Sistem
Pekerja Rumahan
Rekson Silaban ; Direktur Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS,
14 Maret 2015
Perlawanan buruh atas sistem kerja fleksibilitas: buruh alih
daya, kontrak kerja dengan melanggar hukum, dan tidak ada hubungan kerja,
telah memasuki rentang waktu 12 tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimulai.
Sejauh ini kelompok kapitalis nakal memenangi pertarungan,
terbukti dengan terus meningkatnya eskalasi buruh alih daya yang menggusur
pekerja tetap. Saya jadi teringat ungkapan pakar strategi militer Jerman
Jenderal Carl Von Clausewitz tentang strategi perang, ”never engage the same enemy for too long or they will adapt your
strategy (jangan pernah menghadapi musuh yang sama untuk waktu panjang
karena mereka akan beradaptasi dengan strategimu).” Kelihatannya ini yang
telah berhasil dilakukan kaum kapitalis. Akibat gerakan buruh terlalu lama
melawan sistem fleksibilitas dengan pola sama, kaum kapitalis sudah bisa
beradaptasi menghadapi perlawanan buruh.
Praktik yang saat ini sedang gencar terjadi adalah pemborongan
pekerjaan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Atau yang populer disebut
pekerja rumahan (putting out system).
Modusnya, menawarkan pekerjaan ke kaum ibu rumah tangga dengan kesepakatan
lisan. Sistem seperti ini sebenarnya sudah lama ada, khususnya untuk bisnis
makanan dan industri mikro, tetapi berkembang marak akibat tekanan kompetisi
global dan absennya pengawasan hukum.
Pelakunya pun tidak lagi sebatas industri mikro, tetapi sudah
melibatkan perusahaan multinasional besar, seperti Nike, Samsung, Ripcurl
(merek sport dari Australia), Cressida, Jeans, produk celana dalam GT Man,
sepatu sport Alaska, dan sepatu merek ARA dari perusahaan Jerman. Kegiatan
bisnis ini berlangsung di permukiman kawasan industri. Sistem ini melengkapi
keberhasilan kaum kapitalis yang berhasil mempraktikkan sistem kerja buruh
alih daya, kontrak kerja lisan, kerja magang ilegal, bekerja dengan periode
sangat pendek, dan sebagainya.
Dibandingkan dengan gerakan buruh, kalangan kapitalis selalu
lebih cepat beradaptasi dengan sistem. Apalagi, melalui operasi perusahaan
multinasional (MNC), yang didukung modal besar, tenaga ahli, dan pengaruh
lobi ke pemerintah, mereka selalu bisa memaksakan keinginannya agar dipatuhi
negara. Kadang dengan cara mensponsori lahirnya UU baru sesuai kepentingan
MNC atau beroperasi dengan mengabaikan aturan hukum, tanpa takut dikenai
sanksi. Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, banyak perusahaan MNC lebih
besar dan lebih berkuasa ketimbang sebuah negara. Dan, tak seperti sebuah
negara, mereka tak bertanggung jawab ke siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
Pengingkaran
pekerjaan layak
Pekerja rumahan marak karena ditengarai bisa mengurangi biaya
pembuatan produk sampai 30-40 persen. Angka ini didapat dari penghitungan:
pengusaha tak perlu memiliki tenaga kerja resmi, tak harus membayar upah
sesuai ketentuan upah minimum, tak bayar iuran jaminan sosial, tak bayar
kerja lembur, tak bayar listrik, tak bayar pajak, tak perlu bayar biaya kecelakaan
kerja, tak perlu membayar manajer SDM, tak takut didemo buruh, tak ada biaya
rekrutmen dan PHK, serta selaksa keuntungan lain.
Situasi ini mengingatkan penulis pada bentuk hubungan kerja di
masa pra-industri saat kalangan kapitalis berlomba-lomba mengeksploitasi
buruh tanpa ada perlindungan negara. Fenomena pekerja rumahan ini sangat
kontradiktif dengan konsep hidup layak (decent
work) yang sudah diadopsi Indonesia di ILO dan G-20. Padahal, Indonesia
dipuji dunia karena menjadi negara pertama di Asia yang mengadopsi konsep
Pakta Lapangan Kerja tentang penciptaan pekerjaan yang layak. Sampai mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didaulat pidato di konferensi ILO tahun
2011 di Geneva, Swiss.
Modus operandi pekerja rumahan yang dilakukan kaum ibu akhirnya
ikut melibatkan buruh anak. Ini mudah terjadi karena umumnya perempuan dan
anak lebih sering di rumah ketimbang pria. Selain itu, ada pula tekanan
ekonomi yang mengharuskan perempuan perlu mencari penghasilan tambahan untuk
menambah pendapatan keluarga. Beban ganda perempuan bertambah dengan
agresivitas perusahaan menawarkan berbagai peluang kerja ke rumah-rumah
penduduk, yang berlangsung tanpa pengawasan aparat pemerintah atau
Kementerian Tenaga Kerja, tidak ada perjanjian kerja, batas jam kerja, upah
minimum, dan seterusnya.
Sebagai sebuah bentuk bisnis di ”wilayah abu-abu”, sistem ini
merusak upaya pemerintah dalam memberikan kesempatan kerja layak kepada
buruh. Hal ini karena secara langsung merugikan pekerja di sektor formal yang
pekerjaannya ”dicuri” pekerja rumahan, memperluas pengangguran, dan
meningkatkan pekerja informal. Padahal, Indonesia salah satu pelopor yang
mendukung proyek transformasi pekerja informal ke formal agar buruh dapat
akses ke perlindungan hukum, jaminan sosial, kredit, dan kesempatan hidup
layak.
Masalah lain akibat sistem ini adalah hilangnya pendapatan pajak
pemerintah karena hampir semua transaksi pekerjaan rumahan tak tersentuh
pajak. Dampak lainnya, peningkatan penggunaan buruh anak yang tak bisa
diawasi pemerintah. Sebab, untuk mencapai target kaum ibu sering melibatkan
anak-anak dalam penyelesaian kerja borongan. Tekanan terhadap beban ganda
perempuan juga meningkat sebagai akibat keharusan mendapatkan pendapatan dan
penyelesaian kerja borongan secara tepat waktu. Praktik kerja paksa
terselubung menjadi bagian yang melekat pada bisnis ini.
Dari hasil investigasi yang dilakukan serikat buruh garmen dan
tekstil KSBSI ditemukan, praktik buruh rumahan marak hampir di semua kawasan
industri. Maraknya praktik ini karena tak ada pengawasan dari pemerintah.
Pengawas dinas tenaga kerja sendiri menganggap hal itu di luar kewenangan
mereka karena tak ada hubungan kerja resmi antara majikan dan buruh. Akibat
keterbatasan definisi hubungan kerja, negara juga tak mengakui jenis hubungan
kerja ini sehingga buruh tidak mendapatkan hak-hak normatif.
Definisi hubungan kerja dalam UU No 13/2003 dianggap sah apabila
ada tiga unsur: ada pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Dalam kasus buruh
rumahan, hanya ada unsur pekerjaan, sementara perintah kerja yang seharusnya
dituangkan secara tertulis tak ada. Ketentuan upah pun tak sesuai aturan
perundangan. Akhirnya, pengusaha/perusahaan bebas meraih keuntungan
sebesar-besarnya tanpa dibebani membayar hak-hak normatif pekerja, pajak, dan
lain-lain. Sementara itu, gerakan buruh belum mampu menyentuh mereka
Pendekatan
komprehensif
Fenomena bisnis black economy biasanya muncul sebagai akibat
tekanan biaya ekonomi tinggi yang mengharuskan perusahaan mencari segala
upaya untuk bertahan hidup. Juga, akibat lemahnya aturan dan pengawasan hukum
ketenagakerjaan. Inilah masalah yang harus dipecahkan pemerintah secara
menyeluruh. Sebab, apabila pendekatannya hanya melalui penegakan hukum, bisa
saja praktiknya habis, tetapi tak menjawab kebutuhan rakyat atas kesempatan
kerja. Peningkatan ”ongkos buruh” yang tinggi dengan produktivitas rendah
juga akan memicu eskalasi praktik ini. Yang perlu dilakukan, praktik ini
jangan dibiarkan berlangsung tanpa hubungan kerja formal, sesuai aturan hukum
berlaku. Jika masih terdapat kekosongan hukum, pemerintah bisa menciptakan
aturan baru untuk memastikan hubungan kerja itu tercakup dalam aturan yang
jelas.
Pemerintah harus mencegah agar praktik fleksibilitas tenaga
kerja di luar hubungan kerja tak dibiarkan terus membesar dengan cara
memberikan pengakuan dan perlindungan hukum legal bagi pekerja rumahan, tak
membolehkan penggunaan buruh anak, memperketat pengawasan, tercakup dalam
BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, terbuka dalam mekanisme pengadilan
hubungan industrial. Kementerian Tenaga Kerja juga bisa mengeluarkan
peraturan menteri untuk menjelaskan hubungan kerja pekerja rumahan ini karena
UU No 13/2013 tak secara tegas mengatur soal ini. Perjanjian kerja pekerja
rumahan dibuat secara tertulis untuk mengatur hak dan kewajiban pekerja
rumahan dan pemberi kerja secara jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar