Sabtu, 14 Maret 2015

Wajarkah Rupiah Melemah?

Wajarkah Rupiah Melemah?

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Indef
KORAN SINDO, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sepanjang minggu pertama Maret 2015, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan, bahkan telah melampaui angka psikologis berada di atas Rp13.200 per dolar AS. Meski demikian, hampir semua menteri di jajaran menko perekonomian meresponsnya dengan adem-ayem.

Pada konferensi pers Rabu petang 11 Maret 2015, pemerintah dan otoritas moneter kompak menyampaikan bahwa rupiah masih bergerak dalam kondisi yang wajar. Menteri keuangan justru menganggap pelemahan rupiah menjadi berkah sebagai sumber surplus APBN. Pernyataan pemerintah dan keyakinan dari otoritas moneter tersebut dapat berfungsi untuk menenangkan psikologis pasar agar para pelaku pasar tidak panik dan tidak memicu aksi spekulasi.

Di samping ada kenyataan bahwa tren pelemahan nilai tukar terhadap dolar memang terjadi pada hampir semua mata uang dunia. Namun, yang terus menjadi pertanyaan publik dan kekhawatiran para pelaku usaha adalah benarkah pelemahan rupiah kali ini suatu hal yang wajar dan apakah hanya bersifat temporer?

Semua mafhum bahwa pelemahan rupiah tidak hanya dipicu dari faktor eksternal, namun juga tidak terlepas dari faktor fundamental internal. Faktor eksternal pelemahan rupiah tidak dimungkiri karena dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia akibat penguatan ekonomi dan penurunan angka pengangguran serta ada rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat.

Perbaikan ekonomi AS ini dikhawatirkan akan menjadi magnet bagi investor untuk pulang kampungnya portofolio AS. Di samping itu juga dipicu kebijakan Bank Sentral Eropa yang akan melakukan quantitative easing, penurunan suku bunga China, dan turunnya harga komoditas andalan Indonesia.

Pelonggaran moneter Bank Sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ) berakibat memperlemah mata uang euro dan yen terhadap dolar AS. Selain dipicu oleh faktor eksternal, penyebab utama pelemahan rupiah tentu saja adalah persoalan fundamental yaitu defisit transaksi berjalan atau current account deficit. Defisit transaksi berjalan sepanjang 2014 mencapai USD26,2 miliar atau 2,95% dari GDP.

Sekalipun neraca barang dan neraca penerimaan sekunder masih surplus, tidak mampu mengompensasi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer. Neraca barang hanya surplus USD6,9 miliar dan neraca pendapatan sekunder (sumbangan dari remitansi TKI) sebesar USD5,2 miliar.

Sementara itu, defisit neraca jasa mencapai USD10,5 miliar dan defisit neraca pendapatan primer (pembayaran bunga pinjaman luar negeri, dividen investasi portofolio, dan bunga surat utang) mencapai USD27,8 miliar. Dengan tingginya defisit neraca pendapatan primer tersebut, alangkah naifnya jika pemerintah menganggap bahwa depresiasi nilai tukar justru akan menguntungkan Indonesia.

Secara parsial dana kuntansi bisa jadi benar, penerimaan negara dari sumber daya migas akan meningkat dan dengan pengeluaran subsidi sudah dipatok sehingga APBN akan mengalami surplus. Namun, tugas pemerintah tidak hanya mengurus APBN, tapi juga menciptakan stabilitas perekonomian secara keseluruhan.

Secara teoritis pelemahan rupiah memang bisa mendorong ekspor dan mengurangi impor khususnya yang bersifat konsumtif. Persolannya, komposisi ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas yang mengalami kemerosotan harga di pasar global. Demikian juga ekspor produk industri menghadapi simalakama yaitu masih tersandera oleh besarnya komponen bahan baku impor.

Sementara itu, harapan surplus dari remitansi TKI masih sangat terbatas. Tentu tidak akan sebanding dengan membengkaknya tekanan defisit yang diakibatkan oleh membengkaknya kewajiban pembayaran bunga utang dan dividen dalam denominasi dolar yang terdapat dalam neraca pendapatan primer. Apalagi masih tingginya pinjaman luar negeri swasta yang belum menggunakan fasilitas lindung nilai.

Sekalipun pelemahan rupiah belum menyebabkan capital flight atau larinya modal asing, bukan berarti Indonesia sudah dalam kondisi aman. Dana yang masuk ke Indonesia dari pembelian surat utang negara di pasar modal sejak Desember 2014 hingga Februari 2015 masih mencapai Rp 57 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2013 yang hanya sekitar Rp30 triliun.

Namun, bagaimanapun hot money ini masih sangat rentan sekalipun angka credit default swap Indonesia sudah menurun menjadi 136, turun dari 157 pada 2014 dan dari 240 pada 2013. Belum lagi, pelemahan rupiah juga akan mengancam daya beli masyarakat dan melonjaknya inflasi yang diakibatkan dorongan biaya (cost push inflation).

Ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap impor masih cukup besar. Tidak hanya pada sebagian besar bahan baku untuk industri, namun juga yang terkait langsung dengan masyarakat secara umum yaitu ketergantungan pada beberapa impor pangan strategis. Sebut saja impor kedelai, gula, daging, dan sebagainya. Artinya, pelemahan rupiah tidak hanya berimplikasi terhadap meningkatkan harga barang-barang industri, namun juga akan merembet pada harga pangan.

Jika pelemahan rupiah terus berlangsung, bukan tidak mungkin krisis tempe akan kembali mencuat dan bisa menjadi sasaran komoditas politik. Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia, setiap 1% pelemahan nilai tukar rupiah memang hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 0,07%. Namun, yang perlu diingat, juga harus diperhitungkan dampak multiplier effect dan masih tingginya inflasi tahunan di Indonesia (inflasi yoy).

Dengan demikian, jika pemerintah tetap yakin bahwa kondisi pelemahan rupiah saat ini merupakan hal yang wajar, tentu pemerintah juga sudah siap dengan berbagai langkah antisipasi dan terobosan strategi untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut. Utamanya strategi yang konkret guna pengendalian impor dan berbagai fasilitasi dan insentif untuk mendorong ekspor dan mendorong industri substitusi impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar