Makian
yang Santun
Anton Kurnia ; Cerpenis; Esais
|
KORAN
TEMPO, 17 Maret 2015
Belakangan
ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menjadi
buah bibir. Perseteruannya dengan para anggota DPRD DKI Jakarta yang
terhormat kembali berlanjut. Kali ini pemicunya adalah "anggaran
siluman" yang hendak disahkan oleh para wakil rakyat tersebut.
Dalam
pertemuan antara Ahok dan para anggota DPRD DKI yang difasilitasi oleh
Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu, terjadi perdebatan panas yang
memicu terlontarnya kata-kata kasar dari salah satu anggota DPRD terhadap
Ahok. Dia dimaki, "**na ***ing!"
Makian
memang ungkapan perasaan tidak senang yang dimaksudkan agar pihak yang dimaki
merasa terhina dan tersinggung, atau sekadar pelampiasan rasa jengkel dan
suasana hati buruk seseorang. Makian "haram jadah" yang kadang kita
lontarkan, misalnya, sesungguhnya adalah umpatan kasar yang diadaptasi dari
istilah Hindi, harem-zada. Istilah itu bermakna "anak harem" yang
sejajar dengan son of a bitch atau bastard dalam bahasa Inggris. Kita
tahu harem adalah sarang asmara tempat para penguasa Timur zaman dulu
memelihara wanita-wanita jelita pemuas hasrat sang penguasa. Sedangkan
"***ing" bagi sebagian orang adalah binatang najis dan kotor.
Namun,
adakah makian yang santun?
Dalam
esainya yang penuh humor, The Art of
Verbal Abuse (Arte de Injurar),
Jorge Luis Borges, sastrawan ternama asal Argentina, menguraikan bagaimana
"seni" mencela lawan bicara. Pengarang yang tenar dengan
cerpen-cerpennya yang meramu fakta dan fiksi itu membahas bagaimana
"menjatuhkan" lawan bicara dengan kalimat-kalimat yang elegan tapi
menohok, yang kelihatannya serupa memuji, tapi justru memukul telak musuh
secara indah dan cerdas.
Jika
kita bandingkan apa yang dinyatakan oleh Borges dalam esainya itu dengan apa
yang dilakukan oleh para anggota DPRD yang terhormat, tentulah jauh panggang
dari api. Umpatan kotor yang rasial dan tidak imajinatif tentu tak bisa
dibandingkan dengan keterampilan mencela secara cerdas. Lagi pula, saya
sungguh tidak yakin para anggota parlemen yang "sibuk" itu sempat membaca
buku selain buku tabungan. Apatah lagi membaca esai Borges di atas yang saya
kutip dari kumpulan tulisan Borges, Selected Non-Fictions (Penguin, 2000).
Selama
ini, Ahok yang berwatak lugas dan suka bicara blakblakan, kalau perlu sambil
marah-marah, kerap dianggap tidak santun. Namun memang begitulah cara dia
berkomunikasi. Menurut saya, di tengah kemunafikan dan akal bulus yang
merajalela dalam perpolitikan kita, justru cara berkomunikasi yang lugas,
tanpa tedeng aling-aling, hantam kromo, kadang keras tapi jujur dan menohok
macam gaya Ahok ini justru lebih efektif. Mengutip George Orwell, "In a time of universal deceit,
telling the truth is a revolutionary act."
Yang
jadi masalah justru cara berkomunikasi para anggota DPRD yang terhormat itu.
Sebelumnya, mereka termasuk yang bersuara nyaring mencela Ahok sebagai
pejabat yang cara bicaranya "tidak santun". Namun, dari kasus
umpatan itu, terbukti justru merekalah yang barbar.
Saya
berharap Ahok maju terus tanpa gentar membongkar kebobrokan para begal
anggaran bertopeng anggota parlemen tanpa menghiraukan teror verbal mereka.
Apa yang terjadi ini bisa digambarkan dengan pelesetan peribahasa: kafilah (anggota Dewan) menggonggong,
(yang dimaki) anjing tetap berlalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar