Tantangan
Kepemimpinan
Makmur Keliat ; Pengajar
FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
12 Maret 2015
Setiap bangsa tentu memiliki pemimpin besarnya. Banyak
nama yang bisa kita sebut. Jawaharlal Nehru untuk India, misalnya, dan Gamal
Abdel Nasser untuk Mesir.Tidak hanya untuk negara berkembang. Nama-nama
pemimpin besar juga muncul di negara maju. George Washington untuk Amerika
Serikat, Winston Churchill untuk Inggris, dan Otto van Bismarck untuk Jerman.
Namun, suatu bangsa menjadi besar tidak semata terletak
pada pemimpinnya. Rahasia keberhasilan Amerika Serikat tentu saja akan sangat
berlebihan jika hanya dijelaskan oleh kehadiran George Washington pada masa
lalu. Kebesaran Inggris juga terlalu sederhana jika dijelaskan dari sosok
Churchill. Terlebih lagi, setiap pemimpin besar tergantung waktunya.
Dalam keadaan krisis mungkin yang dibutuhkan adalah figur
seperti Churchill. Dalam periode berbeda, mungkin yang dibutuhkan adalah
pemimpin seperti Margaret Thatcher untuk kasus Inggris.
Tak jarang pula kita melihat terdapat pemimpin yang pada
awal kemunculannya dianggap sebagai penyelamat bangsa. Namun, dalam proses
perjalanan sejarah, warisan kebijakannya tidak mampu menjaga keutuhan bangsa
itu. Lihat, misalnya, kasus Yugoslavia. Josef Broz Tito adalah pemimpin besar
bagi Yugoslavia. Namun, pada saat yang sama, kebesarannya itu tidak mampu
menyangga keutuhan Yugoslavia.
Ketika Tito wafat, Yugoslavia tak lama kemudian menjadi
hilang. Demikian juga dengan Mikhail Gorbachev dalam kasus Uni Soviet. Ia dikenal
sebagai pemimpin yang melakukan perubahan, tetapi dengan akibat Uni Soviet
tinggal menjadi catatan sejarah belaka.
Bukan sekadar memimpin
Apakah yang membuat suatu bangsa menjadi besar? Mengapa
kepemimpinan tidak merupakan faktor tunggal yang cukup? Salah satu jawabannya
mungkin adalah kehadiran institusi. Terwujud dalam bentuk ketaatan seluruh
warga negara terhadap norma-norma, aturan hukum positif, prosedur, dan pada
mekanisme teknis yang terbakukan, institusi menjadi vital karena beberapa
alasan sederhana berikut.
Alasan pertama, institusi setidaknya memudahkan
tindakan-tindakan untuk menggerakkan warga negara. Seorang pemimpin dalam
bangunan politik yang demokratis tidak hanya memiliki visi dan misi yang
dijajakan pada masa kampanye.Ia juga tidak sekadar mampu memobilisasi
sumber-sumber pendanaan setelah berhasil memenangi pemilihan umum.
Tidak kalah pentingnya, ia juga harus mampu menggerakkan
warganya. Namun, mobilisasi warga untuk mencapai tujuan tertentu akan menjadi
usaha yang teramat sulit dan memakan biaya yang sangat tinggi seandainyatidak
terdapat pemahaman dan ketaatan yang tinggi terhadap semua norma dengan semua
regulasi operasionalnya.
Alasan kedua, institusi setidaknya juga merefleksikan
kepercayaan (trust) publik. Dalam
hal ini, substansi dari kepercayaan itu terletak pada harapan tentang hari
esok. Seseorang yang yakin bahwa sesuatu akan terjadi pada hari esok dan
bahwa sesuatu yang terjadi pada hari esok itu akan lebih baik daripada hari
ini adalah seseorang yang memiliki kepercayaan. Tentu saja situasi sebaliknya
akan terjadi jika kepercayaan hilang atau mengalami penguapan. Namun,
kepercayaan bukan pula sesuatu yang terjadi dengan sendirinya.
Kepercayaan harus memiliki basis empirik dan berlandaskan
pada pola yang ajek. Persyaratan yang berbasis empirik dengan pola yang ajek inilah
yang membuat institusi menjadi sangat penting. Ketidakjelasan tentang aturan
main adalah indikasi adanya persoalan institusi yang pada gilirannya akan
mengikis kepercayaan itu. Intinya, membangun institusi adalah suatu kegiatan
untuk menyemai kepercayaan.
Alasan ketiga, institusi adalah jalan keluar untuk
mengatasi jebakan keberagaman. Setiap orang memiliki keunikan sendiri. Setiap
orang memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Latar belakang kultural dan
kepentingan ekonomi yang berbeda ini mengharuskan hadirnya suatu mekanisme
terlembaga yang menggambarkan terwakilinya hakikat keberagaman dan sekaligus
merefleksikan ”kepentingan bersama”. Hampir tidak mungkin membayangkan jika
setiap orang dalam suatu entitas politik yang disebut negara menjalankan
mekanismenya sendiri untuk memperjuangkan kepentingannya.
Karena ketidakmungkinan seperti itulah kita memiliki
institusi partai politik. Karena itu pula institusi menjadi sangat penting.
Institusi memberikan rujukan bagaimana setiap warga negara yang beragam itu
berperilaku secara absah tanpa harus menafikan betapa substansialnya
kepentingan bersama. Institusi ringkasnya adalah ibarat payung untuk
melindungi kepentingan beragam itu.
Sejumlah tantangan
Dengan tiga alasan sederhana ini, terdapat sejumlah
tantangan yang perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah baru Joko
Widodo-Jusuf Kalla dan para pendukungnya dalam hari-hari yang akan datang.
Pertama, tantangan yang berasal dari bujukan untuk melakukan pengkultusan
(cult of personality). Bujukan seperti ini dapat dengan mudah muncul ketika
terdapat harapan publik yang sangat besar untuk hadirnya suatu perubahan.
Tantangan seperti ini jangan ditanggapi dengan menyatakan
bahwa pergantian kepemimpinan adalah inti dari perubahan. Tanggapan seperti
ini dapat menciptakan jebakan berpikir bahwa mengubah suatu bangsa adalah
seperti semudah membalik tangan.
Jangan pula terjebak pada pemikiran trade-off bahwa gaya
kepemimpinan yang khas, misalnya blusukan, dapat mengatasi kebutuhan hadirnya
institusi yang kuat. Blusukan adalah penting, baik sebagai kerja terobosan
manajerial menghadapi penyakit kelembaman birokrasi maupun sebagai kerja
politik membangun basis untuk kompetisi pemilu berikutnya.
Namun, meminggirkan pentingnya institusi dengan cara
mengedepankan secara berlebihan faktor kepemimpinan dapat mengundang risiko
besar. Ia dapat menjadi jalan awal menuju situasi anarkis ketika kepemimpinan
itu tak lagi hadir bersama suatu bangsa. Perjalanan institusi idealnya harus
melampaui perjalanan usia dari pemimpinnya. Seperti ungkapan leaders come and go, institutions remain
in place.
Kedua, tantangan yang berasal dari pemikiran legalism.
Institusi tidak dapat dibangun semata-mata hanya dengan merujuk dan mengutip
bunyi aturan hukum. Sebagai misal, seseorang tidak bisa menyatakan telah
sepenuhnya menaati konstitusi dan menyebut dirinya sebagai constitutionalist
dengan mengutip pasal-pasal di dalam konstitusi.
Seorang konstitusionalis sejati sebaiknya juga harus mampu
untuk menerapkannya. Tidak hanya itu, pemimpin konstitusionalis sejati harus
mampu meluruskan apa yang tidak sealur dengan semangat dari pasal-pasal
konstitusi tersebut. Ketika situasi yang ada bertentangan dengan semangat
konstitusi, ia tidak ragu-ragu untuk melakukan intervensi. Hal ini tidak bisa
dibiarkan jika kita ingin membangun kepercayaan publik.
Namun, watak anti pembiaran tidak mungkin ditemukan dalam
pikiran-pikiran pragmatisme politik. Pragmatisme politik hanya akan
melahirkan pemikiran legalisme yang cenderung menekankan pada rule by law dan menyuburkan para status quoits anti perubahan.
Pemikiran legalisme itu tampak mulai menguat dalam kekisruhan antara Polri
dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Disebut menguat karena kekisruhan itu
terjadi ketika argumentasi setiap penegak hukum dalam proses kekisruhan itu
justru memunculkan jalan buntu dan membingungkan publik.
Ketiga, tantangan yang lahir dari kebutuhan untuk
bergegas. Sikap bergegas tentu saja penting, terutama ketika suatu pemerintah
baru berusaha mendapatkan dukungan kuat dari publik sekaligus menjadi pembeda
dengan pemerintah sebelumnya. Namun, dorongan untuk bergegas yang terlalu
besar dapat dengan mudah tergelincir menjadi tidak cermat atau ceroboh.
Kiranya perlu diingat bahwa perubahan tidaklah sekadar untuk melakukan
perubahan.
Pembangunan institusi menjadi terabaikan jika perubahan
dilakukan sekadar demi perubahan itu. Tidak semua pada masa lalu menjadi
buruk dan harus diubah. Demikian juga halnya tidak semua di masa lalu adalah
baik dan harus dilestarikan. Karena itu, setiap perubahan sebaiknya juga
merujuk pada memori kelembagaan yang telah terakumulasi dalam setiap instansi
pemerintah. Terlebih lagi bukankah seni membangun suatu bangsa adalah seperti
suatu seni mendamaikan antara kesinambungan dan perubahan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar