Minggu, 01 November 2015

Logika Teologis Membangun Toleransi

Logika Teologis Membangun Toleransi

Asmadji AS Muchtar  ;  Wakil Rektor III Universitas Sains Alquran Wonosobo, Jateng
                                                      JAWA POS, 28 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

GUS Dur pernah menyatakan: Tuhan tidak perlu dibela. Pernyataan tersebut sangat populer dan sulit dibantah karena berdasar logika teologis. Apa itu?

Logika teologis adalah cara berpikir untuk memahami Tuhan sebagai Yang Maha Esa atau yang serbahebat dibanding semua ciptaannya. Dalam hal ini, esa tidak hanya berarti satu, tapi juga satu-satunya atau tidak ada duanya dan tidak ada persamaannya.

Maka, jika suatu saat ada pihak yang membentangkan spanduk bertulisan ”Tuhan tidak adil” atau ”Tuhan telah mati”, hal itu sulit disebut sebagai menghina Tuhan. Sebab, jika bisa disebut demikian, bisa muncul pertanyaan: mungkinkah Tuhan begitu naif sehingga merasa terhina oleh spanduk tersebut?

Logika teologis perlu dipelajari semua pihak agar mengerti bahwa kemampuan manusia dalam memuja atau menghina Tuhan sangat terbatas. Dalam hal ini, manusia terlalu lemah untuk ”mengangkat” Tuhan dengan puja-puji atau sebaliknya ”membanting” Tuhan dengan hinaan.

Dengan kata lain, andai semua manusia di muka bumi ini menghina Tuhan, mustahil Tuhan menjadi hina. Maka, jika ada yang membela Tuhan, karena menganggap Tuhan telah dihina, pembelaannya jangan sampai justru layak dianggap menghina Tuhan karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia atau bahkan dengan kebrutalan.

Dua Komunikasi

Sebagai manusia beragama, selayaknya mengerti bahwa ada dua komunikasi yang didasari logika teologis dan etika. Pertama, komunikasi vertikal atau hubungan manusia dengan Tuhan yang harus berlangsung dengan baik. Kedua, komunikasi horizontal atau hubungan antarmanusia atau antarmakhluk di alam semesta ini yang selayaknya juga berlangsung dengan baik.

Data empiris membuktikan betapa pentingnya logika teologis dan etika dalam dua hubungan tersebut. Jika ada pihak yang melanggar, lazimnya akan menyulut protes yang bisa berkembang menjadi kemelut dan bahkan konflik dahsyat.
Karena itu, banyak pihak yang banyak belajar logika teologis dan etika yang sering memberi nasihat agar anak-anak bangsa mengutamakan etika dalam dua hubungan tersebut. Dan jika ada yang mencoba melanggar, segera dinasihati dengan etika pula.

Masalahnya, sering dua hubungan itu mengalami kemelut karena ada pihak yang suka melanggar etika dan tidak mau menerima nasihat yang diberikan dengan etika. Bahkan justru menghina pihak yang tidak layak dihina. Pada titik itu, konflik horizontal berlangsung dahsyat karena masing-masing pihak tak lagi peduli etika dan tidak menggunakan logika teologis.

Membangun Toleransi

Data empiris menunjukkan, tidak jarang muncul sekelompok orang yang katanya membela Tuhan dan agama, tapi sangat brutal terhadap sesama manusia. Dalam hal ini, hukum positif diperlukan untuk menghentikannya agar tidak menelan banyak korban. Jangan sampai hukum positif sebagai implementasi kehadiran negara dalam melindungi rakyat dikalahkan kelompok-kelompok yang suka berbuat brutal.

Jika dicermati, pangkal kebrutalan tersebut adalah tidak adanya logika teologis untuk membangun toleransi dalam urusan yang berkaitan dengan komunikasi horizontal. Karena itu, logika teologis dan etika perlu diajarkan sejak dini kepada anak-anak bangsa. Harapannya, mereka bisa membangun toleransi sebelum menjadi dewasa dan bergaul secara luas di tengah masyarakat plural atau membentuk kelompok-kelompok yang bersifat sektarian dan primordial.

Untuk konteks Indonesia, masih seringnya terjadi konflik di antara umat yang berbeda agama dan keyakinan menunjukkan bahwa pelajaran agama di sekolah dan kampus selama ini perlu diperkaya lagi dengan pelajaran tentang logika teologis dan etika. Dalam hal ini, negara (pemerintah) harus mengajak pemuka semua agama duduk bersama merumuskan kesepakatan sebagai dasar penyusunan buku pelajaran agama yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Jika telah belajar logika teologis dan etika, tentu semua pihak tidak mudah terjebak dalam perilaku emosional sebagai makhluk sosial yang beragama. Pun tidak mudah keliru memilih ungkapan untuk nama kelompok dan memilih jargon-jargon aksi yang berpotensi menimbulkan salah paham serta permusuhan yang berujung pamer kebrutalan sehingga menimbulkan kesan biadab dalam beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar