Senin, 16 Maret 2015

Solusi atas Dualisme Golkar

Solusi atas Dualisme Golkar

Flo K Sapto W  ;  Praktisi Pemasaran
KORAN TEMPO, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Ketika potensi konflik terbuka antara Pandawa dan Korawa tak terhindarkan lagi, kedua pihak kemudian melakukan lobi ke beberapa pihak. Duryodana dan Arjuna masing-masing mencoba melobi Kresna. Kepada Duryodana, Kresna menjanjikan pasukan Narayana yang akan berperang bagi pihak Korawa. 
Sedangkan Kresna sendiri tidak akan ikut berperang, melainkan akan memposisikan diri sebagai kusir kereta Arjuna. Salya, adik Dewi Madrim, dipaksa oleh Duryodana untuk turut berperang bagi Korawa. Namun paman para Pandawa itu juga berjanji kepada Yudistira bahwa, jika terjadi peperangan antara Karna dan Arjuna, ia akan tetap membela Arjuna, meski posisinya sebagai kusir kereta Karna. Ilustrasi tersebut kurang-lebih bisa mewakili kondisi Partai Golkar (PG) saat ini. Terutama-pasca keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Selasa (10 Maret) lalu.

PG sebagai partai bentukan Orde Baru dalam catatan sejarahnya adalah partai pemerintah. Ibaratnya, PG stereotip dengan penguasa. Spirit ideologis inilah yang selama ini sebetulnya dijual PG kepada konstituennya. Maka, ketika roh PG itu hendak dibelokkan menjadi partai oposisi dengan bergabung dalam Koalisi Merah Putih, agaknya hal itu menumbuhkan sebuah resistansi internal.

Penolakan itu sebetulnya juga sudah terjadi sejak PG tidak lagi menjadi partai pemenang pemilu. Market share PG pada Pemilu 1999 masih 22,44 persen dengan perolehan 120 kursi. Di Pemilu 2004, persentase penguasaan pasar konsumen (pemilih) turun menjadi 21,58 persen dengan 108 kursi. Persentase itu terus menurun pada Pemilu 2009 menjadi 14,45 persen dengan 107 kursi. Terakhir, pada Pemilu 2014, persentasenya naik sedikit menjadi 14,75 persen, tapi jumlah kursi hanya 91.

Elite PG tentu sudah membaca angka-angka itu sebagai sebuah momentum kritis untuk konsolidasi. Maka kubu AL terlihat cukup masuk akal kalau menganggap perpindahan haluan dari koalisi birokrasi ke oposisi dirasakan akan semakin membuat PG ditinggalkan oleh pelanggannya. Atau, langkah inikah yang justru diyakini harus diambil-terutama oleh kubu ARB-untuk keluar dari keterpurukan? Biarlah pertanyaan itu menjadi diskusi intensif di kemudian hari oleh para kader partai bernuansa warna kuning itu. Hal yang lebih penting adalah mencari solusi atas dualisme yang masih ada.

Berkaitan dengan upaya itu, jika PG ternyata justru melebar keluar dari mekanisme internal yang sudah ada, yaitu melalui mahkamah partai, dan malah menyandarkan pada institusi negara (pengadilan), hanya akan menunjukkan sebuah hal ironis. PG justru semakin terlihat sebagai organisasi politik yang tidak mampu menyelesaikan secara politis atas konflik politik di internalnya. Jika demikian, organisasi politik semacam ini tidak akan cukup pintar untuk mengelola perpolitikan di tingkat negara. Karena itu, jika kubu ARB berjiwa besar, mereka akan lebih memilih mengalah-setidaknya pada musim pasar lima tahun ini-sambil mengisi amunisi untuk musim pasar berikutnya pada 2019.

Namun sepertinya kubu ARB tetap memilih "berperang" di jalur hukum daripada berdamai secara politis. Padahal, dengan pilihan itu, kerusakan PG akan semakin besar. Pilihan "berperang" bisa dimaklumi jika diambil oleh Pandawa dan Korawa, karena mereka masih muda dan emosional. Sedangkan para elite PG sudah tidak muda lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar