Kebaruan
Ideologi Kombatan Asing
Noor Huda Ismail ; Pendiri
Yayasan Prasasti Perdamaian; Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan
Internasional di Monash, University, Melbourne, Australia
|
KOMPAS,
10 Maret 2015
Di depan para petinggi TNI, Presiden Joko Widodo
menegaskan bahwa TNI harus menjadi garda terdepan dalam menyikapi bahaya
laten penyebaran ideologi Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS karena
ideologi ini menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa dalam melanggengkan
keberagaman yang ada.
Pertanyaannya adalah: bagaimana menjelaskan munculnya
mobilisasi aktivis Islam di seluruh belahan dunia, termasuk tidak kurang dari
250 WNI yang menjadi kombatan asing (foreign
fighter) bahkan pelaku bom bunuh diri di Suriah dan Irak baru-baru ini?
Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan di atas adalah
dengan mengkaji beberapa tulisan dan ceramah Abdullah Azzam, ideolog gerakan
jihad asal Palestina yang muncul pada tahun 1980-an di Afganistan. Pada masa
itu, tidak kurang dari 300 WNI menjawab seruan jihad yang didengungkan Azzam
dengan datang ke Afganistan dan mengikuti pelatihan militer (Assad, 2015).
Tidak heran, ada banyak buku karya Azzam kemudian diterjemahkan, dibaca, dan
menginspirasi ratusan anak-anak muda kita yang sedang dalam proses mencari
jati diri dan haus akan perubahan.
Ideologisasi
Ada tiga hal yang perlu dilihat untuk memahami isi pesan
sebuah ideologisasi, termasuk ideologisasinya Azzam, yaitu:
"diagnosis" (apa yang salah), "prognosis" (apa yang perlu
dilakukan), dan "rationale" (siapa yang harus menjalankan dan
mengapa), (Wilson 1973).
Azzam memberikan "diagnosis" bahwa umat Islam
menghadapi ancaman dari pihak luar, yaitu Rusia menginvasi Afganistan yang
berpenduduk mayoritas Muslim. Azzam memberikan fakta bahwa para perempuan
diperkosa, anak-anak dan orangtua dibunuh, tempat ibadah dirusak, dan sumber
daya wilayah itu dieksploitasi oleh pihak asing.
Lalu, "prognosis" yang Azzam tawarkan adalah
umat Islam harus membalas dominasi asing itu dengan kekuatan militer dengan dua
argumentasi.
Pertama, adanya landasan hukum dalam Islam yang
memerintahkan untuk perlawanan ini. Kedua, alasan pragmatis kondisi umat
sangat mendesak. Musuh bertindak di luar batas kemanusiaan sehingga langkah
diplomatis berkompromi dengan mereka nyaris seperti menegakkan benang
basah.
Maka, "rationale" Azzam dari masalah tersebut
adalah sebuah kewajiban bagi setiap lelaki Muslim di seluruh dunia, tidak
terbatas pada lelaki di mana negara mereka sedang ditindas, untuk membela
dengan dua alasan.
Pertama, rasa persatuan umat yang melewati negara bangsa.
Sehingga para korban dalam konflik itu selalu disebut oleh Azzam dengan
sapaan: "saudara" atau "ibu" atau "anak".
Dengan cara seperti ini, seolah-olah mereka itu adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari diri seorang Muslim. Alasan kedua adalah jihad berubah
hukumnya "fardhu 'ain" atau kewajiban setiap individu bukan hanya
"fardhu kifayah" (kewajiban kolektif).
Tafsir Azzam atas jihad ini memberi dua warna baru.
Pertama "diagnosis" yang fokus pada musuh dari luar Islam.
Sedangkan ideologi jihad yang berkembang saat itu adalah jihad dengan
melakukan perlawanan terhadap rezim lokal. Hal ini jelas terbaca dari karya
ideolog "revolusioner", seperti Sayyid Qutb atau Muhammad Faraj.
Kedua ideolog Mesir itu selalu menekankan pentingnya menggulingkan
pemerintahan Anwar Sadat yang korup dan kemudian mengganti sistem negara
sekuler menjadi negara Islam.
Konsep jihad
Yang kedua, konsep jihad sebagai "fardhu 'ain"
berbeda dengan pandangan mayoritas ulama klasik pada abad ke-20-an yang
berpendapat bahwa: jihad hukumnya wajib kepada warga apabila negara mereka
diserang oleh pihak asing. Sedangkan warga asing, hukum jihad bagi mereka
hanyalah "fardhu kifayah".
Barangkali karena pandangan seperti ini, secara empiris
dunia Islam tidak melihat adanya mobilisasi massal umat untuk berperang di
luar negara mereka sebelum 1980-an. Gerakan solidaritas Pan Islamisme itu
sudah ada jauh sebelum Azzam, tetapi privatisasi jihad dalam bentuk
keterlibatan secara militeristik tidaklah muncul. Bisa jadi hal ini karena
tidak adanya ideolog, seperti Azzam.
Penting juga untuk dicatat bahwa doktrin Azzam ini berbeda
dengan "prognosis" yang ditawarkan Al Qaeda. Azzam lebih menekankan
konfrontasi secara militer tradisional sedangkan Osama bin Laden pada 1998
memfatwakan perlunya memperluas panggung jihad mondial.
Salah satu indikasi dari kebaruan dari konsep Azzam ini
adalah munculnya kontroversi dan penolakan dari tokoh Islam, seperti Salman
al-Awda, Safar al-Halawi, dan Yusuf Qordhowi yang berargumen bahwa orang
Afganistan memang diperbolehkan atau dianjurkan melawan, tetapi tidak
diwajibkan.
Akhir 1980-an dan awal 1990-an terjadi pula perdebatan
ideologi antarkombatan asing dan aktivis Islam revolusioner atas pentingnya
melawan rezim (meskipun seorang Muslim) atau asing yang menjajah negara
Islam. Pada 1990-an dan awal 2000-an, para kombatan asing ini beradu argumen
dengan Al Qaeda tentang pentingnya meneruskan kampanye teror kepada Amerika
Serikat atau konfrontasi tradisional di Chechnya dan Irak.
Konsep Azzam ini mendapatkan momentum karena pada 1980-an
ekspresi politik Islam sedang memuncak. Nasionalisme Arab kehilangan pesona
setelah bangsa Arab kalah perang dengan Israel pada 1967. Kurang dari 10
tahun kemudian, dunia melihat bahwa Islam sebagai kekuatan revolusioner
bukanlah utopia dengan keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979.
Oleh karena itu, untuk memahami para WNI dan ribuan umat
Islam dari tidak kurang 80-an negara bergabung dengan NIIS, adalah dengan
melihat mereka bukan sebagai orang yang gila, tetapi sebagai perjalanan
panjang eksperimentasi ideologi jihad dalam Islam.
Benar bahwa mereka itu telah melakukan kekejaman dengan
membantai kaum Yazidi, Kristen, Syiah, dan Sunni yang tidak sepaham dengan
mereka. Namun, tindakan mereka itu berdasarkan logika dan kalkulasi bahwa
orang waras perlu untuk mengontrol sebuah wilayah kekuasaan termasuk ladang
minyak yang menjadi salah satu pemasukan utama mereka. Inilah yang membuat
NIIS menjadi gerakan yang menakutkan dunia, termasuk kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar