Fondasi
Strategi Stabilitas Harga
Bustanul Arifin ; Guru Besar
UNILA; Ekonom Indef;
Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
|
KOMPAS,
12 Maret 2015
Kenaikan harga beras sepanjang Februari 2015 seharusnya
tidak terlalu rumit untuk dikendalikan karena bersifat domestik.Pasar
internasional beras cukup stabil rendah, yaitu sekitar 370 dollar AS per ton
pada Jumat, 6 Maret 2015, untuk beras Thailand kualitas medium (25 persen
broken) dan 340 dollar AS per ton untuk beras Vietnam.
Harga beras kualitas premium (5 persen broken) sekitar 405
dollar AS per ton untuk beras Thailand dan 370 dollar AS per ton untuk beras
Vietnam. Harga beras kualitas medium setara Rp 4.500 per kilogram pada kurs
rupiah saat ini atau setengah dari harga eceran beras domestik.
Harga beras kualitas medium masih berada di atas batas
psikologis Rp 10.000 per kilogram walaupun operasi pasar gencar dilakukan
selama seminggu terakhir. Ekspektasi pemerintah dan Perum Bulog adalah bahwa
harga beras akan turun pada minggu kedua dan ketiga Maret karena beberapa
daerah telah memasuki musim panen.
Panen raya akan terjadi pada akhir Maret atau awal April
karena musim tanam yang terlambat akibat kemarau panjang pada 2014. Banyak
pertanyaan yang masih perlu dijawab, khususnya seberapa solid fondasi
stabilisasi harga beras dan kebutuhan pokok lain dalam menghadapi gangguan
keseimbangan internal dan gangguan eksternal?
Strategi stabilisasi harga
Fondasi strategi stabilisasi harga beras atau pangan
secara umum dapat dirunut jauh sampai ke belakang, apakah negara membiarkan
proses pembentukan harga diserahkan kepada mekanisme pasar atau apakah negara
harus melakukan intervensi. Ekonom neoklasik atau mainstream sampai sekarang
masih konsisten menolak keras campur tangan pemerintah dalam stabilisasi
harga pangan, terutama dalam rentang jangka panjang.
Adalah Peter Timmer, Scott Pearson, dan Walter Falcon asal
Harvard University dan Stanford University yang mengembangkan teori ekonomi
intervensi pemerintah, terutama pada tahap awal pembangunan. Mereka menolak
tegas pemikiran simplifikasi dan kesalahan persepsi para ekonom mainstream
yang tidak paham sejarah perkembangan bangsa-bangsa Asia.
Tiga serangkai ekonom Timmer-Pearson-Falcon (TPF) secara
resmi membantu menjadi arsitek pembangunan ekonomi pada masa awal Presiden
Soeharto, terutama dalam mendesain strategi stabilisasi harga. Teori ekonomi
intervensi pemerintah tersebut dipakai dan diadopsi di seluruh dunia serta
mewarnai literatur ekonomi pertanian dan ekonomi pembangunan.
Fungsi strategis stabilisasi inilah yang menjadi falsafah
utama kebijakan harga dasar gabah dan harga atap beras serta sebagai
justifikasi pendirian Bulog sebagai lembaga logistik nasional yang kini
menjadi badan usaha milik negara (BUMN) Perum Bulog. Tanpa mengurangi peran
Kepala Bulog lainnya, Jenderal Bustanil Arifin menjadi amat fenomenal karena
kemampuannya secara ketat dan militeristik dalam menjalankan stabilisasi
harga.
Esensinya adalah fluktuasi harga beras masih dapat
dibenarkan sepanjang tidak lebih tinggi dari harga atap beras dan tidak lebih
rendah dari harga dasar gabah.Koperasi unit desa (KUD) seakan menjadi
prasyarat dalam pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga karena berhubungan
langsung dengan petani untuk memenuhi syarat mutu beras, seperti teknis kadar
air, tingkat patahan, kotoran, dan sosoh.
Pada akhir 1990-an, strategi stabilisasi harga terebut
mulai menghadapi masalah di lapangan, terutama karena persoalan governansi,
bahkan sampai pada lembaga negara yang bertanggung jawab menjalankan
stabilisasi harga dan fungsi logistik.
Para ekonom mainstream mulai meragukan strategi intervensi
negara, terutama jika menimbulkan distorsi ekonomi dan inefisiensi yang cukup
akut.Argumennya adalah bahwa manfaat yang dapat dipetik dari tindakan upaya
stabilisasi harga umumnya sangat kecil, bahkan negatif. Biaya transaksi (transaction cost) yang ditimbulkan
oleh upaya intervensi pemerintah tersebut ternyata sangat besar (Alberto Valdes dan William Foster, 2005).
Korupsi kronis yang senantiasa menyertai strategi stabilisasi
harga bahan pangan, terutama di kebanyakan negara berkembang, adalah salah
satu bentuk biaya transaksi yang harus ditanggung masyarakat luas.Pada
kesempatan lain (Arifin, 2008), penulis melakukan studi komprehensif tentang
stabilisasi harga pangan dan kinerja lembaga parastatal, seperti Bulog, serta
negara Asia lain, seperti India, Pakistan, Banglades, Thailand, dan Filipina.
Salah satu temuan penting studi kolaboratif tersebut
adalah bahwa kelompok kepentingan (vested
interests) selalu melingkupi proses perumusan, organisasi, dan
implementasi kebijakan intervensi, bukan untuk tujuan stabilisasi harga
semata, melainkan untuk kepentingan dan kelompoknya sendiri.
Operasi pasar
Kini, sekian tahun kemudian, setelah terjadi eskalasi
harga beras lebih dari 25 persen, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah
memerintahkan operasi pasar 300.000 ton kepada Perum Bulog.Ternyata, harga
eceran beras di pasar masih lambat untuk bergerak turun walaupun para
pedagang beras di Pasar Induk Cipinang telah dipanggil ke Istana Negara.
Seharusnya, para pejabat baru di pemerintahan dan Perum
Bulog mampu melihat fakta lapangan bahwa rangkaian instrumen stabilisasi
harga beras merupakan satu kesatuan strategi yang terintegrasi dan terukur.
Maksudnya, dari kinerja produksi, pengadaan beras, referensi harga pembelian
pemerintah (HPP), manajemen stok, subsidi harga beras untuk keluarga miskin
(raskin), sampai pada operasi pasar itu sendiri tidak dapat dilaksanakan
secara sepotong-sepotong.
Ketiadaan penyaluran raskin pada November -Desember 2014
dan Januari 2015 tidak akan pernah dapat dipecahkan dengan satu perintah
operasi pasar begitu saja. Setiap bulan, pemerintah biasanya menyalurkan
beras raskin sekitar 242.000 ton setiap bulan. Artinya, para keluarga miskin
yang seharusnya tidak perlu membeli beras, harus membeli beras sekitar
725.000 ton selama tiga bulan.
Operasi pasar 150.000 ton beras pun belum akan mampu
menurunkan harga beras. Apalagi, secara administratif, birokrasi penunjukan
kuasa pengguna anggaran (KPA) pada program raskin tahun 2015 ini sempat
tersendat. Implikasi paling penting dari eskalasi harga beras ini adalah
rencana pemerintah mengganti penyaluran raskin dengan uang elektronik
sebaiknya tidak perlu tergesa-gesa karena mudaratnya masih lebih besar
daripada manfaatnya.
Masyarakat pasti akan memberikan penilaian kepada Kabinet
Kerja, apakah mampu membangun fondasi strategi stabilisasi harga dan
menjalankan secara konsisten atau hanya akan diselamatkan oleh panen raya
sampai harga turun nanti. Kesungguhan, niat tulus, dan bahasa tubuh akan
menjelaskan semuanya, bukan bayangan kamera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar