dapat dikategorikan berdasakan jenisnya, konflik sektarian di Timur Tengah
bisa disebut sebagai salah satu konflik utama yang paling sensitif. Sementara
konflik antaragama tidak terlalu dominan di kawasan ini, setidaktidaknya bila
dibandingkan de ngan konflik sektarian.
Sementara itu, pengalaman konflik di Indonesia
berkebalikan dengan konflik yang terjadi di Timur Tengah, karena konflik yang
paling traumatis sekaligus paling sensitif di negeri ini ialah konflik
antaragama, setidak-tidaknya bila dibandingkan dengan konflik yang bercorak
sektarian.
Indonesia waspada
Oleh karena itu, konflik sektarian yang terus
terjadi di Timur Tengah, termasuk konflik yang semakin terbuka antara Arab
Saudi dan Iran, harus diwaspadai dan diantisipasi secara serius oleh segenap
elemen bangsa, khususnya pemerintah. Dengan demikian, konflik yang terjadi di
Timur Tengah tidak menambah bobot konflik negeri ini.
Hal itu penting diperhatikan mengingat di satu
sisi Timur Tengah acap menjadi sentrum bagi masyarakat Indonesia. Hal-hal
yang terjadi di wilayah para nabi itu pun kerap mendapatkan perhatian dari
masyarakat luas.
Di sisi lain, kesadaran kritis masyarakat
terkait dengan konflik di Timur Tengah masih sangat lemah sehingga tak jarang
konflik yang ada acap dipahami dalam kacamata teologis yang tak jarang
menimbulkan pro dan kontra, walaupun konflik yang ada bersifat
politik-kekuasaan, bukan teologikeagamaan.
Dalam beberapa waktu terakhir, pro-kontra,
dukung-mendukung, bahkan saling menyesatkan terkait isu Sunni-Syiah sudah
terjadi di sebagian pihak di Indonesia, khususnya di dunia maya. Bila itu
terus berlanjut tanpa adanya antisipasi yang optimal, bukan tidak mungkin
konflik sektarian juga akan menjadi jenis baru konflik utama di negeri ini.
Padahal pada waktu yang bersamaan bangsa ini
belum bisa membebaskan diri secara total dari konflik-konflik yang bersifat
antaragama. Maka, mewaspadai konflik sektarian sekaligus menyelesaikan konflik
yang bersifat antaragama mendesak untuk segera dilakukan. Dengan begitu, bangsa
ini dapat menuju pada kehidupan yang damai dan terbebas dari segala jenis
konflik. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar