Jumat, 13 Maret 2015

Era Keruntuhan Politikus Busuk

Era Keruntuhan Politikus Busuk

Adi Rustanto  ;  Mantan Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

“Hanya ada dua pilihan, yaitu politikus busuk runtuh atau negara ini amblas tertelan bumi seperti Majapahit”

Majapahit mengalami keruntuhan pada abad ke-15 semasa Prabu Hayam Wuruk-Patih Gajahmada. Keruntuhan itu berawal dari perseteruan putra mahkota dengan para menantu raja berkait kuasa, salah urus, pemerintahan dan korupsi. Perseteruan dan carut-marut tata kelola pemerintahan telah menjadi fenomena  yang  mendorong keruntuhan Majapahit.

Dalam dua tahun terakhir, panggung politik nasional diwarnai kegaduhan politik, seusai Pilpres 2014 yang seolah-olah membagi dua rakyat. Pihak yang merasa kalah, berkonsolidasi untuk bisa menguasai parlemen. Semangat inilah yang  mendasari rekayasa politik untuk mengubah beberapa undang-undang potitik.

Maka secara tiba-tiba muncul undang-undang baru yaitu Undang-Undang Pemerintah  Daerah, Undang-Undang Pilkada, dan Undang-Undang tentang Kedudukan  DPR, MPR, DPD dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3. Regulasi itu sebagai pemenuhan syahwat kuasa mereka, dan jauh dari kebutuhan rakyat.

Pihak yang menenangi pilpres pun setali tiga uang, lebih mengedepankan kuasa, sehingga menyandera presiden terpilih, yang secara konstitusional mempunyai hak prerogatif menyusun kabinet. Mereka yang merasa berjasa dalam pemenangan Pilpres berebut posisi kekuasaan.

Mereka melupakan visi ke depan untuk menyejahterakan bangsa ini.  Pencalonan kapolri misalnya, menyita banyak energi akibat tarik-menarik kepentingan. Fenomena tersebut mengindikasikan ada sesuatu yang terputus antara suasana kebatinan rakyat dan kepentingan para elite politik.

Ada kejadian yang menarik ketika Tim 9 bentukan Presiden dalam kasus Polri-KPK, yang merekomendasikan agar  tidak melantik Kapolri terpilih mendapat kecaman dari Senayan karena menganulir keputusan parlemen sebagai representasi rakyat (wakil rakyat) secara formal. Suara rakyat berbeda dari para elit politik, substansional dengan prosedural.

Belum selesai persoalan Polri-KPK, muncul perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD mengenai dua versi APBD 2015. Ada selisih Rp 12,1 triliun antara versi DPRD dan versi Ahok yang berbasis E-budgeting, yang kemudian disebutnya dana siluman.

Ahok bersikukuh dengan E-budgeting, publik bisa tahu rencana penggunaan anggaran, namun DPRD menganggap APBD yang diajukan Ahok menyalahi prosedur. Realitas itu memicu perseteruan yang  berujung pengajuan hak angket. Berkait hal itu, Ahok melaporkan ke KPK yang segera meresponsnya.

Sosok Teladan

Kepentingan warga DKI Jakarta tersandera oleh perseteruan itu, yang tidak lebih dari persoalan kuasa dan berebut sumber-sumber ekonomi. Menarik apa yang disampaikan Buya Syafii Maarif dalam dialog di MetroTV (27/2/15)  bahwa banyak politikus tidak bisa ìnaik kelasî jadi negarawan yang punya visi jauh ke depan untuk kesejahteraan bangsa.

Padahal kita mempunyai banyak sosok teladan, seperti Soekarno-Hatta yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sekarang kita sulit menemukan keteladanan seperti itu. Yang menonjol sikap politikus yang serbakuasa dan berebut sumber ekonomi supaya bisa hidup mewah.

Mereka kembali mendekati rakyat ketika musim pemilu tiba dengan pendekatan karikatifnya. Dalam terminologi politik ada istilah politikus busuk, yakni predikat yang melekat pada seseorang yang  tindakan politiknya  di luar batas kepatutan.

Kasus dana siluman di DKI Jakarta akan menjadi antitesis dalam percaturan politik nasional.  Fenomena tersebut seperti puncak gunung es yang cepat atau lambat akan meleleh ke seluruh daerah. Apalagi Presiden Jokowi sudah menyatakan akan  menerapkan E-budgeting di Tanah Air.

Sekarang saatnya sandyakala bagi politikus busuk, menghadapi momentum revolusi mental yang digulirkan Jokowi, serta kerja dan kerja demi kesejahteraan Indonesia. Hanya ada dua pilihan, yaitu politikus busuk runtuh atau negara ini amblas tertelan bumi (sirna ilang kertaning bumi) seperti Kerajaan Majapahit pada abad  ke-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar