Wajarkah
Rupiah Melemah?
Enny Sri Hartati ; Direktur
Indef
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2015
Sepanjang minggu pertama Maret 2015, nilai tukar rupiah terus
mengalami tekanan, bahkan telah melampaui angka psikologis berada di atas
Rp13.200 per dolar AS. Meski demikian, hampir semua menteri di jajaran menko
perekonomian meresponsnya dengan adem-ayem.
Pada konferensi pers Rabu petang 11 Maret 2015, pemerintah dan
otoritas moneter kompak menyampaikan bahwa rupiah masih bergerak dalam
kondisi yang wajar. Menteri keuangan justru menganggap pelemahan rupiah
menjadi berkah sebagai sumber surplus APBN. Pernyataan pemerintah dan
keyakinan dari otoritas moneter tersebut dapat berfungsi untuk menenangkan
psikologis pasar agar para pelaku pasar tidak panik dan tidak memicu aksi
spekulasi.
Di samping ada kenyataan bahwa tren pelemahan nilai tukar
terhadap dolar memang terjadi pada hampir semua mata uang dunia. Namun, yang
terus menjadi pertanyaan publik dan kekhawatiran para pelaku usaha adalah
benarkah pelemahan rupiah kali ini suatu hal yang wajar dan apakah hanya
bersifat temporer?
Semua mafhum bahwa pelemahan rupiah tidak hanya dipicu dari
faktor eksternal, namun juga tidak terlepas dari faktor fundamental internal.
Faktor eksternal pelemahan rupiah tidak dimungkiri karena dolar AS menguat
terhadap seluruh mata uang dunia akibat penguatan ekonomi dan penurunan angka
pengangguran serta ada rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika
Serikat.
Perbaikan ekonomi AS ini dikhawatirkan akan menjadi magnet bagi
investor untuk pulang kampungnya portofolio AS. Di samping itu juga dipicu
kebijakan Bank Sentral Eropa yang akan melakukan quantitative easing,
penurunan suku bunga China, dan turunnya harga komoditas andalan Indonesia.
Pelonggaran moneter Bank Sentral Eropa (ECB) dan bank sentral
Jepang (BoJ) berakibat memperlemah mata uang euro dan yen terhadap dolar AS.
Selain dipicu oleh faktor eksternal, penyebab utama pelemahan rupiah tentu
saja adalah persoalan fundamental yaitu defisit transaksi berjalan atau
current account deficit. Defisit transaksi berjalan sepanjang 2014 mencapai
USD26,2 miliar atau 2,95% dari GDP.
Sekalipun neraca barang dan neraca penerimaan sekunder masih
surplus, tidak mampu mengompensasi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan
primer. Neraca barang hanya surplus USD6,9 miliar dan neraca pendapatan
sekunder (sumbangan dari remitansi TKI) sebesar USD5,2 miliar.
Sementara itu, defisit neraca jasa mencapai USD10,5 miliar dan
defisit neraca pendapatan primer (pembayaran bunga pinjaman luar negeri,
dividen investasi portofolio, dan bunga surat utang) mencapai USD27,8 miliar.
Dengan tingginya defisit neraca pendapatan primer tersebut, alangkah naifnya
jika pemerintah menganggap bahwa depresiasi nilai tukar justru akan
menguntungkan Indonesia.
Secara parsial dana kuntansi bisa jadi benar, penerimaan negara
dari sumber daya migas akan meningkat dan dengan pengeluaran subsidi sudah
dipatok sehingga APBN akan mengalami surplus. Namun, tugas pemerintah tidak hanya
mengurus APBN, tapi juga menciptakan stabilitas perekonomian secara
keseluruhan.
Secara teoritis pelemahan rupiah memang bisa mendorong ekspor
dan mengurangi impor khususnya yang bersifat konsumtif. Persolannya,
komposisi ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas yang
mengalami kemerosotan harga di pasar global. Demikian juga ekspor produk
industri menghadapi simalakama yaitu masih tersandera oleh besarnya komponen
bahan baku impor.
Sementara itu, harapan surplus dari remitansi TKI masih sangat
terbatas. Tentu tidak akan sebanding dengan membengkaknya tekanan defisit
yang diakibatkan oleh membengkaknya kewajiban pembayaran bunga utang dan
dividen dalam denominasi dolar yang terdapat dalam neraca pendapatan primer.
Apalagi masih tingginya pinjaman luar negeri swasta yang belum menggunakan
fasilitas lindung nilai.
Sekalipun pelemahan rupiah belum menyebabkan capital flight atau larinya modal
asing, bukan berarti Indonesia sudah dalam kondisi aman. Dana yang masuk ke
Indonesia dari pembelian surat utang negara di pasar modal sejak Desember
2014 hingga Februari 2015 masih mencapai Rp 57 triliun. Jumlah ini lebih tinggi
dibanding periode yang sama pada 2013 yang hanya sekitar Rp30 triliun.
Namun, bagaimanapun hot
money ini masih sangat rentan sekalipun angka credit default swap
Indonesia sudah menurun menjadi 136, turun dari 157 pada 2014 dan dari 240
pada 2013. Belum lagi, pelemahan rupiah juga akan mengancam daya beli
masyarakat dan melonjaknya inflasi yang diakibatkan dorongan biaya (cost push inflation).
Ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap impor masih cukup
besar. Tidak hanya pada sebagian besar bahan baku untuk industri, namun juga
yang terkait langsung dengan masyarakat secara umum yaitu ketergantungan pada
beberapa impor pangan strategis. Sebut saja impor kedelai, gula, daging, dan
sebagainya. Artinya, pelemahan rupiah tidak hanya berimplikasi terhadap
meningkatkan harga barang-barang industri, namun juga akan merembet pada
harga pangan.
Jika pelemahan rupiah terus berlangsung, bukan tidak mungkin
krisis tempe akan kembali mencuat dan bisa menjadi sasaran komoditas politik.
Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia, setiap 1% pelemahan nilai tukar
rupiah memang hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 0,07%. Namun, yang
perlu diingat, juga harus diperhitungkan dampak multiplier effect dan masih
tingginya inflasi tahunan di Indonesia (inflasi
yoy).
Dengan demikian, jika pemerintah tetap yakin bahwa kondisi
pelemahan rupiah saat ini merupakan hal yang wajar, tentu pemerintah juga
sudah siap dengan berbagai langkah antisipasi dan terobosan strategi untuk
menjawab berbagai permasalahan tersebut. Utamanya strategi yang konkret guna
pengendalian impor dan berbagai fasilitasi dan insentif untuk mendorong
ekspor dan mendorong industri substitusi impor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar