Senin, 01 Februari 2016

Silang Sengkarut Dunia Arab

Silang Sengkarut Dunia Arab

Hajriyanto Y Thohari  ;  Ketua PP Muhammadiyah; Mantan Wakil Ketua MPR
                                                   REPUBLIKA, 27 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat ini, tidak ada kawasan yang sedemikian bergolak melebihi Timur Tengah. Seolah menjadi titik pusar dunia tempat seluruh kepentingan politik, ekonomi, dan peradaban beradu. Kawasan yang di dalamnya terdapat tiga tempat suci Islam (Makkah, Madinah, dan Yerusalem) dan satu tempat suci tiga agama besar dunia (Yerusalem adalah tempat suci agama Yahudi, Kristen, dan Islam) ini selalu dililit berbagai persoalan yang datang silih berganti yang sebagian besar selalu berujung pada konflik, peperangan, dan pertumpahan berdarah berkepanjangan.

Kawasan itu terus membara sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina (1948) yang melahirkan perang Arab-Israel yang langsung atau tidak langsung menimbulkan friksi antarnegara Arab sendiri, perang antarfaksi (Hamas dan Fatah di internal Palestina), antarmilisi (di Lebanon), dan antarnegara. Kemudian, berlanjut dengan Perang Irak-Iran, Irak-Kuwait, belum lama ini Arab Spring yang gagal dan berbunga darah, koalisi yang dipimpin Arab Saudi melawan pemberontak Houthi di Yaman, munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dan berbarengan dengan itu ketegangan serius antara Arab Saudi dan Iran karena perebutan hegemoni kawasan.

Apa yang disebut dengan Timur Tengah adalah kawasan yang meliputi dunia Arab ditambah negara-negara non-Arab, seperti Iran, Afghanistan, Turki, dan Israel. Adapun dunia Arab itu sendiri meliputi semua negara yang dihuni oleh bangsa-bangsa yang berbahasa Arab.

Dengan definisi seperti itu maka dunia Arab bukan hanya Arab Saudi, negara-negara Arab Teluk, Irak, Yordania, dan Lebanon saja, melainkan juga negara-negara di Afrika Utara, seperti Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia, Aljazair, Mauritania, Somalia, Djibouti, Komoro, dan lainnya adalah bangsa Arab.

Perlu dicatat, pada mulanya kebanyakan bangsa-bangsa ini bukanlah bangsa Arab yang asli, melainkan menjadi bangsa Arab karena diarabkan atau terarabkan (Arabization). Meski menjadi bangsa Arab karena diarabkan (Arabisasi) bukan berarti kearaban mereka tidak kuat: Mereka ini semuanya mengidentifikasikan dirinya sebagai bangsa Arab oleh karena berbahasa Arab. Dan, kearaban ('Urubah) bangsa-bangsa itu tetap bertahan hingga kini dan malah negara-negara ini sejak 1945 bergabung dalam Liga Arab (al-Jami'ah al-Arabiyyah).

Kawasan yang begitu luas membentang dari Irak (Arab Masyriq) sampai Maroko (Arab Maghrib) yang sejak lama relatif berada di bawah satu kekuasaan dinasti tunggal (kekhalifahan Umayyah, Abasiyah, dan seterusnya sampai Ustmani atau Ottoman) itu kemudian di bawah kolonialisme Barat dan selepas Perang Dunia II terpecah menjadi lebih 20 negara Arab yang sering terjadi ketegangan dan perang. Piagam Liga Arab yang antara lain menyatakan melarang negara anggotanya saling menyerang dengan menggunakan kekerasan satu sama lain, kenyataannya hanya ada dalam teori yang tidak pernah ada dalam kenyataan.

Ketika persoalan bangsa Palestina yang wilayahnya dianeksasi Israel belum juga terpecahkan setelah tujuh dasawarsa dan semua negara Arab masing-masing sedang menghadapi permasalahan politik internal yang gawat, kini muncul ISIS yang bukan hanya membawa resonansi, reperkusi, dan emanasi politik ke seantero jagat, melainkan juga melibatkan hampir seluruh negara besar di dunia. Internasionalisasi ISIS benar-benar merepotkan dunia internasional dalam segala dimensinya.

Bayangkan ISIS yang dari namanya saja jelas-jelas merupakan gerakan politik dari orang-orang yang ingin mendirikan kekhalifahan di wilayah Irak dan Suriah, tetapi bisa merekrut ribuan orang dari berbagai negara, termasuk di antaranya warga negara Barat. Bayangkan, Eropa dan AS yang notabene sebagai negara mengerahkan pasukan dengan segala daya dan energinya dalam suatu koalisi dunia untuk menghancurkan ISIS, tetapi ironisnya banyak warga negaranya sendiri yang ikut berperang di pihak ISIS. Bahkan, juga tidak sedikit orang Indonesia yang bersimpati dan malah pergi ke sana untuk mendukung secara fisik sebagai tentara ISIS.

Kini, ISIS bukan hanya digempur habis-habisan oleh koalisi Barat, seperti Amerika, Prancis, Inggris, dan Jerman, melainkan juga koalisi dari arah lain yang dipimpin Rusia. Beberapa negara Timur Tengah, seperti Iran, Turki, dan koalisi negara-negara Arab juga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan ISIS.

Aneh bin ajaib, ISIS yang telah ditahbiskan menjadi musuh dunia internasional dan kemanusiaan sejagat itu belum juga hancur, malah menyatakan bertanggung jawab di balik aksi-aksi terorisme brutal di berbagai sudut dunia, seperti di Paris, Istanbul, dan Jakarta.

Seperti benang kusut

Konflik politik di Timur Tengah tak ayal lagi selalu berdimensi mondial, internasional, dan bersifat multidimensional, sehingga memiliki tingkat kerumitan yang luar biasa pelik. Tidak ada satu pun konflik di kawasan itu yang berdimensi tunggal; semua faktor baik ideologi, politik, ekonomi, budaya, agama, bahkan sekte dan aliran saling berjalin berkelindan dan bercampur-aduk menjadi satu, akibatnya konflik dan perang di Timur Tengah senantiasa mengundang pemihakan politik internasional yang subjektif dan emosional, sehingga sulit untuk diidentifikasi, didiagnosis, dan dipecahkan dengan segera.

Seorang diplomat salah satu negara Arab di Jakarta pernah memberikan nasihat yang mencengangkan kepada tokoh-tokoh Islam di Indonesia yang karena terlalu bersemangat menyikapi situasi Timur Tengah, sehingga terbelah menjadi dua golongan; yang mendukung Hamas dan yang mendukung Fatah di Palestina (dulu); dan kelompok yang mendukung Arab Saudi dan yang mendukung Iran (akhir-akhir ini). "Politik Arab", demikian katanya dengan sangat meyakinkan, "terlalu rumit bagi kalian. Kalian jangan terlibat terlalu dalam karena nanti kalian akan kecewa."

Dunia Arab itu, kata Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003), adalah suatu padang pasir politik yang tak memiliki partai politik yang nyata, tak ada kebebasan pers, dan hanya sedikit jalan demokrasi bagi oposisi atau pembangkang. Sebagai hasilnya, masjid--sebagai satu satunya tempat yang tidak mungkin bisa ditutup di masyarakat Muslim--menjadi tempat untuk mendiskusikan politik, di sanalah semua kebencian dan oposisi terhadap rezim penguasa berkumpul dan tumbuh.

Di tanah ini, bahasa oposisi menjadi bahasa agama yang mudah melahirkan ledakan-ledakan. Politik yang sejatinya adalah kompromi, malah menjadi sikap politik yang tak kenal kasihan dan pemenang akan mendapatkan segalanya.

Sungguh tidak gampang memahami perpolitikan dunia Arab yang penuh siasat dan pergolakan. Di Timur Tengah, aliansi dan koalisi cepat sekali berubah dan berganti laksana perubahan musim di sana. Politik, sebagaimana mereka menerjemahkannya dalam bahasa Arab, benar-benar merupakan adu siasat.

Semua pihak yang terlibat dalam pergumulan politik di Arab, eksternal dan internal, baik negara-negara Barat yang sejak dulu sampai sekarang selalu intervensionis di kawasan itu, maupun negara-negara Arab sendiri, semuanya tanpa terkecuali benar-benar menjalankan dengan sempurna adagium bahwa "dalam politik tidak ada kawan dan musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan".

Lihat saja Alqaidah, Taliban, dan ISIS; dulu didukung oleh elemen-elemen Barat untuk memenangkan kepentingannya di Timur Tengah. Taliban, misalnya, didukung Amerika untuk mengusir pendudukan Rusia (dulu Uni Soviet) dari Afghanistan. Tapi, seiring dengan terusirnya Rusia dan perubahan kepentingan Barat, berubah pula aliansi dan koalisi tersebut.

Demikian juga dengan Alqaidah dan ISIS bagi Barat; dulu kawan, kini lawan. Contoh lain, dulu Irak adalah musuh Iran, bahkan pernah terlibat dalam peperangan sangat brutal selama delapan tahun dengan menggunakan senjata kimia yang terlarang, menurut konvensi internasional. Tapi, kini Irak menjadi sekutu, bahkan perpanjangan tangan Iran untuk kepentingannya di dunia Arab.

Sampai titik ini maka yang relevan bagi Pemerintah Indonesia adalah menjawab pertanyaan bagaimana sebaiknya posisi Indonesia? Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, posisi Indonesia sangatlah penting dan strategis. Berdasarkan amanat konstitusi bahwa Indonesia harus "ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" maka Indonesia harus tetap menjaga netralitas tanpa harus berpihak, apalagi terseret pada salah satu negara. Tentu, bukan netralitas pasif, melainkan netralitas aktif.

Terhadap perpolitikan Timur Tengah yang penuh silang sengkarut itu, pemerintah dan bangsa Indonesia harus cermat. Jauhkan interpretasi keagamaan dan sektarian secara berlebihan. Sementara, secara politik Indonesia sebaiknya netral, tidak berpihak, dan lebih daripada itu tidak melibatkan diri secara langsung dalam konflik.

Indonesia cukup terlibat hanya dalam upaya perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Itu lebih dari cukup! Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar