Selasa, 17 Maret 2015

Menakar Gejolak Rupiah

Menakar Gejolak Rupiah

Yopie Hidayat  ;  Mantan Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Ketika nilai rupiah semakin layu terhadap dolar Amerika Serikat, pandangan ekonom pun terbelah. Sebagian mengatakan ini tidak apa-apa. Kita panggil saja mereka kelompok optimistis, sekadar memudahkan penyebutan. Di sisi lain, tak sedikit pula ekonom yang galau. Kita namakan saja mereka penganut alarmis.

Kaum optimistis yakin, bukan salah Indonesia jika nilai rupiah melorot. Dolar AS memang sedang menguat terhadap mata uang hampir semua negara. Melorotnya nilai mata uang adalah hal biasa semenjak krisis global 2008. Bank sentral justru sengaja melemahkan nilai mata uangnya sendiri dengan mencetak uang baru secara besar-besaran dan memberikannya kepada pemerintah agar dibelanjakan. Sebagai imbalan, pemerintah menyerahkan surat utang kepada bank sentral.

Inilah kebijakan quantitative easing yang bertujuan menggairahkan aktivitas ekonomi. Belanja pemerintah secara besar-besaran itulah tonikum bagi ekonomi yang lesu. AS sukses memelopori kebijakan ini dan sekarang ekonominya menggeliat. Dolar AS yang dulu lemah, sudah mulai kuat setelah quantitative easing berakhir.

Melihat kesuksesan AS, Eropa dan Jepang kini meniru kebijakan tersebut. Bank Sentral Eropa dan Bank of Japan sibuk mencetak uang. Nilai euro dan yen pun merosot karenanya. Kemelorotan itu akan menolong daya saing produk-produk negeri itu dalam kompetisi dagang di pasar internasional. Nilai mata uang yang lebih rendah akan membuat harga barang secara relatif menjadi lebih murah. Inilah dasarnya mengapa kaum optimistis tidak terlalu khawatir melihat limbungnya rupiah. Jadi, meminjam bahasa para ekonom yang merangkap jadi pejabat, kita tak perlu cemas, rupiah masih dalam batas aman.

Masalahnya, tak ada satu orang pun tahu berapa persisnya batas aman itu. Publik cuma melihat bahwa pemerintah mematok kurs Rp 12.500 per dolar AS dalam anggaran 2015 hasil revisi yang belum genap sebulan disetujui DPR. Pedoman ini sudah terlampau dan tak ada tanda-tanda Bank Indonesia atau pemerintah berupaya menahan merosotnya rupiah. BI malah menurunkan bunga yang justru membuat rupiah turun makin jauh. Tak ada lagi kredibilitas dalam angka yang mestinya menjadi rujukan bersama tersebut.

Masalah kredibilitas adalah kecemasan terbesar kubu alarmis. Ketika BI menurunkan patokan suku bunga atau BI Rate menjadi 7,5 persen pada 17 Februari lalu, kaum alarmis terenyak. Siapkah BI dengan risiko penurunan itu? Nilai rupiah pasti merosot tajam karenanya. Atau, apakah BI takluk pada intervensi pemerintah?

Boleh jadi, tuduhan intervensi itu berlebihan dan BI bertindak berdasarkan pertimbangan situasi moneter semata. Deflasi selama Januari dan Februari 2015 terakhir adalah alasan BI menurunkan suku bunga. Rumusnya, deflasi adalah gelagat ekonomi lesu. Suku bunga harus turun untuk menggairahkannya.

Tapi tetap saja kelompok alarmis tidak yakin bahwa menurunkan BI Rate saat ini adalah respons kebijakan yang tepat. Salah satu alasannya, ekonomi RI masih sangat bergantung pada impor. Rupiah yang terlalu murah justru membebani industri manufaktur dengan bahan baku yang makin mahal. Teori makin murah nilai rupiah akan membuat ekspor kita lebih bersaing, tidak sepenuhnya sahih pada industri manufaktur.

Dalam bahasa ekonom alarmis, rupiah yang terpuruk membuat kita seolah-olah mengimpor inflasi. Naiknya harga dolar AS mendorong meningkatnya harga semua barang impor, tanpa kecuali. Inilah yang  membebani pikiran perakit motor bebek hingga pedagang kain sewek. Semuanya kena.

Yang paling mengkhawatirkan, kurs yang terus merosot akan mengusik fondasi paling dasar sebuah ekonomi: kepercayaan pada mata uang. Jangan lupa, ekonomi kita sangat terbuka. Indonesia menganut rezim devisa yang paling bebas di seluruh dunia. Warga Indonesia boleh membeli dolar relatif tanpa batasan. Orang pun akan berhitung, untuk apa memegang aset rupiah jika nilainya terus merosot? Sekali keyakinan pada rupiah musnah, kepanikan yang tak tertahan bisa terjadi.

Tidak mudah mengukur tingkat kepercayaan. Ini adalah faktor psikologis yang tidak kasatmata, tanpa kita tahu persisnya ia sekuat apa. Ibarat keseimbangan alamiah yang mempertahankan timbunan salju di gunung, dari kejauhan  ia tampak kokoh dan indah. Tapi mungkin saja keseimbangan itu sudah sedemikian dekat dengan titik genting keruntuhannya. Cukup getaran angin yang mengusik, timbunan itu akan luruh menjadi longsoran yang mematikan.

Menjaga faktor psikologis dan kepercayaan pasar kini justru faktor terlemah pemerintah. Jokowi? Popularitas serta ajakan "ayo kerja" jelas tidak cukup meyakinkan pasar bahwa Jokowi adalah sosok yang mampu mengatasi persoalan ekonomi sepelik ini sendirian. Ia perlu pendamping, seorang jenderal ekonomi berkarisma yang mampu mengukuhkan kepercayaan pasar. Sejauh ini, ia belum memilikinya.

Dalam situasi segenting ini, Jokowi justru menggendong beban ideologis dari partainya untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan heroik dan nasionalis. Segala sesuatu yang berbau asing atau berlabel liberal kini tak lagi menjadi pilihan. Impor beras menjadi tabu, kendati harganya melonjak-lonjak. Kebijakan ekonomi yang seharusnya berbasis akal sehat malah memikul beban pembagian rente. Ini semua merupakan sentimen negatif yang turut menggerus keyakinan pada rupiah.

Setidaknya, para pemilik uang sudah beraksi. Mereka mulai mengobral aset berdenominasi rupiah. Dalam dua minggu terakhir, mengutip The Jakarta Post, ada penjualan bersih obligasi pemerintah oleh investor asing  senilai US$ 759 juta. Yield obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun mendadak sontak naik 78,4 basis point, atau 0,784 persen, pada Maret ini saja. Kenaikan ini luar biasa, karena selama setahun sebelumnya yield obligasi itu relatif  stabil. Yield naik, artinya investor menuntut imbalan lebih tinggi saat membeli obligasi pemerintah di pasar. Investor menilai, memberi pinjaman pada pemerintah Indonesia kini lebih berisiko, salah satunya karena nilai rupiah yang terus tergerus.

Gelagat kurang menggembirakan ini semoga saja tidak berlanjut. Investor asing saat ini menguasai obligasi pemerintah senilai Rp 499,3 triliun. Jika mereka sudah tak yakin lagi pada rupiah dan mengobral obligasi itu untuk berpindah ke aset lain, selesailah kita. Timbunan salju di puncak gunung itu akan longsor tak terduga-duga.  

Satu hal yang sudah pasti, The Fed akan menaikkan suku bunganya. Di kalangan pemimpin The Fed, perdebatan hanyalah mengenai masalah kapan, bukan lagi soal ya atau tidak. Jika itu tiba masanya, nilai rupiah semakin luruh, itu sudah pasti. Kita tinggal memperkirakan sejauh mana ia terjatuh. Dan kita semua cuma bisa berharap, pada akhirnya keyakinan orang pada rupiah masih cukup tersisa tidak habis binasa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar