Mengenal
(Generasi) Aktivisme Kita
Zely Ariane ; Penulis bekerja untuk “PapuaItuKita” dan “Perempuan
Mahardhika”
|
INDOPROGRESS,
16 Maret 2015
‘Mereka
yang bekerja dengan sektor-sektor paling radikal akan memiliki pandangan
berbeda terhadap negaranya, dibandingkan dengan mereka yang melakukan
aktivitas politiknya di tengah-tengah sektor-sektor yang paling tidak
politis. Kader revolusioner yang bekerja di lingkungan rakyat militan tidak
akan memiliki pandangan yang sama dengan mereka yang aktif di sektor-sektor
kelas menengah.’
(Martha Harnecker—Ideas for Struggle)
ARTIKEL
terbaru Yosie, Ken dan Eko telah menganggu pikiran saya. Ditambah suntingan
pamflet Martha Harnecker ‘Gagasan untuk Perjuangan’ yang baru saja selesai,
membuat saya terseret gairah menulis projek kecil-kecilan Refleksi Aktivisme
ini. Menurut seorang kawan veteran aktivis gerakan Paris ’68, aktivisme yang
kita lakukan mesti sering direfleksikan, sekurang-kurangnya lima tahunan,
agar tidak jatuh pada rutin, yang bila terlalu lama dibiarkan akan melahirkan
apparratchik-apparatchik[1] atas nama pergerakan rakyat. Ini bagian
pertamanya.
Walau
belum lama malang-melintang di dunia aktivisme seperti Eko Prasetyo atau Coen
Husain Pontoh, kekalahan dan konflik di kalangan habitat saya berhasil
membuat saya merasa lebih tua beberapa tahun dari mereka. Saya rasa, itu
sudah jadi modal cukup untuk memulai projek ini. Ini bukan projek riset
berdonor, bukan karena saya anti donor, tetapi karena kegairahan dan
kebutuhan menulis, atau bekerja tertentu, biasanya tidak bisa dipenjara oleh
donor atau upah. Kerja untuk bisa makan dan nonton adalah satu hal, kerja
untuk kehidupan tak melulu bisa dipenjara olehnya. Kok malah sudah jadi
refleksi pertama.
Pertama-tama,
tulisan mereka, beserta tulisan serta meme sindir menyindir antara ‘Marxisme
kami’ dan ‘Marxisme mereka’, membuat saya berfikir: betapa (aktivisme) kita
tak lagi memiliki (dan menciptakan) ruang fisik-tatap muka untuk mendialogkan
refleksi-refleksi penting dari aktivisme kita. Tak saja dialog yang
penting-penting, tetapi juga sekadar penyambung asa: bahwa yang berjuang
untuk keadilan sosial (baca: sosialisasi alat-alat produksi dengan kebudayaan
baru yang membebaskan semua orang agar bisa bahagia dengan setara) bukan
sekelompok orang saja. Tak cukup menyambung asa, setidaknya bisa saling
update informasi perkembangan budaya massa dan budaya populer, agar, kaum
kiri tak seperti dikatakan Harnecker: masih saja berlabuh di masa lalu, atau
dengan kata lain: kuper.
Website
IndoPROGRESS adalah alat penting, tetapi tidak cukup berkekuatan membuat
mereka bertatap muka dan berjabat tangan, termasuk curhat dan berdebat
langsung atau sekadar obrol hangat-hangat kuku. Forum-forum tatap muka ini
menjadi tambah penting terlebih karena era media sosial telah sedemikian
memudahkan sekaligus mengabaikan arti penting jabat tangan, pandang mata atau
tukar senyum.
Kita,
setidaknya saya, sudah menjadi saksi bencana yang ditimbulkan di dalam
organisasi kiri akibat ribut media sosial yang merembet pada kerusakan
organisasi di dunia nyata. Saya hampir-hampir tak bisa mengerti bagaimana
lincahnya orang-orang berakrobat di berbagai thread atau pesan facebook,
misalnya, tapi tak sanggup berkata hal serupa bahkan bertatap mata di arena
nyata; di hadapan orang yang sama. Intrik menjadi dimudahkan oleh
perkembangan teknologi digital ini.
Saya
akan kembali pada tema ini di Refleksi Aktivisme berikutnya.
Generasi kita
Kenapa
penting seorang Eko Prasetyo berjabat tangan dan diskusi bersama Yosie dan
Ken—dengan ataupun tanpa curhat?
Eko
mewakili apa yang saya istilahkan generasi heroik-dramatik pra reformasi,
sementara Yosie dan Ken mewakili generasi resah-kritis pasca reformasi. Kedua
generasi ini memiliki bahasa, pendekatan, bacaan, habitat dan pengalaman
berbeda terkait politik dan strategi transformasi sosial.
Generasi
Eko sempat dibesarkan dalam konfrontasi dan militansi, sementara generasi
Yosie dan Ken dibesarkan dalam kompromi dan penyesuaian diri. Ada situasi
yang membuat kedua generasi ini, dalam banyak contoh, bisa jadi sulit saling
mengerti. Yang pertama menghendaki yang kedua lebih militan, memiliki sense
of political urgency, dan turba (turun basis); sementara yang kedua
menghendaki yang pertama lebih artikulatif secara politik dan intelektual,
memiliki projek-projek jangka panjang berbasis riset berpihak, dan
kemandirian ekonomi.
Pengkategorian
ini mungkin tidak tepat, tetapi hanya coba mengabstraksi perbedaan pendekatan
mereka terhadap politik berdasar tulisan mereka. Saya punya dugaan, perbedaan
ini bukan karena memang beda tetapi karena belum ada jembatan penyambungnya.
Sehingga, bila ada jembatannya, bisa jadi bukan penyatuan pandang yang
terjadi tetapi sintesa pendekatan baru terhadap aktivisme kiri di negeri
kita. Yosie, dalam fungsi yang berbeda, menawarkan impresario aktivisme
sebagai jembatannya. Saya akan menjemput ide itu di bagian penutup artikel
ini.
Sementara
itu, di luar mereka semua, saat ini, justru lebih membludak lagi orang-orang
muda mewakili generasi pasca Yosie dan Ken yang lebih gampang membayangkan
dunia hancur (atau justru baik-baik saja) ketimbang membangun alternatif
dunia baru: semacam generasi woles-pragmatis. Di dalamnya juga bergabung
semacam generasi kariris-oportunis yang hidup dan menjadi benalu dari dan di
dalam politik praktis.
Eko
memberi peringatan penting dan sangat berharga pada generasi baru aktivisme
di dalam tulisannya: aksi massa itu penting, sentral bagi aktivisme. Di dalam
pengalaman kolektif aksi massa sajalah perasaan memiliki kekuatan,
kesanggupan, sekaligus percepatan perubahan kesadaran dimungkinkan. Seorang
kawan aktivis LGBT kiri di Amsterdam mengilustrasikannya dengan indah: “yang
menjembatani jurang antara norma dan kebutuhan adalah pergerakan”–silahkan
saksikan film kisah nyata Pride kalau anda tertarik buktinya. Saya rasa pesan
inilah yang paling utama dan paling penting diwariskan oleh generasi
pergerakan heroik-dramatik era kediktatoran Soeharto pada generasi saya dan
seterusnya.
Di
dalam aksi massa kita akan berjumpa pada kejutan dan lompatan keberanian
rakyat biasa, biasanya malah bukan aktivisnya. Perasaan semacam ini sangat
penting karena massa, publik, rakyat, kita semua, telah sukses dipecah belah,
didominasi, dihegemoni, diatomisasi, dicacah-cacah kesadaran kita oleh
kapitalisme, sedemikian rupa, sehingga hampir-hampir tak punya imajinasi akan
kekuatan sekaligus masalah kolektifnya. Aksi massa yang saya maksud di sini,
tentu bukan sekadar aksi massa ke Istana Negara atau pawai Mayday, tetapi
aksi-aksi kolektif dimanapun dan dalam bentuk apapun secara langsung,
berkelanjutan, mendesakkan tuntutan-tuntutan yang menjadi sumber kemarahan
dan penderitaan rakyat: hingga menjadi sebuah pergerakan.
Refleksi
Yosie membuat Coen, juga saya, tercenung. Saya tidak tahu apa yang membuat
Coen begitu, tetapi yang terlintas langsung di kepala saya pasca membacanya:
bagaimana membuat para aktivis kiri di sekitar habitat saya memahami makna
yang tersirat dan tersurat di dalam keresahan Yosie itu? Atau dalam hal lain,
bagaimana membuat habitat sekitar saya memahami fungsi Meme, seperti
produksinya Dewan Kesepian Jakarta, atau
yang lebih mainstream lagi fungsi
hastag #SaveHajiLulung? Dan mengapa habitat sekitar saya perlu memahaminya?
Kata-kata
riset saja bisa membuat sebagian aktivis di habitat saya sinis, apalagi
anggapan Yosie bahwa aktivisme sekarang tidak punya rencana jangka panjang.
Bagaimana mungkin kami-kami yang Marxis sejak dalam pikiran ini tidak punya
rencana jangka panjang? Bahkan, celakanya, seringkali pula, tidak pun
sebagian kami mau membaca tulisan beliau ini karena beliau tidak familiar di
kalangan kiri, anak ‘kelas menengah UI’—untung engga dicap borjuis kecil,
bahasa yang digunakan tak dikenali dan familiar di kalangan kami, apalagi
tidak ke basis dan aksi-aksi di kawasan industri sebagaimana yang biasanya
(sebagian) kami ikuti.
Kami
seringkali terjebak pada apa yang Sharon Smith istilahkan sebagai: the politics of priviledge-checking
atau politik yang berbasis penilaian atas seberapa kadar tertindasnya
orang—kadang hingga membuat kami memposisikannya sebagai yang layak dikawani
atau tidak.
Saya
pernah bertanya pada Coen, kedengarannya agak bego memang—tapi demikianlah
adanya: “darimana anak-anak generasi penulis baru di IndoPROGRESS ini muncul?
Siapa mereka? Kenapa saya tidak tahu? Kemana saja saya selama ini?” Seorang
kawan baik menjawabnya buat saya: “ah, mungkin mereka memang lahir dari
generasi orang tua yang berbeda, memiliki priviledge waktu dan pengetahuan
yang lebih, dan besar tidak dari pendidikan kiri yang ketat.” Dalam hati, saya
berujar waktu itu: “memang mereka lahir ketika habitat-habitat kiri tempat
saya dibesarkan makin jauh dari mampu menjangkau generasi ini.”
Di
habitat saya sendiri, tidak sedikit ciri-ciri generasi serupa mulai
bermunculan, walau kritisisme dan ketajaman intelektualnya belum seperti para
penulis muda di IndoPROGRESS atau Islambergerak. Generasi yang lahir di 90-an dan
mulai beraktivisme di paruh kedua pemerintahan SBY ini benar-benar
mengagumkan. Bagaimana tidak, di era generasi saya, menjawab suatu problem
politik dengan respon: “hmmm, engga tau,” bisa dituduh tidak revolusioner,
karena aktivis mesti punya jawaban terang. Sementara berhadapan dengan
generasi tersebut saat ini, kita dipaksa lebih terbiasa mendapat jawaban
seperti itu, hingga malah membuat saya berfikir: “iya juga ya, kenapa saya
mesti tahu semua hal yang padahal memang tidak sanggup saya cari atau punya
jawabannya?”
Generasi
ini telah membuat saya lebih membumi, menerima kenyataan: kita sudah bergerak
ke zaman dan setting sosial politik yang benar-benar berbeda, tak lagi di
masa-masa heroisme perjuangan anti kediktatoran. Analogi Yosie soal ini
menarik di dalam tulisannya. Kenyataan ini bukan saja untuk diterima, tetapi
sekaligus memberi tantangan: apa sumbangan generasi Eko dan Coen serta saya
pada adik-adik ini? Bagaimana kami bisa bicara walau dengan bahasa yang
mungkin butuh waktu beberapa semester agar bisa saling dimengerti? Perlu
diingat, generasi inilah yang paling banyak memenangkan Jokowi di Pilpres
lalu, kemudian cuek-cuek saja setelahnya. Generasi ini juga yang paling
sedikit ikut demonstrasi menurut survey pada 500 anak muda yang dibuat oleh
komunitas muda peduli politik dan HAM, Pamflet, yang digawangi Afra, Reza,
Raka, Indah dkk. Mereka ini bisa dikategorikan ada di antara dua aras
generasi: resah-kritis dan woles-pragmatis.
Saya
baru saja kenal istilah woles karena generasi ini. Saya dikenalkan cara
bercanda yang benar-benar absurd oleh Reza dkk-nya di Pamflet, katanya:
semakin tidak nyambung, semakin berhasil. Tetapi saya tetap tidak berhasil
walau sudah berupaya tidak nyambung. Untung generasi dari era heroik-dramatis
semacam Aquino Hayunta mengingatkan saya untuk tidak larut. Saya harus tetap
menjadi diri sendiri, tak mesti pusing karena tidak bisa mengerti mereka. Toh
saya tiba-tiba merasa menjadi punya jembatan ketika suatu siang Indah, salah
seorang punggawa Pamflet, mengirim Whatsaap yang isinya kira-kira: “Mba,
Syiriza dan PRD tuh serupa ya?” What? Dalam hati saya berujar: “Ngapaian
Indah pusing-pusing mikir itu, kenapa juga dia tahu PRD?” Saya langsung jadi
gembira—walau saya mantan PRD yang nyesek terus sama nasib partai itu dan
aktivis-aktivisnya. Eh, PRD itu apa sih? Nanti akan ikut saya bahas dalam
projek refleksi aktivisme ini.
Generasi
aktivisme semacam inilah yang terus membuat aktivis-aktivis semacam Roy
Murtadho juga AE Priyono terbengong-bengong. Sengaja saya sebut keduanya
sebagai wakil generasi aktivisme yang jarak gerakannya ada sekitar 20-an
tahun. Juga karena mereka tidak sangat jauh dari habitat saya bekerja. Siapa
tahu akan bisa memancing mereka turut berefleksi juga. Roy Murtadho, yang
padahal masih muda, sempat mengeluh betapa ia tidak paham dengan gaya bicara
alay generasi baru beserta berbagai ornamen kata-katanya.
Apakah
mereka-mereka ini yang disebut Alay? Rasanya kok tidak semua, karena
ke-alay-an itu sepertinya hanya ciri khas anak-anak kota besar industri,
khususnya Jakarta. Kalau daerah, apalagi di luar Jawa, kita tidak temukan
ke-alay-an serupa kota, tetapi wolesnya bisa sama: tak mau mendalam, instan,
pikirannya pendek-pendek dan sederhana, gampang galau, tak bisa diskusi
terlalu panjang dan ruwet, tak bisa lepas matanya dari gawai, dsb. Sebagian
mereka yang bergabung ke habitat aktivisme mulai mengisi kewolesannya itu
dengan politik, seperti Indah dkk di Pamflet, juga kawan-kawan muda di
sekitar habitat saya, Perempuan Mahardhika.
Karena
habitat saya ada di sektor-sektor dengan aktivisme radikal, biasanya di tahap
awal, politik para aktivisnya lebih banyak berisi slogan dan jargon ketimbang
artikulasi kompleks riil politik dan kampanye-kampanyenya. Wajar, karena
slogan dan jargon adalah pupuk pertama heroisme dan militansi. Selanjutnya,
baru masuk ke pekerjaan yang lebih sulit: memahami kompleksitas realita dan
membangun penyadaran kreatif atasnya. Sementara di habitat sektor-sektor
tidak radikal dan menengah, slogan juga ada, namun diolah lebih ringan,
bertahap dan hampir-hampir tidak politis. Entah kenapa, saya pikir hal-hal
ringan semacam ini juga memberi pengaruh pada level heroisme dan militansi—semakin
radikal slogan semakin terasa heroik walau tidak berarti makin militan.
Seperti juga ketiadaan jaminan bahwa heroisme dan militansi yang dikenalkan
oleh arena yang lebih radikal mampu membuat para aktivisnya, dalam jangka
waktu panjang, lebih militan dibanding arena yang tidak radikal.
Apa
kurang heroik dan militan generasi anti kediktatoran pada masanya hingga,
entah bagaimana, menghantarkan sebagian mereka ikut jadi penjahat politik di
masa sekarang?
Hambatan objektif
Perlukah
jembatan antar generasi ini dibangun? Perlu. Karena kadang kita hanya butuh
kenal dan mungkin sedikit berkawan hingga bisa menyamakan bahasa dan saling
mengerti titik berangkat masing-masing, sebelum yang lain-lain. Dan proses
ini tidak bisa dibangun di dalam ruang maya. Ruang yang paling memungkinkan
bertemu biasanya ada di ruang aksi. Dan sayangnya, arena aksi-aksi yang
diikuti oleh sebagian wakil-wakil generasi ini juga, dalam banyak contoh,
tidak sama. Aksi Kamisan adalah jembatan paling memadai, sejauh ini, untuk
mempertemukan mereka. Namun masih belum cukup.
Masalah
aktivisme kita hari ini, menurut saya, bersumber pada dua hal objektif:
pertama, ketidakmampuan (juga kegagalan) generasi aktivisme kiri, khususnya
yang muncul dari generasi heroik-militan, membangun alternatif kekuatan
politik anti kapitalisme yang riil. Perpecahan lebih banyak terjadi ketimbang
uji-uji penyatuan kekuatan. Sementara seruan persatuan tetap lebih banyak
padahal barisan baru saja terpecah belah. Lebih gampang menyerukan persatuan
ke luar ketimbang berefleksi persatuan ke dalam. Sehingga generasi baru tidak
sedang terbantu tumbuh ketertarikannya, hingga tumbuh kepercayaannya, pada
seruan-seruan kiri. Kita terlalu pandai menggurui ketika barisan kita justru
semakin melemah.
Kedua,
kemenangan idelogi neoliberalisme khususnya di era pasca kediktatoran.
Neoliberalisme, tak saja sukses memiskinkan, tetapi lebih sukses lagi menjadi
perangkat ideologi yang memprivatisasi seluruh aspek kehidupan dan
mencacah-cacah kesadaran sambil memabukkan. Kita dipaksa mengurus urusan kita
sendiri-sendiri, bersaing di hadapan pasar dengan meningkatkan kapasitas diri
(yang padahal sambil terus dihancurkan). Waktu bertemu muka, kecuali
pengangguran, semakin sedikit. Buruh-buruh muda belum menikah disibukkan kerja
lembur untuk bayar cicilan motor atau sekadar bayar utang ke rentenir, yang
jumlahnya tak jarang sudah tak rasional untuk bisa dibayar dengan kerja 24
jam setiap hari. Anak-anak muda yang masih kuliah disibukkan tugas kuliah
yang tidak masuk akal banyaknya dan belum tentu berguna, di tengah iklim
akademik yang tidak menggairahkan. Dakwah-dakwah agama makin menjauhkan kita
dari satu sama lain sambil seakan-akan membawa kita dekat dengan Tuhan.
Logika
projek ‘demokratisasi’ lembaga donor juga berputar pada pesan ini: membuat
rakyat menerima dan mamanajemen problem penderitaan sosialnya (baca: jangan
buat rakyat marah) dan melokalisir persoalan itu pada lokus reformasi
institusi yang sudah ada: menjauhkan rakyat dari revolusi sosial. Membuat
para aktivisnya merasa sudah berbuat banyak hanya dengan pekerjaan-pekerjaan
administratif seperti menyusun proposal, membuat laporan tandingan, atau
sekadar klik petisi, dan sejenisnya. Semakin lama kita lihat bahwa pekerjaan
di lembaga swadaya masyarakat (NGO) menjadi lapangan kerja tersendiri yang,
sebenarnya, memang diorganisasikan sedemikian rupa sebagai kompleks industri
non-profit yang, ironisnya, mendulang profit.
Reformasi
institusi ini bukannya pekerjaan tidak penting. Di negeri luar biasa korup
dengan birokrasi luar biasa tidak efisien seperti kita saat ini, semua upaya
memprofesionalkan institusi dan membuatnya akuntabel pada rakyat adalah
pekerjaan penting. Namun pekerjaan itu bukanlah tujuan, melainkan hanya
sarana untuk: mendistribusikan pendapatan nasional dan sumber daya pada
seluruh rakyat dengan setara. Bukan agenda ‘projek demokratisasi’ yang
semuanya salah, tetapi cara projek tersebut menumpulkan kekuatan massa,
publik, dan menyerahkannya ke hadapan institusi negara lah yang merugikan.
Rakyat kemudian hanya menjadi objek dan bukan subjek kekuasaan.
Impresario Aktivisme
Hambatan
objektif ini bukan takdir yang tak bisa diubah. Hambatan tersebut adalah
titik berangkat yang penting kita mengerti, agar antara keinginan dengan
kenyataan tidak tertukar.
Temu
pembaca dan penulis IndoPROGRESS saya pikir bisa menjadi semacam impresario
aktivisme yang dimaksud Yosie. Pembaca dan penulis ini datang dari berbagai
latar belakang, organisasi-komunitas dan pengalaman aktivisme. Betapa kayanya
pembicaraan yang bisa dihasilkan. Tentu tetap saja ada yang sensi, karena
penggunaan nama penyelenggara tertentu saja sudah bisa membuat kelompok
tertentu tidak mau hadir. Hfff… penyakit ini memang epidemi, karena belum ada
obatnya dan berkembang terus jenis-jenisnya di dalam semua sejarah perjuangan
kelas modern, di semua tempat. Pencegahannya hanya dibiarkan saja, karena
penyakit jenis ini makin diobati makin menjadi. Kita bergerak selalu dari yang mau, bukan galau
memikirkan yang tidak mau. Yang tidak mau akan ikut kemudian jika aktivitas
bersama ini berhasil menjadi daya tarik dan menghimpun banyak kekuatan.
Sehingga,
yang kita butuhkan saat ini sepertinya semacam venue, ajang, dimana
setidaknya, di tahap awal, diskusi dan kenalan bisa membuat perhatian kita
semua ada pada masalah bersama, bukan pada masalah yang diada-adakan dan
disama-samakan. Di ajang ini memungkinkan pertemuan lintas generasi, membuat
Eko bisa ketemu Yosie tanpa perlu keduanya menyetujui bangun koperasi atau
tidak, membuat Ken bisa bertemu penyiar Marsinah FM bernama Thin Koesna yang
akan menjelaskan pikiran-pikirannya dengan bahasa sederhana dan mengajari Ken
tentang perjuangan hak-hak pekerja LBT. Membuat Roy Murtadho berdiskusi
khusuk tentang Islam dan sosialisme dengan AE. Priyono dan mugkin akan menerbitkan
koran Islam-Kiri Res-Publica sebagai tandingan Republika. Dan yang tak kalah
seru, mungkin bisa membuat Ted Sprague dan Coen Husain Pontoh pulang ke
Indonesia dan mulai menjajal kemungkinan produksi Harian Indo-Marxis
Progresif Militan.
Sepertinya
terdengar bercanda. Tetapi ketika di dalam cakrawala canda saja tidak
terpikir, bagaimana bisa membayangkan revolusi, apalagi sosialisme, ada di
Indonesia, selain jadi ironi di sablon-sablon baju, tulisan di buku-buku atau
pernyataan sikap dan program-program politik belaka? Apalagi membayangkan
bisa mengalahkan Jokowi dan membuat pemerintahan revolusioner sepenuhnya?
Kita
semua sedang berada dalam pusaran masalah besar, jauh lebih besar daripada
masalah kita sendiri di organisasi sendiri. Dan di dalam pusaran masalah itu,
masalah-masalah di habitat kiri, dimana saya berasal, juga tak kurang
peliknya—apalagi banyak masalah yang dipelik-pelikkan, dibesar-besarkan,
dipenting-pentingkan, hingga membuat masalah bersama yang jauh lebih besar
jadi tidak tampak. Apakah habitat saya itu? Ada Politik Rakyat yang saya
dukung, ada PRP, KPO-PRP, PPR, PPI, ada organisasi rakyat seperti
serikat-serikat buruh kiri, organisasi mahasiswa kiri, organ tani kiri, ada
militan Indonesia kiri. Sementara di seberang sana—karena jarang ketemu di
arena kiri satunya—ada juga berdikarionline dan PRD, dan seterusnya dan
seterusnya. Yang pasti, tidak lagi banyak diketahui oleh generasi masa kini.
Saya sebetulnya
tidak mengerti bagaimana mungkin sebagian habitat saya ini bisa lebih fasih
bicara perbedaan dan kritik ketimbang membangun sesuatu bersama? Dan kalaupun
hendak membangun sesuatu bersama, tawaran dari salah satu kelompok di antara
kami sudah terasa ‘anyep’ duluan bagi kelompok yang lain. Sederhana saja,
menurut saya, sebabnya (sebelum soal apakah tawarannya relevan atau tidak):
karena kami semua masih berada di lingkaran dan tradisi serupa, yang tak
sedikit membawa warisan konflik-konflik sejarah yang tak semuanya penting,
tapi begitu menghambat kerja-kerja bersama. Tema ini juga akan
jadi refleksi aktivisme saya berikutnya, yang sepertinya akan beresiko
membosankan pembaca.
Oleh
sebab itulah, sementara ini, kesimpulan saya adalah ajang atau venue lain
dibutuhkan, oleh inisiatif orang-orang/kelompok/komunitas yang tidak
disangka-sangka. Venue ini masih jauh dari keinginan dan kebutuhan besar
punya alat politik bersama—tunggu dan lihat saja lah. Ken Loach, sutradara
kiri penting di Inggris, pernah meluncurkan seruan dan ajakan untuk membangun
dan bergabung ke dalam Left Unity—seruan yang tidak datang dari organsasi
kiri tradisional Inggris yang juga banyak berantemnya.
Kawan-kawan
di IndoPROGRESS dan di Islambergerak punya kapasitas membangun venue ini,
saya rasa—dibantu oleh tim kreatif kiri atau yang agak ke kiri yang bisa
mereka himpun. Alasannya, karena tingkat keragaman para kontributor dan
aktivis-aktvisnya adalah aset. Entah bagaimana jadinya nanti, saya tidak
tidak tahu, yang penting politik kiri tidak anyep seperti sekarang ini.
Sepertinya
kedengeran ngenes, di tengah persoalan ekonomi, politik dan sosial yang makin
mendesak dan bikin nyesek, respon bersamanya kenapa tidak bisa cepat. Itulah
bagian dari kenyataan, ternyata kita bukan pahlawan, kiri bukan pahlawan.
Kita belum bisa punya solusi cepat jangka pendek untuk mengatasi lambatnya
perbesaran perimbangan kekuatan melawan kapitalisme. Masing-masing kiri hanya
bisa berencana, tapi keberhasilan dan kredibilitas solusi hanya bisa
dimenangkan dari sejauh mana dukungan publik dan kerja bersama
kelompok-kelompok dan orang-orang yang bersetuju.
Tetapi
syukurlah, satu hal yang melegakan. Sengenes apapun situasi politik-kiri saat
ini, perjuangan rakyat biasa, yang tidak kalah kirinya, tidak berhenti hanya
karena problem-problem di kalangan aktivis kirinya saat ini.
‘memahami “kiri” sebagai
semua kekuatan yang berdiri melawan sistem kapitalisme beserta logika
mencari-laba (profit-driven) yang diusungnya, dan yang memperjuangkan sebuah
masyarakat alternatif berdasarkan humanisme dan solidaritas, yang dibangun di
atas kepentingan kelas pekerja. … Maka dari itu, kaum kiri tidak bisa
direduksi sebatas mereka yang tergabung dalam partai-partai atau organisasi
politik kiri; mereka juga mencakup aktor-aktor sosial dan gerakan-gerakan
sosial.’
(Martha
Harnecker—Ideas for Struggle)
Semoga
kita dijauhkan dari perasaan dan prasangka paling kiri. Amien. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar