Sesat
Pikir Remisi Koruptor
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Tarakan, Kalimantan Utara
|
KORAN
JAKARTA, 17 Maret 2015
Inilah
rezim dalam sepanjang sejarah yang paling telanjang menarasikan kondisi
antiklimaks pemberantasan korupsi. Di saat militansi otentik komponen civil
society dalam menjadikan korupsi sebagai musuh bersama Memuncak, KPK justru
menjadi tumbal skenario kriminalisasi.
Tidak puas hanya dengan menyingkirkan orang-orang berintegritas di KPK,
pemerintah berencana mendiskon hukuman
kepada para koruptor.
Wacana
pemberian remisi koruptor tersebut digulirkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna
Laoly yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Yasonna beralasan koruptor juga manusia yang punya
kesempatan insyaf dengan segala
hak sama seperti narapidana lain.
Padahal, jika dicermati, kasus tindak pidana biasa yang dirugikan hanya satu
individu. Sedangkan korupsi dampak kerugiannya berskala sangat luas (Koran Jakarta, 14/3).
Kebijakan
Menkumham yang cenderung memaafkan koruptor tidak sensitif
persoalan korupsi. Koruptor yang seharusnya tidak diberi ampun justru
diberi ruang bisa keluar dari hukuman
badan. Ada tendensi politis dari rencana pemberi remisi tersebut mengingat
para koruptor biasanya aktor politik dan
mantan pejabat pemerintahan.
Konstruksi
hukum ini sesat pikir dan bias
politik. Menkumham bersemangat memberi
remisi korupor, pada saat bersamaan kontroversi hukuman
mati, miskin argumentasi HAM. PP Nomor
99 Tahun 2012, peninggalan rezim SBY
sudah memperketat remisi koruptor.
Salah satu syaratnya kooperatif dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar kejahatan pidananya (justice
collaborator).
Ini pengejawantahan Pasal 37 ayat (2) Konvensi
PBB Antikorupsi (United Nations
Convention Against Corruption) tahun 2003. Intinya, setiap negara wajib menimbang dalam kasus-kasus tertentu
untuk mendiskon hukuman apabila pelaku beritikad baik bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu
kejahatan.
Ketentuan
serupa juga terdapat dalam Pasal 26 Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional
yang Terorganisasi (United Nations
Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000).
Namun,
tidak mudah mengkualifikasikan seseorang sebagai justice collaborator. Seseorang baru bisa disebut demikian andai
memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, dalam Pasal 1 ayat (1) UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban disebutkan bahwa orang yang dapat member keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana harus didengar, saksikan dan atau alami sendiri.
Pasal
10 ayat (2) juga dijelaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam
kasus sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana ternyata terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah. Namun,
kesaksiannya dapat menjadi
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Kedua,
pedoman justice collaborator mengacu
pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu. Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator yang bersangkutan
adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu.
Dia mengakui kejahatannya dan bukan pelaku utama serta memberi keterangan
sebagai saksi dalam proses peradilan.
Kemudian jaksa penuntut umum
menyatakan bahwa yang bersangkutan telah member keterangan dan
bukti-bukti sangat signifikan dapat mengungkap tindak pidana secara efektif. Selain itu, mengungkap
pelaku-pelaku lain yang berperan besar dan atau mengembalikan aset-aset suatu
tindak pidana.
Arus
penolakan diskon remisi koruptor semakin menguat. Para pegiat antikorupsi
mengecam dan dipastikan bakal mengajukan judicial review ke MA andai pengetatan pemberian remisi diotak-atik.
Pemerintah harusnya lebih berhati-hati karena
menyangkut nurani masyarakat luas yang nota bene terjajah korupsi.
Melukai
Langkah
Menkumham tersebut jelas melukai rasa
keadilan publik. Dalam jangka
panjang pemerintah akan kehilangan
legitimasi. Maka, pemerintah harus membatalkan rencana tersebut. Apalagi kejahatan korupsi semakin meluas.
Korupsi
makan menggurita. Namun, keberpihakan elite atas persoalan korupsi hanya riuh dalam ucapan,
tapi sepi tindakan. Di latar depan dengan pencahayaan terang mereka
meneriakkan ikrar dan menandatangani pakta integritas. Tapi, di belakang
panggung politik yang gelap mereka
melakukan transaksi lancung menggadaikan
kekuasaan untuk memperkaya diri.
Kilas
balik atas beberapa tokoh penting yang pernah menjadi ikon antikorupsi justru
mengotori nama baiknya dengan korupsi. Slogan “katakan tidak pada korupsi”
tak lebih hanya pepesan kosong.
Naluri
tamak kepala daerah mengorupsi keuangan negara menjadi tren. Korupsi di
sektor perizinan makin marak. Motifnya berbentuk pemerasan ataupun suap dari
swasta. Maka, gagasan perizinan
melalui satu pintu harus segera direalisasikan guna menekan pungutan.
Ketepatan dan kecepatan birokrasi juga harus jelas karena perizinan yang
berbelit-belit memancing pengusaha membayar uang pelican.
Izin
eksplorasi pertambangan, perkebunan,
dan kehutanan sangat rawan “main mata” antara kepala daerah dan
pengusaha. Publik percaya KPK masih memiliki independensi dan integritas
tinggi meski pekerjaan yang dihadapi bersinggungan dengan pemegang kekuasaan.
Tren korupsi
kepala daerah tersebut mengindikasikan semakin menguatnya disorientasi
kekuasaan. Kepala daerah
seharusnya memajukan dan
menyejahterakan masyarakat, malah menumpuk kekayaan sendiri. Korupsi kepala
daerah antara lain karena ketamakan karena mereka sudah berkecukupan,
sehingga menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.
Kalangan
elite hilang malu. Sanksi sosial berupa kecaman, pengucilan, dan hukuman badan tidak berefek jera. Satu ditangkap, esok atau lusa bermunculan kepala daerah lain yang diringkus.
Kepala
daerah memanfaatkan kelemahan pengawasan. Pengawasan melekat tidak berjalan.
Kontrol internal yang melibatkan BPK, BPKP, dan inspektorat jenderal dalam
menelusuri penyimpangan sangat
longgar. Pengawasan ini perlu segera dipecahkan agar penyimpangan di lingkup pemerintahan daerah tidak
terulang. Di samping itu, para kepala daerah perlu terus berkonsolidasi dan
menjadi pelopor gerakan nyata
pemberantasan korupsi.
Korupsi
kepala daerah menjadi ironi yang harus
ditebus mahal. Sebab, 34 gubernur lewat
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) telah
berikrar tidak korupsi. Mereka
berjanji di hadapan Presiden Joko Widodo jika korupsi segera dipenjarakan
atau jika perlu dihukum mati. Gerakan kesadaran antikorupsi ini mestinya menjadi momentum gerakan nasional yang wajib
diikuti pemerintah daerah tingkat II.
Sayang, Kementerian Hukum dan HAM tidak berada dalam irama yang sama. Orkestra vonis berat
terhadap koruptor dimentahkan begitu saja melalui “suara sumbang” bernama
remisi. Presiden Joko Widodo seharusnya membangun koordinasi yang baik dengan
Menkumham agar rezim tidak terkesan
prokoruptor.
Jika
presiden berkomitmen kuat
memberantas korupsi tidak diam, membiarkan negeri ini terjatuh
pada lubang korupsi. KPK sudah sekarat dan rakyat jatuh melarat. Masihkah para keparat itu memperoleh
remisi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar