Dampak
ISIS di Timur Tengah
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
politik Timur Tengah dan dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2015
HILANGNYA 16
warga negara Indonesia (WNI) di Turki dalam sebuah perjalanan tur harus
diwaspadai secara serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah. Sampai
tulisan ini ditulis (12/3) belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang
bahwa peristiwa ini terkait dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)
atau tidak. Namun, dilihat dari beberapa petunjuk yang ada, sangat mungkin
peristiwa ini terkait dengan ISIS.
Salah satu
dari petunjuk yang dimaksud ialah adanya kesan `suka rela' dari 16 WNI untuk
tidak kembali ke Indonesia. Pihak berwenang Turki berhasil menemukan dan
menahan 16 WNI saat hendak memasuki wilayah Suriah (metrotvnews.com, 12/3).
Bila benar
mereka hendak bergabung ke ISIS, yang terjadi sesungguhnya bukan peristiwa
`orang hilang', melainkan menghilangkan diri atau hijrah (dalam bahasa yang
ke rap digunakan oleh kelompok anti-NKRI seperti ISIS). Sejauh ini, bukan
hanya Indonesia yang mengalami peristiwa seperti ini. Jauh hari sebelumnya
ribuan orang asing (termasuk dari negara-negara Barat) juga melakukan hijrah
dari negara asalnya ke ISIS yang berbasis di sebagian wilayah Suriah dan
Irak.
Inilah yang
membuat masyarakat dunia mempersoalkan keberadaan ISIS. Apalagi, kelompok ini
kerap meneguhkan eksistensinya dengan cara-cara kekerasan, seperti menyandera
para tahanan yang kemudian dieksekusi mati, termasuk eksekusi mati dengan
cara dibakar (seperti dialami oleh salah satu pilot tempur Yordania beberapa
waktu lalu).
Namun
demikian, dampak yang jauh lebih destruktif secara fundamental justru terjadi
di wilayah Timur Tengah sendiri. Keberadaan ISIS di kawasan ini, tak hanya menarik
warga negara lain untuk bergabung dengan kelompok ini.Lebih jauh lagi,
keberadaan kelompok ini telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan
secara fundamental.
Di antara
perubahan yang terjadi di Timur Tengah pascakeberadaan ISIS, yaitu pertama ialah
berhentinya laju Arab Spring atau Musim Semi Arab yang berhasil menggulingkan
beberapa penguasa di sebagian negara Arab. Arab Spring juga mengguncang
pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah sampai sekarang. Alih-alih berhasil,
Arab Spring di Suriah justru membawa negeri itu ke dalam perang
saudara.Bahkan, perang saudara di Suriah acap berubah menjadi perang
sektarian (Sunni versus Syiah) yang kemudian mengundang hadirnya para militan
regional dan internasional dari kedua belah pihak.
Inilah yang
penulis sebut dengan istilah `embrio' politik bagi terbentuknya ISIS di
sebagian wilayah Suriah dan Irak. Kini ISIS telah menjelma sebagai organisasi
terorisme baru secara global yang bahkan mampu mengalahkan kelompok Al-Qaeda.
Keberadaan ISIS pada akhirnya berhasil menghentikan laju Arab Spring
sekaligus menjadi obat penenang bagi para penguasa di kawasan yang tidak
sempat terjungkal akibat Arab Spring, termasuk di antaranya ialah Presiden
Suriah, Bashar al-Assad.
Kedua,
pembentukan koalisi global baru antiterorisme. Sebagaimana dimaklumi, dalam
rangka memerangi ISIS yang menjelma sebagai kelompok teroris baru secara
internasional, Amerika Serikat (AS) membentuk koalisi global baru yang
melibatkan banyak negara sebagai anggota, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim, seperti Yordania.
Pembentukan
koalisi global antiterorisme sekarang mempunyai kemiripan dengan koalisi kurang lebih sama yang terbentuk
sesaat setelah AS diserang serangkaian aksi terorisme pada 11 September 2001
lalu. Bedanya ialah dalam koalisi pertama, pasukan AS bahkan memberlakukan
serangan darat untuk menghancurkan jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama
bin Laden yang saat itu berpusat di Afghanistan. Dalam koalisi kali ini,
pasukan global hanya mencukupkan diri dengan serangan udara.
Ketiga,
keberadaan ISIS juga berhasil memperkuat kesepahaman politik antara Iran dan
AS. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan para petinggi dari negara-negara
terkait, termasuk Irak. Bahkan, dalam perkembangan terkini diberitakan akan
ada operasi bersama di Irak, untuk membebaskan wilayah-wilayah Irak yang
selama ini dapat dikuasai oleh ISIS (Asharq Al-Awsat, 5/3).
Kesepahaman
inilah yang sempat menimbulkan `kecemburuan politik' di kalangan koalisi AS
yang lain, khususnya Israel. Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di
hadapan Kongres AS, Benjamin Netanyahu mengkritik keras `kedekatan' AS dengan
Iran. Israel menuduh bahwa Iran tetap mengembangkan nuklirnya. Bahkan, Israel
menekankan bahwa tidak ada bedanya antara Iran, ISIS, maupun Al-Qaeda (al-jazeera.net, 4/3).
Harus diakui
bersama, pernyataan Benjamin di atas tidak sepenuhnya benar. Dikatakan
demikian karena Iran belakangan sudah banyak melakukan perubahan, khususnya
terkait dengan isu nuklir.
Di sini dapat
dikatakan, pernyataan Benjamin di atas lebih mencerminkan sebagai
kekhawatiran Israel terhadap Iran yang saat ini menjadi satu-satunya potensi
ancaman keamanan bagi Israel (setelah negara-negara Arab berjatuhan).Desakan
Israel agar AS bersikap tegas terhadap Iran sesungguhnya bisa dipahami sebagai
upaya `menghancurkan' lawan dengan tangan teman.
Namun
demikian, pernyataan Benjamin di atas juga tidak sepenuhnya salah. Faktanya,
Iran saat ini mempunyai peran signifikan di Suriah, Libanon, Yaman, dan Irak.
Menurut sebagian sumber, para konsultan militer Iran berada di negara-negara
tersebut untuk merancang strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi
musuh-musuhnya.
Di sini dapat
ditegaskan, dalam konteks Timur Tengah, Iran justru menjadi pihak yang paling
diuntungkan dari keberadaan ISIS dengan segenap kebrutalan dan sadisme yang
dilakukan. Di satu sisi, keberadaan ISIS berhasil menyelamatkan dan
membentangkan kepentingan-kepentingan Iran di sejumlah negara Arab yang telah
menjadi kepanjangan tangan mereka. Di sisi lain, keberadaan ISIS telah membuat
hubungan AS-Iran berangsur-angsur membaik.
Sementara negara-negara lain
justru kebagian pelbagai macam keburukan ISIS, termasuk Indonesia. Apalagi,
ISIS melakukan kampanye terbuka agar kaum jihadis internasional bergabung
dengan mereka dan kaum jihadis internasional pun terus berbondong-bondong
mendatangi basis-basis ISIS di Timur Tengah, termasuk kaum jihadis dari
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar