Selasa, 17 Maret 2015

Sesat Pikir Remisi Koruptor

Sesat Pikir Remisi Koruptor

Achmad Fauzi  ;  Hakim Pengadilan  Tarakan, Kalimantan Utara
KORAN JAKARTA, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Inilah rezim dalam sepanjang sejarah yang paling telanjang menarasikan kondisi antiklimaks pemberantasan korupsi. Di saat militansi otentik komponen civil society dalam menjadikan korupsi sebagai musuh bersama Memuncak, KPK justru menjadi tumbal skenario  kriminalisasi. Tidak puas hanya dengan menyingkirkan orang-orang berintegritas di KPK, pemerintah berencana  mendiskon hukuman kepada para koruptor.

Wacana pemberian remisi koruptor tersebut digulirkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.  Yasonna beralasan  koruptor juga manusia yang punya kesempatan  insyaf dengan segala hak  sama seperti narapidana lain. Padahal, jika dicermati, kasus tindak pidana biasa yang dirugikan hanya satu individu. Sedangkan korupsi dampak kerugiannya berskala  sangat luas (Koran Jakarta, 14/3).

Kebijakan Menkumham yang cenderung memaafkan koruptor tidak  sensitif  persoalan korupsi. Koruptor yang seharusnya tidak diberi ampun justru diberi ruang  bisa keluar dari hukuman badan. Ada tendensi politis dari rencana pemberi remisi tersebut mengingat para koruptor biasanya  aktor politik dan mantan pejabat pemerintahan.

Konstruksi hukum ini  sesat pikir dan bias politik.  Menkumham bersemangat memberi remisi  korupor,  pada saat bersamaan kontroversi hukuman mati, miskin  argumentasi HAM. PP Nomor 99 Tahun 2012,  peninggalan rezim SBY sudah memperketat  remisi koruptor. Salah satu syaratnya  kooperatif  dengan penegak hukum untuk membantu membongkar kejahatan pidananya (justice collaborator).

Ini  pengejawantahan Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Intinya, setiap negara  wajib menimbang dalam kasus-kasus tertentu untuk mendiskon hukuman apabila pelaku beritikad baik bekerja sama dalam  penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan. 

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 26 Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000).

Namun, tidak mudah mengkualifikasikan seseorang sebagai justice collaborator. Seseorang baru bisa disebut demikian andai memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, dalam Pasal 1 ayat (1)  UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa orang yang dapat member keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam  sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana harus didengar, saksikan dan atau alami sendiri.

Pasal 10 ayat (2) juga dijelaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus  sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana  ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun,  kesaksiannya dapat menjadi  pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Kedua, pedoman  justice collaborator mengacu  pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama  dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator yang bersangkutan adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu.

Dia  mengakui kejahatannya dan bukan  pelaku utama serta memberi keterangan sebagai saksi  dalam proses peradilan. Kemudian jaksa penuntut umum  menyatakan bahwa yang bersangkutan telah member keterangan dan bukti-bukti  sangat signifikan  dapat mengungkap tindak pidana  secara efektif. Selain itu, mengungkap pelaku-pelaku lain yang berperan besar dan atau mengembalikan aset-aset suatu tindak pidana.

Arus penolakan diskon  remisi koruptor  semakin menguat. Para pegiat antikorupsi mengecam dan dipastikan bakal mengajukan judicial review ke MA andai  pengetatan pemberian remisi diotak-atik. Pemerintah harusnya lebih berhati-hati karena  menyangkut nurani masyarakat luas yang nota bene terjajah korupsi.

Melukai

Langkah Menkumham tersebut jelas melukai  rasa keadilan publik. Dalam  jangka panjang  pemerintah akan kehilangan legitimasi. Maka, pemerintah harus membatalkan rencana tersebut. Apalagi   kejahatan korupsi semakin meluas.

Korupsi makan menggurita. Namun, keberpihakan elite atas  persoalan korupsi hanya riuh dalam  ucapan,  tapi sepi tindakan. Di latar depan dengan pencahayaan terang mereka meneriakkan ikrar dan menandatangani pakta integritas. Tapi, di belakang panggung politik yang gelap  mereka melakukan transaksi lancung menggadaikan  kekuasaan untuk memperkaya diri.

Kilas balik atas beberapa tokoh penting yang pernah menjadi ikon antikorupsi justru mengotori nama baiknya dengan korupsi. Slogan “katakan tidak pada korupsi” tak lebih hanya pepesan kosong.

Naluri tamak kepala daerah mengorupsi keuangan negara menjadi tren. Korupsi di sektor perizinan makin marak. Motifnya berbentuk pemerasan ataupun suap dari swasta. Maka, gagasan  perizinan melalui satu pintu harus segera direalisasikan guna menekan pungutan. Ketepatan dan kecepatan birokrasi juga harus jelas karena perizinan yang berbelit-belit memancing pengusaha membayar uang pelican.

Izin eksplorasi  pertambangan, perkebunan, dan kehutanan sangat  rawan  “main mata” antara kepala daerah dan pengusaha. Publik percaya KPK masih memiliki independensi dan integritas tinggi meski pekerjaan yang dihadapi bersinggungan dengan pemegang kekuasaan.

Tren  korupsi  kepala daerah tersebut mengindikasikan semakin menguatnya disorientasi kekuasaan. Kepala daerah  seharusnya  memajukan dan menyejahterakan masyarakat, malah menumpuk kekayaan sendiri. Korupsi kepala daerah antara lain  karena  ketamakan karena mereka sudah berkecukupan, sehingga menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.

Kalangan elite hilang malu. Sanksi sosial berupa kecaman, pengucilan, dan  hukuman badan  tidak berefek jera. Satu  ditangkap, esok atau lusa bermunculan  kepala daerah lain yang diringkus.

Kepala daerah memanfaatkan kelemahan pengawasan. Pengawasan melekat tidak berjalan. Kontrol internal yang melibatkan BPK, BPKP, dan inspektorat jenderal dalam menelusuri  penyimpangan sangat longgar. Pengawasan ini perlu segera dipecahkan agar penyimpangan  di lingkup pemerintahan daerah tidak terulang. Di samping itu, para kepala daerah perlu terus berkonsolidasi dan menjadi pelopor gerakan nyata  pemberantasan korupsi.

Korupsi kepala daerah  menjadi ironi yang harus ditebus mahal. Sebab,  34 gubernur  lewat  Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) telah berikrar  tidak korupsi. Mereka berjanji di hadapan Presiden Joko Widodo jika korupsi segera dipenjarakan atau jika perlu dihukum mati. Gerakan kesadaran antikorupsi ini  mestinya menjadi  momentum gerakan nasional yang wajib diikuti  pemerintah daerah tingkat II.

Sayang,  Kementerian Hukum dan HAM  tidak berada  dalam irama yang sama. Orkestra vonis berat terhadap koruptor dimentahkan begitu saja melalui “suara sumbang” bernama remisi. Presiden Joko Widodo seharusnya membangun koordinasi yang baik dengan Menkumham agar rezim  tidak terkesan prokoruptor.

Jika presiden berkomitmen  kuat memberantas  korupsi  tidak diam, membiarkan negeri ini terjatuh pada lubang korupsi. KPK sudah sekarat dan rakyat jatuh melarat.  Masihkah para keparat itu memperoleh remisi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar