Silang Sengkarut Dunia Arab
Hajriyanto Y Thohari ;
Ketua
PP Muhammadiyah; Mantan Wakil Ketua MPR
|
REPUBLIKA, 27 Januari
2016
Saat ini, tidak ada
kawasan yang sedemikian bergolak melebihi Timur Tengah. Seolah menjadi titik
pusar dunia tempat seluruh kepentingan politik, ekonomi, dan peradaban
beradu. Kawasan yang di dalamnya terdapat tiga tempat suci Islam (Makkah,
Madinah, dan Yerusalem) dan satu tempat suci tiga agama besar dunia
(Yerusalem adalah tempat suci agama Yahudi, Kristen, dan Islam) ini selalu
dililit berbagai persoalan yang datang silih berganti yang sebagian besar
selalu berujung pada konflik, peperangan, dan pertumpahan berdarah
berkepanjangan.
Kawasan itu terus
membara sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina (1948) yang melahirkan
perang Arab-Israel yang langsung atau tidak langsung menimbulkan friksi
antarnegara Arab sendiri, perang antarfaksi (Hamas dan Fatah di internal
Palestina), antarmilisi (di Lebanon), dan antarnegara. Kemudian, berlanjut
dengan Perang Irak-Iran, Irak-Kuwait, belum lama ini Arab Spring yang gagal
dan berbunga darah, koalisi yang dipimpin Arab Saudi melawan pemberontak
Houthi di Yaman, munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dan
berbarengan dengan itu ketegangan serius antara Arab Saudi dan Iran karena
perebutan hegemoni kawasan.
Apa yang disebut
dengan Timur Tengah adalah kawasan yang meliputi dunia Arab ditambah
negara-negara non-Arab, seperti Iran, Afghanistan, Turki, dan Israel. Adapun
dunia Arab itu sendiri meliputi semua negara yang dihuni oleh bangsa-bangsa
yang berbahasa Arab.
Dengan definisi
seperti itu maka dunia Arab bukan hanya Arab Saudi, negara-negara Arab Teluk,
Irak, Yordania, dan Lebanon saja, melainkan juga negara-negara di Afrika
Utara, seperti Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia, Aljazair, Mauritania,
Somalia, Djibouti, Komoro, dan lainnya adalah bangsa Arab.
Perlu dicatat, pada
mulanya kebanyakan bangsa-bangsa ini bukanlah bangsa Arab yang asli,
melainkan menjadi bangsa Arab karena diarabkan atau terarabkan (Arabization). Meski menjadi bangsa
Arab karena diarabkan (Arabisasi) bukan berarti kearaban mereka tidak kuat:
Mereka ini semuanya mengidentifikasikan dirinya sebagai bangsa Arab oleh
karena berbahasa Arab. Dan, kearaban ('Urubah)
bangsa-bangsa itu tetap bertahan hingga kini dan malah negara-negara ini
sejak 1945 bergabung dalam Liga Arab (al-Jami'ah
al-Arabiyyah).
Kawasan yang begitu
luas membentang dari Irak (Arab Masyriq) sampai Maroko (Arab Maghrib) yang
sejak lama relatif berada di bawah satu kekuasaan dinasti tunggal
(kekhalifahan Umayyah, Abasiyah, dan seterusnya sampai Ustmani atau Ottoman)
itu kemudian di bawah kolonialisme Barat dan selepas Perang Dunia II terpecah
menjadi lebih 20 negara Arab yang sering terjadi ketegangan dan perang.
Piagam Liga Arab yang antara lain menyatakan melarang negara anggotanya
saling menyerang dengan menggunakan kekerasan satu sama lain, kenyataannya
hanya ada dalam teori yang tidak pernah ada dalam kenyataan.
Ketika persoalan
bangsa Palestina yang wilayahnya dianeksasi Israel belum juga terpecahkan
setelah tujuh dasawarsa dan semua negara Arab masing-masing sedang menghadapi
permasalahan politik internal yang gawat, kini muncul ISIS yang bukan hanya
membawa resonansi, reperkusi, dan emanasi politik ke seantero jagat,
melainkan juga melibatkan hampir seluruh negara besar di dunia.
Internasionalisasi ISIS benar-benar merepotkan dunia internasional dalam
segala dimensinya.
Bayangkan ISIS yang
dari namanya saja jelas-jelas merupakan gerakan politik dari orang-orang yang
ingin mendirikan kekhalifahan di wilayah Irak dan Suriah, tetapi bisa
merekrut ribuan orang dari berbagai negara, termasuk di antaranya warga
negara Barat. Bayangkan, Eropa dan AS yang notabene sebagai negara
mengerahkan pasukan dengan segala daya dan energinya dalam suatu koalisi
dunia untuk menghancurkan ISIS, tetapi ironisnya banyak warga negaranya
sendiri yang ikut berperang di pihak ISIS. Bahkan, juga tidak sedikit orang
Indonesia yang bersimpati dan malah pergi ke sana untuk mendukung secara
fisik sebagai tentara ISIS.
Kini, ISIS bukan hanya
digempur habis-habisan oleh koalisi Barat, seperti Amerika, Prancis, Inggris,
dan Jerman, melainkan juga koalisi dari arah lain yang dipimpin Rusia.
Beberapa negara Timur Tengah, seperti Iran, Turki, dan koalisi negara-negara
Arab juga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan ISIS.
Aneh bin ajaib, ISIS
yang telah ditahbiskan menjadi musuh dunia internasional dan kemanusiaan
sejagat itu belum juga hancur, malah menyatakan bertanggung jawab di balik
aksi-aksi terorisme brutal di berbagai sudut dunia, seperti di Paris,
Istanbul, dan Jakarta.
Seperti benang kusut
Konflik politik di
Timur Tengah tak ayal lagi selalu berdimensi mondial, internasional, dan
bersifat multidimensional, sehingga memiliki tingkat kerumitan yang luar
biasa pelik. Tidak ada satu pun konflik di kawasan itu yang berdimensi
tunggal; semua faktor baik ideologi, politik, ekonomi, budaya, agama, bahkan
sekte dan aliran saling berjalin berkelindan dan bercampur-aduk menjadi satu,
akibatnya konflik dan perang di Timur Tengah senantiasa mengundang pemihakan
politik internasional yang subjektif dan emosional, sehingga sulit untuk
diidentifikasi, didiagnosis, dan dipecahkan dengan segera.
Seorang diplomat salah
satu negara Arab di Jakarta pernah memberikan nasihat yang mencengangkan
kepada tokoh-tokoh Islam di Indonesia yang karena terlalu bersemangat
menyikapi situasi Timur Tengah, sehingga terbelah menjadi dua golongan; yang
mendukung Hamas dan yang mendukung Fatah di Palestina (dulu); dan kelompok
yang mendukung Arab Saudi dan yang mendukung Iran (akhir-akhir ini).
"Politik Arab", demikian katanya dengan sangat meyakinkan,
"terlalu rumit bagi kalian. Kalian jangan terlibat terlalu dalam karena
nanti kalian akan kecewa."
Dunia Arab itu, kata
Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and
Abroad (2003), adalah suatu padang pasir politik yang tak memiliki partai
politik yang nyata, tak ada kebebasan pers, dan hanya sedikit jalan demokrasi
bagi oposisi atau pembangkang. Sebagai hasilnya, masjid--sebagai satu satunya
tempat yang tidak mungkin bisa ditutup di masyarakat Muslim--menjadi tempat
untuk mendiskusikan politik, di sanalah semua kebencian dan oposisi terhadap
rezim penguasa berkumpul dan tumbuh.
Di tanah ini, bahasa
oposisi menjadi bahasa agama yang mudah melahirkan ledakan-ledakan. Politik
yang sejatinya adalah kompromi, malah menjadi sikap politik yang tak kenal
kasihan dan pemenang akan mendapatkan segalanya.
Sungguh tidak gampang
memahami perpolitikan dunia Arab yang penuh siasat dan pergolakan. Di Timur
Tengah, aliansi dan koalisi cepat sekali berubah dan berganti laksana
perubahan musim di sana. Politik, sebagaimana mereka menerjemahkannya dalam
bahasa Arab, benar-benar merupakan adu siasat.
Semua pihak yang
terlibat dalam pergumulan politik di Arab, eksternal dan internal, baik
negara-negara Barat yang sejak dulu sampai sekarang selalu intervensionis di
kawasan itu, maupun negara-negara Arab sendiri, semuanya tanpa terkecuali
benar-benar menjalankan dengan sempurna adagium bahwa "dalam politik
tidak ada kawan dan musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan".
Lihat saja Alqaidah,
Taliban, dan ISIS; dulu didukung oleh elemen-elemen Barat untuk memenangkan
kepentingannya di Timur Tengah. Taliban, misalnya, didukung Amerika untuk
mengusir pendudukan Rusia (dulu Uni Soviet) dari Afghanistan. Tapi, seiring
dengan terusirnya Rusia dan perubahan kepentingan Barat, berubah pula aliansi
dan koalisi tersebut.
Demikian juga dengan
Alqaidah dan ISIS bagi Barat; dulu kawan, kini lawan. Contoh lain, dulu Irak
adalah musuh Iran, bahkan pernah terlibat dalam peperangan sangat brutal
selama delapan tahun dengan menggunakan senjata kimia yang terlarang, menurut
konvensi internasional. Tapi, kini Irak menjadi sekutu, bahkan perpanjangan
tangan Iran untuk kepentingannya di dunia Arab.
Sampai titik ini maka
yang relevan bagi Pemerintah Indonesia adalah menjawab pertanyaan bagaimana
sebaiknya posisi Indonesia? Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, posisi
Indonesia sangatlah penting dan strategis. Berdasarkan amanat konstitusi
bahwa Indonesia harus "ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" maka
Indonesia harus tetap menjaga netralitas tanpa harus berpihak, apalagi terseret
pada salah satu negara. Tentu, bukan netralitas pasif, melainkan netralitas
aktif.
Terhadap perpolitikan
Timur Tengah yang penuh silang sengkarut itu, pemerintah dan bangsa Indonesia
harus cermat. Jauhkan interpretasi keagamaan dan sektarian secara berlebihan.
Sementara, secara politik Indonesia sebaiknya netral, tidak berpihak, dan
lebih daripada itu tidak melibatkan diri secara langsung dalam konflik.
Indonesia cukup
terlibat hanya dalam upaya perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Itu
lebih dari cukup! Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar