Sabtu, 14 Maret 2015

Subsidi Parpol dan Korupsi Politik

Subsidi Parpol dan Korupsi Politik

Laode Ida  ;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

WACANA perlunya dana parpol tiba-tiba kembali dimuncul kan Mendagri Tjahjo Kumolo sebagai bagian jalan keluar mencegah terjadinya korupsi yang selama ini dilakukan politisi. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, yakni Rp1 triliun per parpol/tahun.Spontan, ide itu direspons `setuju' oleh seluruh elite parpol dan diminta untuk segera direalisasikan.

Perilaku korup para pejabat politik (dan para pihak relasinya) memang sudah pada tingkat `memuakkan', suatu kejahatan yang merampas hak rakyat atas anggaran, merusak profesionalisme birokrasi, dan bahkan pada tingkat tertentu merusak moralitas rakyat yang memperoleh sentuhan uang dari politisi atau pejabat busuk itu. Citra parpol pun, untuk sebagian, kian buruk dan bahkan cenderung mengalami public distrust.

Umumnya parpol kita memang memiliki kesulitan untuk mengover seluruh biaya yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai agenda strategis dalam rangka memperoleh dukungan rakyat pemilih secara luas sehingga bisa terus survive dari pemilu ke pemilu. Anggaran dari APBN yang hanya berdasarkan perolehan suara (pascapemilu) jelas terlalu kecil, hanya sekitar Rp100-an per suara. Sumbangan sukarela dari anggota, kalau jujur diakui, sangatsangat minim dan lebih hanya dari para anggota yang terpilih jadi anggota parlemen atau sumbangan sukarela dari pejabat politik yang ditempatkannya.

Fakta minimnya kontribusi masyarakat untuk pendanaan parpol memang bagian dari kegagalan parpol dalam memperkuat akar dan fanatisme ideologis di tingkat rakyat, yang kemudian diperkuat dengan merosotnya kepercayaan publik sebagai dampak dari perilaku buruk politisinya (termasuk korupsi), apalagi pertumbuhan parpol demikian subur tanpa basis massa ideologis.

Padahal, di Amerika Serikat, misalnya, sumber pendanaan parpol yang utama ialah sumbangan dari para anggota yang dengan mudah dilokalisasi karena yang eksis hanya dua parpol saja. Partai Demokrat menghimpun dana dari kalangan buruh (melalui organisasi buruh) sebagai basis ideologis utamanya, sedangkan Partai Republik menghimpun dananya dari para usahawan. Tentu saja sumber dari anggaran negara diberikan secara proporsional rutin.

Maka itulah sebabnya, para ang gota yang duduk di parlemen dan di eksekutif kerap dijadikan instrumen oleh parpol untuk `menggarap' sumber-sumber potensial untuk pendanaan parpol, termasuk di dalamnya bekerja sama dengan para pebinsis tertentu yang memiliki kepentingan untuk terbukanya peluang bisnis mereka ketika membangun relasi dengan politisi.

Dalam konteks ini, korupsi politik dilakukan secara terencana nan terselubung oleh politisi dengan memanfaatkan posisi, kewenangan, dan kesempatan mereka dalam proses-proses penganggaran, termasuk di dalamnya berupa good will pejabat politik atas suatu peluang bisnis.

`Dana-dana ilegal' yang diperoleh politisi itu, jika jujur diakui, tidaklah selalu hanya mengalir ke parpol asalnya, tetapi juga ke kantor pribadi dan keluarganya. Bahkan aliran terakhir bisa lebih banyak ketimbang yang mengalir ke parpol sehingga tak mengherankan jika politisi atau pejabat politik bisa cepat kaya, se dangkan parpolnya tetap kesulitan anggaran.

Kegagalan parpol dalam memecahkan masalah dalam dirinya seperti itulah agaknya kini hendak dimintakan solusi dengan memperoleh uang dari negara (APBN).Jika usulan itu hendak diwujudkan, niscaya tak akan sulit. Soalnya itu diangkat pejabat politik dari parpol penguasa dan agaknya sangat dinanti-nantikan seluruh petinggi parpol di negeri ini.

Akan tetapi, jangan sampai kita beranggapan bahwa dengan akan adanya subsidi parpol itu sudah akan menghilangkan praktik korupsi politik atau perilaku korup politisi. Tentu tak semudah seperti dibayangkan itu. Soalnya, korupsi politik bukan saja produk parpol atau politisi, melainkan lebih merupakan interelasi para oknum stakeholder penyelenggara negara termasuk para pebisnis yang kemudian dianggap sebagai kewajaran.Apalagi selama reformasi ini, demokrasi tak kunjung terkonsolidasi di satu pihak dan di pihak lain terjadi praktik demokrasi kian liberal yang tak terkendali.

Tepatnya, parpol dengan politisinya hanyalah sebagai bagian dari pelaku korupsi itu sehingga tak cukup hanya dengan memberikan anggaran dana parpol dianggap akan bisa menghentikan politisi untuk korup. Saya mencermati setidaknya dua faktor yang saling terkait akan terus menjadikan korupsi politik akan tetap eksis.

Pertama, biaya politik yang tinggi khususnya dalam proses-proses kampanye telah menjadikan jabatan politik (dengan segala kewenangan yang melekat) bukan sebagai tempat pengabdian kepada rakyat dan atau perbaikan negara, melainkan lebih sebagai `arena dagang' untuk memperoleh keuntungan dari segala pengorbanan yang telah dikeluarkan. Dan selanjutnya untuk tetap mempertahankan posisi dan caracara transaksional.

Kedua, politisi dan pejabat politik (termasuk di eksekutif ) sudah de mikian larut dalam orientasi materi dengan gaya hidup yang cenderung hedonistis. Tampaknya itu merupakan produk peniruan terhadap gaya hidup politisi era reformasi (termasuk penguasa parpol), yang di satu pihak barangkali bersikap dendam terhadap sebagian pejabat era Orde Baru yang hidup mewah-sehingga merasa perlu juga untuk menikmatinya. Di pihak lain, politisi itu merasa memegang kendali baik dalam proses-proses pengambilan kebijakan di parlemen maupun ketika jadi pejabat ditempatkan di jajaran eksekutif.

Maka tak mengherankan jika begitu banyak politikus jadi `orang kaya baru' sehingga ada anggapan, “Kalau mau cepat kaya, jadilah politisi.“ Hal itu merangsang banyak generasi muda untuk turut jadi penikmatnya. Fenomena ini sejalan dengan salah satu karakter masyarakat kita seperti yang dikatakan (almarhum) budayawan Mochtar Lubis, yakni mentalitas menerabas.

Para aktor di barisan eksekutif yang berinteraksi dengan (apalagi berada dalam kendali) pejabat politik sangat memahami harapan politisi itu. Apalagi para aktor di jajaran eksekutif pun memiliki mimpi gaya hidup yang sama, ingin nikmati kemewahan. Para pebisnis yang berkepentingan dengan kedua pihak itu menganggapnya sebagai peluang karena prinsip pebisnis ialah `berbagi untung' sehingga kalau memberi suap kepada kedua pihak atau salah satu di antara mereka, itu dianggap sebagai bagian dari sharing profit.

Apa yang mau dikatakan di sini ialah subsidi parpol baru bisa efektif bila ada komitmen serius dari dua pihak utama. Pertama, penguasa parpol mampu mengendalikan seluruh anggotanya untuk tidak korupsi, mulai dengan merekrut figur-figur yang bersih untuk hanya bekerja menjalankan mandat parpol bagi kepentingan rakyat dan perbaikan negara. Kedua, presiden harus bersikap antisipatif dengan mampu menjadi pengendali jajaran eksekutif untuk menghindari kebijakan, proses penganggaran, dan eksekusi anggaran yang transaksional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar