Era
Keruntuhan Politikus Busuk
Adi Rustanto ; Mantan
Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 13 Maret 2015
“Hanya ada dua
pilihan, yaitu politikus busuk runtuh atau negara ini amblas tertelan bumi
seperti Majapahit”
Majapahit mengalami keruntuhan pada abad ke-15 semasa Prabu
Hayam Wuruk-Patih Gajahmada. Keruntuhan itu berawal dari perseteruan putra
mahkota dengan para menantu raja berkait kuasa, salah urus, pemerintahan dan
korupsi. Perseteruan dan carut-marut tata kelola pemerintahan telah menjadi
fenomena yang mendorong keruntuhan Majapahit.
Dalam dua tahun terakhir, panggung politik nasional diwarnai
kegaduhan politik, seusai Pilpres 2014 yang seolah-olah membagi dua rakyat.
Pihak yang merasa kalah, berkonsolidasi untuk bisa menguasai parlemen.
Semangat inilah yang mendasari
rekayasa politik untuk mengubah beberapa undang-undang potitik.
Maka secara tiba-tiba muncul undang-undang baru yaitu
Undang-Undang Pemerintah Daerah,
Undang-Undang Pilkada, dan Undang-Undang tentang Kedudukan DPR, MPR, DPD dan DPRD yang dikenal dengan
UU MD3. Regulasi itu sebagai pemenuhan syahwat kuasa mereka, dan jauh dari
kebutuhan rakyat.
Pihak yang menenangi pilpres pun setali tiga uang, lebih
mengedepankan kuasa, sehingga menyandera presiden terpilih, yang secara
konstitusional mempunyai hak prerogatif menyusun kabinet. Mereka yang merasa
berjasa dalam pemenangan Pilpres berebut posisi kekuasaan.
Mereka melupakan visi ke depan untuk menyejahterakan bangsa
ini. Pencalonan kapolri misalnya,
menyita banyak energi akibat tarik-menarik kepentingan. Fenomena tersebut
mengindikasikan ada sesuatu yang terputus antara suasana kebatinan rakyat dan
kepentingan para elite politik.
Ada kejadian yang menarik ketika Tim 9 bentukan Presiden dalam kasus
Polri-KPK, yang merekomendasikan agar
tidak melantik Kapolri terpilih mendapat kecaman dari Senayan karena
menganulir keputusan parlemen sebagai representasi rakyat (wakil rakyat)
secara formal. Suara rakyat berbeda dari para elit politik, substansional
dengan prosedural.
Belum selesai persoalan Polri-KPK, muncul perseteruan antara
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD mengenai dua versi APBD
2015. Ada selisih Rp 12,1 triliun antara versi DPRD dan versi Ahok yang
berbasis E-budgeting, yang kemudian disebutnya dana siluman.
Ahok bersikukuh dengan E-budgeting, publik bisa tahu rencana
penggunaan anggaran, namun DPRD menganggap APBD yang diajukan Ahok menyalahi
prosedur. Realitas itu memicu perseteruan yang berujung pengajuan hak angket. Berkait hal
itu, Ahok melaporkan ke KPK yang segera meresponsnya.
Sosok Teladan
Kepentingan warga DKI Jakarta tersandera oleh perseteruan itu,
yang tidak lebih dari persoalan kuasa dan berebut sumber-sumber ekonomi.
Menarik apa yang disampaikan Buya Syafii Maarif dalam dialog di MetroTV
(27/2/15) bahwa banyak politikus tidak
bisa ìnaik kelasî jadi negarawan yang punya visi jauh ke depan untuk
kesejahteraan bangsa.
Padahal kita mempunyai banyak sosok teladan, seperti
Soekarno-Hatta yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Sekarang kita sulit menemukan keteladanan seperti itu.
Yang menonjol sikap politikus yang serbakuasa dan berebut sumber ekonomi
supaya bisa hidup mewah.
Mereka kembali mendekati rakyat ketika musim pemilu tiba dengan
pendekatan karikatifnya. Dalam terminologi politik ada istilah politikus
busuk, yakni predikat yang melekat pada seseorang yang tindakan politiknya di luar batas kepatutan.
Kasus dana siluman di DKI Jakarta akan menjadi antitesis dalam
percaturan politik nasional. Fenomena
tersebut seperti puncak gunung es yang cepat atau lambat akan meleleh ke
seluruh daerah. Apalagi Presiden Jokowi sudah menyatakan akan menerapkan E-budgeting di Tanah Air.
Sekarang saatnya sandyakala bagi politikus busuk, menghadapi
momentum revolusi mental yang digulirkan Jokowi, serta kerja dan kerja demi
kesejahteraan Indonesia. Hanya ada dua pilihan, yaitu politikus busuk runtuh
atau negara ini amblas tertelan bumi (sirna
ilang kertaning bumi) seperti Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar