Subsidi
Parpol dan Korupsi Politik
Laode Ida ; Wakil Ketua
DPD RI 2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2015
WACANA
perlunya dana parpol tiba-tiba kembali dimuncul kan Mendagri Tjahjo Kumolo
sebagai bagian jalan keluar mencegah terjadinya korupsi yang selama ini
dilakukan politisi. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, yakni Rp1 triliun
per parpol/tahun.Spontan, ide itu direspons `setuju' oleh seluruh elite
parpol dan diminta untuk segera direalisasikan.
Perilaku korup
para pejabat politik (dan para pihak relasinya) memang sudah pada tingkat
`memuakkan', suatu kejahatan yang merampas hak rakyat atas anggaran, merusak
profesionalisme birokrasi, dan bahkan pada tingkat tertentu merusak moralitas
rakyat yang memperoleh sentuhan uang dari politisi atau pejabat busuk itu.
Citra parpol pun, untuk sebagian, kian buruk dan bahkan cenderung mengalami public distrust.
Umumnya parpol
kita memang memiliki kesulitan untuk mengover seluruh biaya yang diperlukan
untuk melaksanakan berbagai agenda strategis dalam rangka memperoleh dukungan
rakyat pemilih secara luas sehingga bisa terus survive dari pemilu ke pemilu. Anggaran dari APBN yang hanya
berdasarkan perolehan suara (pascapemilu) jelas terlalu kecil, hanya sekitar
Rp100-an per suara. Sumbangan sukarela dari anggota, kalau jujur diakui,
sangatsangat minim dan lebih hanya dari para anggota yang terpilih jadi
anggota parlemen atau sumbangan sukarela dari pejabat politik yang
ditempatkannya.
Fakta minimnya
kontribusi masyarakat untuk pendanaan parpol memang bagian dari kegagalan
parpol dalam memperkuat akar dan fanatisme ideologis di tingkat rakyat, yang
kemudian diperkuat dengan merosotnya kepercayaan publik sebagai dampak dari
perilaku buruk politisinya (termasuk korupsi), apalagi pertumbuhan parpol
demikian subur tanpa basis massa ideologis.
Padahal, di
Amerika Serikat, misalnya, sumber pendanaan parpol yang utama ialah sumbangan
dari para anggota yang dengan mudah dilokalisasi karena yang eksis hanya dua
parpol saja. Partai Demokrat menghimpun dana dari kalangan buruh (melalui
organisasi buruh) sebagai basis ideologis utamanya, sedangkan Partai Republik
menghimpun dananya dari para usahawan. Tentu saja sumber dari anggaran negara
diberikan secara proporsional rutin.
Maka itulah
sebabnya, para ang gota yang duduk di parlemen dan di eksekutif kerap
dijadikan instrumen oleh parpol untuk `menggarap' sumber-sumber potensial
untuk pendanaan parpol, termasuk di dalamnya bekerja sama dengan para
pebinsis tertentu yang memiliki kepentingan untuk terbukanya peluang bisnis
mereka ketika membangun relasi dengan politisi.
Dalam konteks
ini, korupsi politik dilakukan secara terencana nan terselubung oleh politisi
dengan memanfaatkan posisi, kewenangan, dan kesempatan mereka dalam
proses-proses penganggaran, termasuk di dalamnya berupa good will pejabat
politik atas suatu peluang bisnis.
`Dana-dana
ilegal' yang diperoleh politisi itu, jika jujur diakui, tidaklah selalu hanya
mengalir ke parpol asalnya, tetapi juga ke kantor pribadi dan keluarganya.
Bahkan aliran terakhir bisa lebih banyak ketimbang yang mengalir ke parpol
sehingga tak mengherankan jika politisi atau pejabat politik bisa cepat kaya,
se dangkan parpolnya tetap kesulitan anggaran.
Kegagalan
parpol dalam memecahkan masalah dalam dirinya seperti itulah agaknya kini
hendak dimintakan solusi dengan memperoleh uang dari negara (APBN).Jika
usulan itu hendak diwujudkan, niscaya tak akan sulit. Soalnya itu diangkat
pejabat politik dari parpol penguasa dan agaknya sangat dinanti-nantikan
seluruh petinggi parpol di negeri ini.
Akan tetapi,
jangan sampai kita beranggapan bahwa dengan akan adanya subsidi parpol itu
sudah akan menghilangkan praktik korupsi politik atau perilaku korup
politisi. Tentu tak semudah seperti dibayangkan itu. Soalnya, korupsi politik
bukan saja produk parpol atau politisi, melainkan lebih merupakan interelasi
para oknum stakeholder
penyelenggara negara termasuk para pebisnis yang kemudian dianggap sebagai
kewajaran.Apalagi selama reformasi ini, demokrasi tak kunjung terkonsolidasi
di satu pihak dan di pihak lain terjadi praktik demokrasi kian liberal yang
tak terkendali.
Tepatnya,
parpol dengan politisinya hanyalah sebagai bagian dari pelaku korupsi itu
sehingga tak cukup hanya dengan memberikan anggaran dana parpol dianggap akan
bisa menghentikan politisi untuk korup. Saya mencermati setidaknya dua faktor
yang saling terkait akan terus menjadikan korupsi politik akan tetap eksis.
Pertama, biaya
politik yang tinggi khususnya dalam proses-proses kampanye telah menjadikan
jabatan politik (dengan segala kewenangan yang melekat) bukan sebagai tempat
pengabdian kepada rakyat dan atau perbaikan negara, melainkan lebih sebagai
`arena dagang' untuk memperoleh keuntungan dari segala pengorbanan yang telah
dikeluarkan. Dan selanjutnya untuk tetap mempertahankan posisi dan caracara
transaksional.
Kedua,
politisi dan pejabat politik (termasuk di eksekutif ) sudah de mikian larut
dalam orientasi materi dengan gaya hidup yang cenderung hedonistis. Tampaknya
itu merupakan produk peniruan terhadap gaya hidup politisi era reformasi
(termasuk penguasa parpol), yang di satu pihak barangkali bersikap dendam
terhadap sebagian pejabat era Orde Baru yang hidup mewah-sehingga merasa
perlu juga untuk menikmatinya. Di pihak lain, politisi itu merasa memegang
kendali baik dalam proses-proses pengambilan kebijakan di parlemen maupun
ketika jadi pejabat ditempatkan di jajaran eksekutif.
Maka tak
mengherankan jika begitu banyak politikus jadi `orang kaya baru' sehingga ada
anggapan, “Kalau mau cepat kaya, jadilah politisi.“ Hal itu merangsang banyak
generasi muda untuk turut jadi penikmatnya. Fenomena ini sejalan dengan salah
satu karakter masyarakat kita seperti yang dikatakan (almarhum) budayawan
Mochtar Lubis, yakni mentalitas menerabas.
Para aktor di
barisan eksekutif yang berinteraksi dengan (apalagi berada dalam kendali)
pejabat politik sangat memahami harapan politisi itu. Apalagi para aktor di
jajaran eksekutif pun memiliki mimpi gaya hidup yang sama, ingin nikmati
kemewahan. Para pebisnis yang berkepentingan dengan kedua pihak itu
menganggapnya sebagai peluang karena prinsip pebisnis ialah `berbagi untung'
sehingga kalau memberi suap kepada kedua pihak atau salah satu di antara
mereka, itu dianggap sebagai bagian dari sharing
profit.
Apa yang mau
dikatakan di sini ialah subsidi parpol baru bisa efektif bila ada komitmen
serius dari dua pihak utama. Pertama, penguasa parpol mampu mengendalikan
seluruh anggotanya untuk tidak korupsi, mulai dengan merekrut figur-figur
yang bersih untuk hanya bekerja menjalankan mandat parpol bagi kepentingan
rakyat dan perbaikan negara. Kedua, presiden harus bersikap antisipatif
dengan mampu menjadi pengendali jajaran eksekutif untuk menghindari
kebijakan, proses penganggaran, dan eksekusi anggaran yang transaksional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar