Negeri
Sengsara
M Fauzi Sukri ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 16 Maret 2015
Lembaga
media massa multinasional Bloomberg mengeluarkan survei peringkat negara
sengsara (the most miserable country)
di dunia pada awal Maret 2015. Indonesia ternyata berada di urutan ke-15.
Sangat mungkin Anda termasuk yang memberikan suara itu, dengan melihat
realitas yang hadir dalam gerak kehidupan ekonomi dan politik Indonesia
termutakhir.
Sedikit
menengok peristiwa proklamasi Indonesia, kita tahu bahwa negara Indonesia
memang tidak diproklamasikan dengan kebahagiaan. Saat menceritakan ulang
peristiwa pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus itu, Sukarno (Adams, 1966: 329) mengatakan, "Peristiwa kemenangan besar, untuk
mana aku mempersembahkan djiwa dan ragaku, sekarang telah selesai. Ia tidak
memberikan perasaan apa-apa. Aku tidak merasakan kegirangan hati. Aku hanya
letih. Sangat letih."
Proses
rembuk dan pembuatan teks proklamasi Indonesia tidak menggirangkan hati
Sukarno. Namun negara Indonesia yang sudah didambakan selama puluhan tahun
tidak pernah dicita-citakan sebagai negeri sengsara. Seperti dikatakan
Sukarno, kemerdekaan adalah jembatan emas untuk membangun politik, ekonomi,
dan budaya Indonesia. Penghadiran dan pengukuhan negara Indonesia adalah
hasrat untuk membangun negeri gemah ripah, loh jinawi, tata tentrem raharjo.
Negeri makmur sandang pangan, tanah hijau subur, damai tatanan
sosial-politik.
Imajinasi
idealitas negeri makmur secara ekonomi dan tenteram secara sosial-politik
ini, yang dijadikan semboyan Mbok Mase (sebutan saudagar batik di Lawayen,
Solo, yang termasyhur) dan dipajang di dinding rumah, adalah salah satu
raison d'etre kelahiran Indonesia, melepaskan diri dari belenggu kolonialisme
yang dianggap menyengsarakan secara ekonomi-politik. Tak ada negeri yang
memiliki imajinasi idealitas ekonomi-politik yang menjangkau masa lalu dan
masa depan seperti yang kita warisi. Kita dianugerahi tanah yang subur dengan
berbagai sumber daya alam yang melimpah dan berada di perlintasan perdagangan
internasional. Dua anugerah ini adalah modal melimpah menjadi negeri gemah
ripah, loh jinawi.
Jika
dalam survei Bloomberg itu, dengan barometer utama angka inflasi dan
pengangguran, negeri ini masuk menjadi urutan ke-15, maka masalah terbesarnya
adalah kita semua sebagai manusia Indonesia. Dalam berbagai survei
ekonomi-politik, Indonesia hampir tidak pernah menduduki peringkat yang
pertama. Indonesia selalu kalah dari Malaysia dan Singapura, atau Thailand,
yang menjadi negeri paling makmur dan tak sengsara seperti yang dilansir
Bloomberg.
Dan,
hanya dalam korupsi, Indonesia berani dan pasti mengalahkan para negara
tetangga. Kehebohan urusan politik dan korupsi sudah keterlaluan menyita
tenaga para pemimpin dan warga Indonesia. Kita terlalu sibuk mengurusi para
pemimpin yang bermasalah, bukan rakyat Indonesia, meski kita mengaku sebagai
negara berdemokrasi terbesar keempat di dunia. Kepemimpinan Presiden Jokowi,
yang pada masa kampanye begitu "menjanjikan", sekarang
sedikit-banyak tersita untuk mengurusi ulah para elite politik. Bukan rakyat.
Saat
Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, Hatta dan Sukarno membayangkan
negeri Amerika Serikat (juga Jepang), yang dianggap sebagai negeri yang
didirikan untuk mencapai kebahagiaan warga negaranya. Indonesia juga
dicita-citakan sebagai negeri bahagia. Bukan negeri sengsara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar