Selasa, 17 Maret 2015

Syiah Bukan Islam?

Syiah Bukan Islam?

Azis Anwar Fachrudin  ;  Peneliti
di Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS), UGM
KORAN TEMPO, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Belum lama ini, Yogyakarta, kota yang pernah dikukuhkan sebagai The City of Tolerance pada 2011 itu dihujani spanduk-spanduk penebar sektarianisme. Spanduk-spanduk itu berisi kalimat-kalimat seperti "Syiah Bukan Islam", "Syiah Kafir", dan semacamnya. Spanduk-spanduk itu ada banyak, mungkin puluhan, tampak masif, sistematis, dan terstruktur: dipasang di berbagai jalan besar di Kota Yogya, juga beberapa di tempat-tempat strategis di Bantul.

Tak jelas apa motif dari pemasangan spanduk-spanduk itu. Yang jelas, spanduk-spanduk itu tak sehat bagi kehidupan toleransi beragama di Yogya, sedangkan Yogya belum pernah mengalami konflik Sunni-Syiah seperti di Sampang. Yang ironis, spanduk pengkafiran Syiah bertebaran, sedangkan tidak ada kecaman dengan kelantangan suara yang sama terhadap ISIS. Padahal kita tahu, penyuplai "relawan jihadis" ISIS dari Asia Tenggara paling banyak berasal dari Indonesia.

Untuk menjawab apakah benar Syiah bukan Islam, sebenarnya tak sulit. Syiah adalah bagian dari Islam karena kaum Syiah bersyahadat, meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, sama seperti Sunni. Persaksian ini ialah batas minimal untuk seseorang dianggap muslim. Kaum Syiah tiap hari juga salat, kalau Ramadan juga berpuasa.

Serta, 15 persen dari sekitar 16 juta warga Arab Saudi, yang sering disebut-sebut Negeri Salafi-Wahabi dan menjadi musuh bebuyutan Iran dalam geopolitik Timur Tengah itu, adalah kaum Syiah. Kaum Syiah Saudi boleh berhaji, dan karena itu mereka muslim. Sebagai tambahan, Iran yang mayoritas Syiah itu adalah anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang sekretariatnya ada di Arab Saudi, dan konferensi ke-8 OKI pada 1997 diadakan di Teheran, Iran.

Itu argumen ringkasnya, yang dapat diketahui oleh kaum muslim awam. Pada prinsip kredo paling mendasar, Syiah dan Sunni adalah bagian dari Islam. Adapun soal perbedaan tafsir (yang pada pokoknya bermula dari perbedaan interpretasi sejarah awal Islam, terutama soal suksesi pasca-Nabi Muhammad) adalah percabangan.

Sektarianisme Sunni-Syiah sudah berusia lama, sejak 13 abad lalu, sejak era pertama Islam. Ketegangan Sunni-Syiah dalam Islam ini kurang-lebih ekuivalen dengan kasus Katolik-Protestan dalam Kristen: masing-masing adalah mazhab/sekte/denominasi internal agama masing-masing. Secara umum kini, kita tak melihat konflik Katolik-Protestan dengan eskalasi seperti yang kita lihat di Timur Tengah saat ini, di mana sentimen Sunni-Syiah dipolitisasi dan memicu perang.

Artinya, bila sentimen sektarian itu dikobarkan kembali, kehidupan keberagamaan kita akan mundur beberapa abad, apalagi kalau sampai mengimpor konflik dari Timur Tengah (impor kok konflik?). Lagi pula di Indonesia jumlah kaum Syiah tak lebih dari 2 juta dari sekitar 250 juta rakyat Indonesia. Artinya, kaum Syiah di Indonesia tak ada 1 persennya. Bagaimana bisa spanduknya di Yogya semasif itu?

Di atas segalanya, segenap pemimpin NU dan Muhammadiyah, yang kerap disebut-sebut sebagai representasi moderatisme Islam Indonesia, sangat diharap meredam api sektarianisme itu sejak dini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar