Jangan
Ngotot, Wu Wei Saja
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 18 Maret 2015
Ingin
main bulu tangkis lebih baik? Wu wei saja…
Ingin
bekerja lebih efektif? Wu wei saja…
***
Krisis
moneter pada akhir 1990-an merupakan blessing in disguise buat saya, yang
waktu itu sedang kuliah di Amerika.
Dari
segi finansial, tentu sempat bikin pusing. Uang saku saya dipotong lebih dari
50 persen oleh orang tua. Harus pindah dari apartemen sendiri, berbagi satu
rumah dengan tiga sahabat.
Di
kampus saya, California State University di Sacramento (Sacramento State),
jumlah anak Indonesia-nya langsung anjlok. Ketika saya masuk, masih 70-an.
Waktu lulus pada pengujung 1999, tinggal lima orang.
Blessing-nya,
tentu saja, saya dan teman-teman lain dari Indonesia jadi lebih ngeh tentang
pentingnya bekerja. Harus cari pekerjaan part time untuk melengkapi kebutuhan
sehari-hari. Atau, paling tidak untuk ’’tunjangan lifestyle’’, hahahaha…
Ada
teman yang bekerja di perpustakaan sekolah, jadi asisten dosen, di restoran,
atau bekerja delivery pizza. Saya? Bekerja di kafetaria di dormitory kampus.
Ya jadi pelayan, pembantu koki, barista, dan –tiap hari Jumat– cuci piring.
Jujur,
waktu kuliah itu, hidup saya tidak pernah kekurangan. Saya tidak akan menulis
tentang sulitnya kerja dan jadi ’’sok hidup susah’’.
Wong
sekolah di Amerika kok mengaku susah. Harus bersyukur dong!
Tapi,
waktu itu memang harus bekerja kalau ingin terus mendapatkan yang
’’diingin-inginkan’’. Bagi beberapa teman, memenuhi keinginan melengkapi
koleksi sepatu basket, keinginan bisa jalan-jalan, dan keinginan-keinginan
lain yang lebih condong ke tersier daripada sekunder.
***
Sebelum
krismon, dulu orang tua pernah meminta saya untuk pulang setiap libur
semester. Bukan setahun sekali, tapi setahun dua kali. Alasannya, supaya
selalu ’’menginjak bumi’’, selalu mengikuti perkembangan di Indonesia secara
langsung.
Kalau
pulang hanya setahun sekali, atau tidak pulang sama sekali, bisa-bisa shock
dan sulit beradaptasi ulang ketika nanti pulang permanen.
Karena
krismon, antara 1997 hingga lulus akhir 1999, saya tidak pulang. Saat musim
panas, saya bekerja sekaligus mengambil kelas-kelas tambahan. Kesempatan
untuk mengambil kelas-kelas di luar kurikulum yang dijadwalkan, memenuhi
’’kebutuhan-kebutuhan’’ perkembangan pribadi saat itu.
Pernah
satu semester pendek musim panas, saya mengambil kelas-kelas filosofi.
Maklum, sedang fase pencarian jati diri…
Ada
kelas filsafat bahasa, kelas filsafat Inggris, kelas tentang agama-agama di
dunia, serta filsafat Tiongkok.
Ibu
saya sempat heran dengan kesukaan/pilihan-pilihan itu. Tapi, ayah saya –yang
dari dulu selalu membiarkan saya berbuat/memilih apa saja– hanya bilang:
’’Biarin saja. Ulik (panggilan saya di rumah) sedang fase itu…’’
Salah
satu tema favorit saya dapat di kelas filsafat Tiongkok. Dosennya bule, tapi
pernah lama tinggal di Tiongkok dan fasih berbahasa serta menulis Mandarin.
Karena
kelasnya hanya dua minggu (sehari empat jam), tema paling utama kelas itu
adalah wu wei.
Konsep
dari Taoisme itu memang tidak bisa didefinisikan secara mudah. Memahaminya
harus lewat diskusi-diskusi dan contoh-contoh. Sebab, bisa diartikan
’’melakukan tanpa melakukan’’ untuk meraih yang diinginkan/diharapkan.
Intinya, kurang lebih, segala di sekeliling kita ini sudah harmonis. Kalau
kita terlalu memaksakan, malah ’’kacau’’. Kalau kita bisa seirama, hasilnya
jadi luar biasa.
Pada
akhir semester, kami harus membuat paper (naskah) tentang wu wei tersebut.
Bukan tentang apa itu dan pemahaman kita tentang konsep itu. Paper-nya harus
jelas, menceritakan pengalaman hidup kita yang bisa diartikan sudah
menerapkan wu wei.
Nah,
lho?
Bila
memahaminya sulit, apalagi menerapkannya. Padahal, sejak kecil, kita mungkin
sudah berkali-kali melakukannya.
Pernahkah
Anda main bulu tangkis, lalu entah mengapa hari itu Anda benar-benar menggila
walau tidak memaksa, dan dengan mudah mengalahkan lawan-lawan yang biasanya
sulit dikalahkan?
Pernahkah
Anda main basket, dan hari itu entah mengapa selalu dengan mudah memasukkan
bola, walau kadang saat mata tertutup?
Pernahkah
Anda bekerja, dan hari itu sepertinya membuat keputusan terasa mudah, segala
program berjalan lancar, walau rasanya tidak memaksa dan berusaha terlalu
keras?
Kalau
pernah, mungkin Anda baru saja menerapkan wu wei…
Ketika
akan mengerjakan tugas kuliah dulu, sempat bingung juga mau menulis apa.
Akhirnya, saya memilih tema naik go-kart.
Dulu
waktu SMP, saya memang sempat berlatih go-kart. Waktu itu Sirkuit Kenjeran di
Surabaya masih baru. Ketika mengejar waktu yang baik, dulu awalnya selalu
mencoba memaksakan diri. Selalu ’’over’’ saat mengambil tikungan. Selalu
’’over’’ saat memutar roda setir.
Yang
mengajari saya waktu itu lantas memberikan saran sangat sederhana: Jangan
memaksa, ikuti saja go-kart-nya.
Benar
saja, ketika ’’mengikuti’’ go-kart-nya, membelok tanpa memaksa, menginjak gas
secara smooth, catatan waktu langsung membaik.
Wu
wei!
Cling!
Paper saya dapat nilai A.
Belakangan,
saya sering ditanya teman soal bagaimana caranya supaya bisa menanjak dengan
baik saat bersepeda. Apalagi bulan April nanti Jawa Pos menyelenggarakan
Bromo 100 Km, event bersepeda menanjak yang sangat menantang.
Jawaban
saya: Wu wei saja…
Jangan
terlalu banyak dipikir, jangan terlalu banyak dipusingkan. Naik sepeda,
pancal, kosongkan pikiran, dan kayuh pedalnya.
Asal
latihannya cukup, asal kemauannya kuat, pasti mudah. Tinggal bagaimana
mengontrol pikiran dan mengharmonisasikan diri dengan sepeda dan lingkungan.
Tentu
saja, penerapan tidak semudah omongannya wkwkwk…
Happy Wednesday dan
selamat ber-wu wei ria! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar