Tragedi
Peradaban
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog
Universitas Malikussaleh;
Dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia Aceh
|
KOMPAS,
12 Maret 2015
Ketika melakukan pemetaaan sosial-budaya dalam penelitian
rona awal lingkungan (enviromental baseline
assessment) di Jambi dan Sumatera Selatan, saya melihat tragedi peradaban
sedang berlangsung di negeri ini. Tragedi itu berupa potensi kepunahan
etnis-etnis kecil akibat gelombang ”pembangunan”, ”pengadaban”, strategi
pengetahuan, dan kebijakan nasional salah kaprah.
Selain suku-suku bangsa Melayu-Jambi dan diaspora etnis
Sumatera, Sulawesi, dan Jawa, Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi dan Sumatera
Selatan menjadi anak tiri di tanahnya sendiri. Penyebutan SAD juga tidak
tunggal. Ada yang menyebutnya Orang Rimba atau Orang Batin.
Orang Rimba adalah penyebutan untuk komunitas nomaden
progresif dan hidup bergantung pada alam melalui berburu dan meramu (foragers). Adapun Orang Batin adalah
komunitas yang telah mengenal pengetahuan perladangan sederhana, tetapi masih
menjalankan tradisi berburu dan meramu, dan perpindahan taktis (semi-foragers). Perpindahan dilakukan
ketika ada pihak keluarga yang meninggal atau krisis pangan akut (Retno Handini, 2004).
SAD kini terancam. Mereka menghadapi problem penghancuran
masa depan. Keberadaan hutan primer di Jambi dan Sumatera Selatan yang hampir
punah menjadi salah satu penyebabnya. Kini mereka tinggal di tengah kapling
perusahaan perkebunan dan hutan sekunder. Lebih parah lagi, perusahaan merasa
sebagai pemilik sah atas tanah nenek moyang mereka.
Lini masa mencatat, SAD kerap kalah ketika berantuk
kepentingan dengan pemerintah dan perusahaan. Catatan Robert Aritonang,
antropolog yang bekerja untuk komunitas terpencil itu, selama 15 tahun
terakhir paling sedikit 13 orang meninggal karena represi, kriminalisasi, dan
eksploitasi lahan.
Lebih menyedihkan lagi, rongga kematian kini seolah
semakin gelap. Selama dua bulan terakhir 11 Orang Rimba meninggal karena
sakit dan kelaparan. Saat ini 60 orang—sebagian besar anak balita—menderita
demam tinggi dan batuk parah akibat kekurangan gizi dan kualitas lingkungan
semakin buruk (Kompas, 3 Maret).
Pembangunan dan pengadaban
Penyebab kematian SAD, seperti mencecar tesis Charles
Darwin: hanya yang bugarlah yang bertahan hidup. Suku-suku pedalaman tak
sanggup bertahan di tengah perubahan drastis atas hutan-hutan mereka. Alam
yang sebelumnya begitu pemurah karena menyediakan semua keperluan tiba-tiba
menjadi kikir. Eksploitasi hutan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan
pertambangan semakin jamak. Yang paling buruk di antaranya perusahaan sawit.
Dari riset diketahui, paling sedikit ada empat perusahaan
perkebunan sawit yang telah berkonflik dengan SAD dan tak kunjung selesai.
Permasalahan semakin rumit karena pendekatan penyelesaian bersifat top-down,
berorientasi bisnis, dan mengabaikan pendekatan adat lokal. Adanya
kepentingan pragmatis yang mengatasnamakan SAD juga memperburuk penyelesaian
secara komprehensif (Alam Sumatera, edisi Januari 2015).
Kiranya itu pula yang dihadapi suku-suku pedalaman,
seperti Serampas di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sakai di Bengkalis, Akit
di Anambas, komunitas Gunung Khong di Nagan Raya, Bukat di Kapuas Hulu, Rana
di Maluku, ketika perubahan lingkungan akibat eksploitasi industri kehutanan
dan kelautan menyebabkan mereka semakin rentan. Di sisi lain tidak ada
kebijakan antisipatif untuk mencegah ”kepunahan” mereka.
Kebijakan latah yang sering dipilih adalah memaksa
peradaban baru. Mereka diminta ”berdamai dengan alam”, dari sebelumnya hidup
bersama alam kini harus bersiasat dan mengelola alam; tipikal politik
adaptasi pembangunan teknokratis. Tidak jarang mereka direlokasi. Mereka juga
harus menerima ”proses pengadaban” dengan memeluk agama resmi dan
meninggalkan keyakinan leluhur. Semua berlangsung secara
mekanistis-birokratis. Akhirnya mereka menjadi Islam atau Kristen karena
logistik dan kembali ke keyakinan awal setelah logistik habis.
Strategi pengetahuan
Pekerjaan Junus Melalatoa menyusun Ensiklopedi Suku Bangsa
di Indonesia (1995) adalah sedikit hal baik yang belum ada kelanjutannya.
Padahal, proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendokumentasi profil
etnis-etnis di Indonesia itu telah berumur 20 tahun.
Tanpa mengurangi rasa hormat, ada banyak hal yang memang
perlu disempurnakan dari pekerjaan itu, baik dari kedalaman narasi dan juga
entri. Tak ada entri ”SAD” dan hanya dimasukkan ke dalam ”Jambi”. Mungkin hal
itu terpengaruh oleh definisi kesuku-bangsaan (ethnicity) yang terpisah dari suku (tribe). Sebagian lain mungkin terpengaruh logika pembagian etnis
berdasarkan 19 daerah adat ala Van Vollenhoven, sehingga lahir pengertian
kelompok etnis dan subetnis.
Bagi saya, suku-suku pedalaman dan komunitas minoritas
yang memiliki nilai-nilai kebudayaan khusus, bahasa mandiri, dan
bersolidaritas secara kuat adalah etnis otonom. Mereka tidak disubmisikan ke
dalam kelompok etnis mapan atau mayoritas. Problem ini sempat terjadi ketika
Alas dan Gayo menolak dianggap subetnis Aceh, dan memang tidak tepat
taksonomi demikian.
Sesungguhnya suku-suku minoritas dan terancam punah itulah
pemilik Indonesia ini. Dari kajian kemelayuan, suku-suku pedalaman Sumatera
dikategorikan sebagai Proto Melayu (Melayu tua), telah menetap sejak ribuan
tahun, jauh sebelum proses Islamisasi dan diaspora dari Asia Selatan, Timur
Tengah, dan Turki menghujani ”bumi emas” itu. Oleh karena itu, pandangan
hampir aksiomatis ”Melayu itu, ya, Islam, Islam itu, ya, Melayu” tidak tepat
demi melihat kenyataan antropologis tersebut.
Saat ini strategi pengetahuan untuk eksistensi
kesuku-bangsaan masih aksi akademis segelintir cendekiawan. Belum banyak aksi
meluas untuk menyelesaikan problem-problem etnisitas di Indonesia. Meskipun
tidak cukup optimistis, kita berharap pemerintahan Jokowi bisa mengambil
langkah cepat dan tepat menyelamatkan suku-suku terasing melalui aneka
kebijakan lintas kementerian.
Ada beberapa pekerjaan menuju tenggat, seperti justifikasi
hutan konservasi dan taman nasional yang harus ramah bagi suku pedalaman dan
keras terhadap investor, hak afirmatif agraria adat, sanksi bagi perusahaan
alih fungsi lahan jika mengabaikan tanggung sosial perusahaan, perlindungan
agama-agama lokal dari ”teror” agama-agama nasional, pendidikan dan
kesehatan, dan program perlindungan sosial mendesak lainnya agar suku-suku
pedalaman itu tidak semakin menderita.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar