Negara
Membiayai Partai, Mungkinkah?
Edy Mulyadi ; Direktur Program Centre for Economic &
Democracy Studies (CEDES)
|
KORAN
TEMPO, 16 Maret 2015
Bukan
rahasia lagi bahwa demokrasi yang
digulirkan sejak Reformasi 1998 telah bermetamorfosis menjadi demokrasi
kriminal. Proses yang dilalui adalah demokrasi prosedural yang hanya sibuk
pilih-memilih orang setiap lima tahunan. Lalu demokrasi transaksional yang
penuh dengan politik bermain uang dan berbagai kecurangan. Kemudian terdampar
menjadi demokrasi kriminal yang mengantarkan para pelakunya pada pelanggaran
hukum.
Demokrasi
yang sebelumnya digadang-gadang bakal memberi kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia, ternyata justru membuat tatanan hidup bermasyarakat dan
bernegara di negeri ini makin babak-belur. Mahalnya biaya politik telah
menyulap para politikus dan pejabat publik menjadi para bandit penjarah uang
negara. Tidak berlebihan bila tiga pilar demokrasi di Indonesia telah
terpeleset menjadi "executhief", "legislathief", dan "yudicathief".
Barangkali
itu sebabnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melemparkan wacana pembiayaan
partai politik melalui APBN. Tidak tanggung-tanggung, angka yang
disorongkannya adalah Rp 1 triliunan untuk setiap partai. Logika yang
diusungnya, dengan mendapat gelontoran dana superjumbo itu, partai tidak lagi
"menugasi" kadernya di tiga pilar demokrasi tadi untuk menangguk
dana. Dengan begitu, korupsi yang selama ini menggurita dari hulu sampai
hilir bisa diredam, syukur-syukur dapat dikikis sampai titik terendah.
Keruan
saja, wacana Tjahjo itu segera menyulut pro-kontra. Tapi yang menarik adalah,
sebelum mantan Sekjen PDIP itu melontarkan wacana pembiayaan partai oleh
APBN, Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal
Ramli, sudah melontarkan gagasan serupa jauh sebelumnya. Paling tidak, ide
itu disampaikannya saat menyampaikan pidato kebudayaan di Graha Bhakti
Budaya, Taman Ismail Marzuki, awal Mei 2011.
Dalam
kesempatan itu, dia mengatakan, agar sistem demokrasi sungguh-sungguh bekerja
untuk kepentingan rakyat dan tidak dibajak oleh kekuatan uang, perlu
dilakukan reformasi pembiayaan partai politik. Caranya, partai dibiayai
negara. Di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia, partai memang
dibiayai negara.
Menurut
dia, dengan dibiayai negara, partai tidak lagi sibuk mencari dana secara
tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya, partai bisa berkonsentrasi untuk
mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas. Selama ini banyak
dosen muda yang pandai dan berintegritas tetap "tenggelam" di
kampus, karena tidak punya dana untuk maju menjadi calon legislator. Begitu
juga anak-anak muda yang idealistis dan kritis, tetap harus puas
berteriak-teriak dari pinggir jalan. Bagaimana mungkin mereka bisa
menyediakan dana miliaran hingga triliunan rupiah untuk bisa duduk di kursi
legislatif dan eksekutif?
Demokrasi
kriminal seperti ini hanya melahirkan pemilik modal atau mereka yang punya
bandar saja yang bisa melenggang menjadi pejabat publik. Menjadi normal bila
saat duduk, yang pertama kali mereka lakukan adalah bagaimana mengembalikan
investasi dan utang dari para bandar tadi. Maka korupsi besar-besaran yang
dilakukan secara berjemaah pun terjadi dengan masif.
Tapi
saat itu seruan ekonom senior tersebut seperti desahan di padang sahara yang
luas. Tak berbekas. Tak berbalas. Nyaris tidak ada elite partai dan pejabat
publik yang menanggapinya. Semua sibuk dengan agenda masing-masing. Maksud
saya, agenda membegal anggaran untuk melanggengkan kekuasaan dan
menggendutkan pundi-pundi pribadi, juga partai.
Pada
2013, Rizal Ramli kembali mencetuskan usulan tersebut. Kembali dia menyerukan
perlunya partai dibiayai APBN. Dalam kalkulasinya, anggarannya
"hanya" sekitar Rp 5 triliun per tahun dari total APBN yang saat
itu Rp 1.600-an triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang penggarongan
sistematis anggaran yang mereka lakukan melalui Badan Anggaran (Banggar) yang
ditaksir berjumlah tak kurang dari Rp 60 triliun setiap tahun. Ini belum
termasuk di DPRD kota/kabupaten dan provinsi.
Tentu
saja, dia juga menyadari tingkah-polah kriminal yang boleh disebut telah
menyusup ke tulang sumsum para elite kita. Pembiayaan partai oleh negara
memang tidak menjamin mereka tidak lagi korupsi. Besarnya dana untuk partai
juga sangat mungkin diselewengkan untuk memenuhi syahwat kriminal para
petinggi partai.
Itulah
sebabnya, ekonom senior tersebut juga menyertakan sejumlah persyaratan dan
pengawasan yang ketat atas keuangan partai, plus sanksi tegas dan keras.
Misalnya, harus ada audit keuangan oleh lembaga independen dan berintegritas.
Lalu, parpol yang tetap juga menggasak uang rakyat bisa dijatuhi sanksi
hingga pembubaran. Para pelaku dan elitenya diganjar dengan hukuman pidana
amat berat.
Kembali
ke awal tulisan ini, isyarat apa yang bisa ditangkap dari wacana Tjahjo agar
negara membiayai partai? Akankah ini bakal menjadi awal dimulainya babak baru
demokrasi yang bebas dari transaksi dan kriminal? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar