Selasa, 17 Maret 2015

Mengenal (Generasi) Aktivisme Kita

Mengenal (Generasi) Aktivisme Kita

Zely Ariane  ;  Penulis bekerja untuk “PapuaItuKita” dan “Perempuan Mahardhika”
INDOPROGRESS, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

‘Mereka yang bekerja dengan sektor-sektor paling radikal akan memiliki pandangan berbeda terhadap negaranya, dibandingkan dengan mereka yang melakukan aktivitas politiknya di tengah-tengah sektor-sektor yang paling tidak politis. Kader revolusioner yang bekerja di lingkungan rakyat militan tidak akan memiliki pandangan yang sama dengan mereka yang aktif di sektor-sektor kelas menengah.’

(Martha Harnecker—Ideas for Struggle)


ARTIKEL terbaru Yosie, Ken dan Eko telah menganggu pikiran saya. Ditambah suntingan pamflet Martha Harnecker ‘Gagasan untuk Perjuangan’ yang baru saja selesai, membuat saya terseret gairah menulis projek kecil-kecilan Refleksi Aktivisme ini. Menurut seorang kawan veteran aktivis gerakan Paris ’68, aktivisme yang kita lakukan mesti sering direfleksikan, sekurang-kurangnya lima tahunan, agar tidak jatuh pada rutin, yang bila terlalu lama dibiarkan akan melahirkan apparratchik-apparatchik[1] atas nama pergerakan rakyat. Ini bagian pertamanya.

Walau belum lama malang-melintang di dunia aktivisme seperti Eko Prasetyo atau Coen Husain Pontoh, kekalahan dan konflik di kalangan habitat saya berhasil membuat saya merasa lebih tua beberapa tahun dari mereka. Saya rasa, itu sudah jadi modal cukup untuk memulai projek ini. Ini bukan projek riset berdonor, bukan karena saya anti donor, tetapi karena kegairahan dan kebutuhan menulis, atau bekerja tertentu, biasanya tidak bisa dipenjara oleh donor atau upah. Kerja untuk bisa makan dan nonton adalah satu hal, kerja untuk kehidupan tak melulu bisa dipenjara olehnya. Kok malah sudah jadi refleksi pertama.

Pertama-tama, tulisan mereka, beserta tulisan serta meme sindir menyindir antara ‘Marxisme kami’ dan ‘Marxisme mereka’, membuat saya berfikir: betapa (aktivisme) kita tak lagi memiliki (dan menciptakan) ruang fisik-tatap muka untuk mendialogkan refleksi-refleksi penting dari aktivisme kita. Tak saja dialog yang penting-penting, tetapi juga sekadar penyambung asa: bahwa yang berjuang untuk keadilan sosial (baca: sosialisasi alat-alat produksi dengan kebudayaan baru yang membebaskan semua orang agar bisa bahagia dengan setara) bukan sekelompok orang saja. Tak cukup menyambung asa, setidaknya bisa saling update informasi perkembangan budaya massa dan budaya populer, agar, kaum kiri tak seperti dikatakan Harnecker: masih saja berlabuh di masa lalu, atau dengan kata lain: kuper.

Website IndoPROGRESS adalah alat penting, tetapi tidak cukup berkekuatan membuat mereka bertatap muka dan berjabat tangan, termasuk curhat dan berdebat langsung atau sekadar obrol hangat-hangat kuku. Forum-forum tatap muka ini menjadi tambah penting terlebih karena era media sosial telah sedemikian memudahkan sekaligus mengabaikan arti penting jabat tangan, pandang mata atau tukar senyum.

Kita, setidaknya saya, sudah menjadi saksi bencana yang ditimbulkan di dalam organisasi kiri akibat ribut media sosial yang merembet pada kerusakan organisasi di dunia nyata. Saya hampir-hampir tak bisa mengerti bagaimana lincahnya orang-orang berakrobat di berbagai thread atau pesan facebook, misalnya, tapi tak sanggup berkata hal serupa bahkan bertatap mata di arena nyata; di hadapan orang yang sama. Intrik menjadi dimudahkan oleh perkembangan teknologi digital ini.

Saya akan kembali pada tema ini di Refleksi Aktivisme berikutnya.

Generasi kita

Kenapa penting seorang Eko Prasetyo berjabat tangan dan diskusi bersama Yosie dan Ken—dengan ataupun tanpa curhat?

Eko mewakili apa yang saya istilahkan generasi heroik-dramatik pra reformasi, sementara Yosie dan Ken mewakili generasi resah-kritis pasca reformasi. Kedua generasi ini memiliki bahasa, pendekatan, bacaan, habitat dan pengalaman berbeda terkait politik dan strategi transformasi sosial.

Generasi Eko sempat dibesarkan dalam konfrontasi dan militansi, sementara generasi Yosie dan Ken dibesarkan dalam kompromi dan penyesuaian diri. Ada situasi yang membuat kedua generasi ini, dalam banyak contoh, bisa jadi sulit saling mengerti. Yang pertama menghendaki yang kedua lebih militan, memiliki sense of political urgency, dan turba (turun basis); sementara yang kedua menghendaki yang pertama lebih artikulatif secara politik dan intelektual, memiliki projek-projek jangka panjang berbasis riset berpihak, dan kemandirian ekonomi.

Pengkategorian ini mungkin tidak tepat, tetapi hanya coba mengabstraksi perbedaan pendekatan mereka terhadap politik berdasar tulisan mereka. Saya punya dugaan, perbedaan ini bukan karena memang beda tetapi karena belum ada jembatan penyambungnya. Sehingga, bila ada jembatannya, bisa jadi bukan penyatuan pandang yang terjadi tetapi sintesa pendekatan baru terhadap aktivisme kiri di negeri kita. Yosie, dalam fungsi yang berbeda, menawarkan impresario aktivisme sebagai jembatannya. Saya akan menjemput ide itu di bagian penutup artikel ini.

Sementara itu, di luar mereka semua, saat ini, justru lebih membludak lagi orang-orang muda mewakili generasi pasca Yosie dan Ken yang lebih gampang membayangkan dunia hancur (atau justru baik-baik saja) ketimbang membangun alternatif dunia baru: semacam generasi woles-pragmatis. Di dalamnya juga bergabung semacam generasi kariris-oportunis yang hidup dan menjadi benalu dari dan di dalam politik praktis.

Eko memberi peringatan penting dan sangat berharga pada generasi baru aktivisme di dalam tulisannya: aksi massa itu penting, sentral bagi aktivisme. Di dalam pengalaman kolektif aksi massa sajalah perasaan memiliki kekuatan, kesanggupan, sekaligus percepatan perubahan kesadaran dimungkinkan. Seorang kawan aktivis LGBT kiri di Amsterdam mengilustrasikannya dengan indah: “yang menjembatani jurang antara norma dan kebutuhan adalah pergerakan”–silahkan saksikan film kisah nyata Pride kalau anda tertarik buktinya. Saya rasa pesan inilah yang paling utama dan paling penting diwariskan oleh generasi pergerakan heroik-dramatik era kediktatoran Soeharto pada generasi saya dan seterusnya.

Di dalam aksi massa kita akan berjumpa pada kejutan dan lompatan keberanian rakyat biasa, biasanya malah bukan aktivisnya. Perasaan semacam ini sangat penting karena massa, publik, rakyat, kita semua, telah sukses dipecah belah, didominasi, dihegemoni, diatomisasi, dicacah-cacah kesadaran kita oleh kapitalisme, sedemikian rupa, sehingga hampir-hampir tak punya imajinasi akan kekuatan sekaligus masalah kolektifnya. Aksi massa yang saya maksud di sini, tentu bukan sekadar aksi massa ke Istana Negara atau pawai Mayday, tetapi aksi-aksi kolektif dimanapun dan dalam bentuk apapun secara langsung, berkelanjutan, mendesakkan tuntutan-tuntutan yang menjadi sumber kemarahan dan penderitaan rakyat: hingga menjadi sebuah pergerakan.

Refleksi Yosie membuat Coen, juga saya, tercenung. Saya tidak tahu apa yang membuat Coen begitu, tetapi yang terlintas langsung di kepala saya pasca membacanya: bagaimana membuat para aktivis kiri di sekitar habitat saya memahami makna yang tersirat dan tersurat di dalam keresahan Yosie itu? Atau dalam hal lain, bagaimana membuat habitat sekitar saya memahami fungsi Meme, seperti produksinya Dewan Kesepian Jakarta, atau yang lebih mainstream lagi fungsi hastag #SaveHajiLulung? Dan mengapa habitat sekitar saya perlu memahaminya?

Kata-kata riset saja bisa membuat sebagian aktivis di habitat saya sinis, apalagi anggapan Yosie bahwa aktivisme sekarang tidak punya rencana jangka panjang. Bagaimana mungkin kami-kami yang Marxis sejak dalam pikiran ini tidak punya rencana jangka panjang? Bahkan, celakanya, seringkali pula, tidak pun sebagian kami mau membaca tulisan beliau ini karena beliau tidak familiar di kalangan kiri, anak ‘kelas menengah UI’—untung engga dicap borjuis kecil, bahasa yang digunakan tak dikenali dan familiar di kalangan kami, apalagi tidak ke basis dan aksi-aksi di kawasan industri sebagaimana yang biasanya (sebagian) kami ikuti.

Kami seringkali terjebak pada apa yang Sharon Smith istilahkan sebagai: the politics of priviledge-checking atau politik yang berbasis penilaian atas seberapa kadar tertindasnya orang—kadang hingga membuat kami memposisikannya sebagai yang layak dikawani atau tidak.

Saya pernah bertanya pada Coen, kedengarannya agak bego memang—tapi demikianlah adanya: “darimana anak-anak generasi penulis baru di IndoPROGRESS ini muncul? Siapa mereka? Kenapa saya tidak tahu? Kemana saja saya selama ini?” Seorang kawan baik menjawabnya buat saya: “ah, mungkin mereka memang lahir dari generasi orang tua yang berbeda, memiliki priviledge waktu dan pengetahuan yang lebih, dan besar tidak dari pendidikan kiri yang ketat.” Dalam hati, saya berujar waktu itu: “memang mereka lahir ketika habitat-habitat kiri tempat saya dibesarkan makin jauh dari mampu menjangkau generasi ini.”

Di habitat saya sendiri, tidak sedikit ciri-ciri generasi serupa mulai bermunculan, walau kritisisme dan ketajaman intelektualnya belum seperti para penulis muda di IndoPROGRESS atau Islambergerak. Generasi yang lahir di 90-an dan mulai beraktivisme di paruh kedua pemerintahan SBY ini benar-benar mengagumkan. Bagaimana tidak, di era generasi saya, menjawab suatu problem politik dengan respon: “hmmm, engga tau,” bisa dituduh tidak revolusioner, karena aktivis mesti punya jawaban terang. Sementara berhadapan dengan generasi tersebut saat ini, kita dipaksa lebih terbiasa mendapat jawaban seperti itu, hingga malah membuat saya berfikir: “iya juga ya, kenapa saya mesti tahu semua hal yang padahal memang tidak sanggup saya cari atau punya jawabannya?”

Generasi ini telah membuat saya lebih membumi, menerima kenyataan: kita sudah bergerak ke zaman dan setting sosial politik yang benar-benar berbeda, tak lagi di masa-masa heroisme perjuangan anti kediktatoran. Analogi Yosie soal ini menarik di dalam tulisannya. Kenyataan ini bukan saja untuk diterima, tetapi sekaligus memberi tantangan: apa sumbangan generasi Eko dan Coen serta saya pada adik-adik ini? Bagaimana kami bisa bicara walau dengan bahasa yang mungkin butuh waktu beberapa semester agar bisa saling dimengerti? Perlu diingat, generasi inilah yang paling banyak memenangkan Jokowi di Pilpres lalu, kemudian cuek-cuek saja setelahnya. Generasi ini juga yang paling sedikit ikut demonstrasi menurut survey pada 500 anak muda yang dibuat oleh komunitas muda peduli politik dan HAM, Pamflet, yang digawangi Afra, Reza, Raka, Indah dkk. Mereka ini bisa dikategorikan ada di antara dua aras generasi: resah-kritis dan woles-pragmatis.

Saya baru saja kenal istilah woles karena generasi ini. Saya dikenalkan cara bercanda yang benar-benar absurd oleh Reza dkk-nya di Pamflet, katanya: semakin tidak nyambung, semakin berhasil. Tetapi saya tetap tidak berhasil walau sudah berupaya tidak nyambung. Untung generasi dari era heroik-dramatis semacam Aquino Hayunta mengingatkan saya untuk tidak larut. Saya harus tetap menjadi diri sendiri, tak mesti pusing karena tidak bisa mengerti mereka. Toh saya tiba-tiba merasa menjadi punya jembatan ketika suatu siang Indah, salah seorang punggawa Pamflet, mengirim Whatsaap yang isinya kira-kira: “Mba, Syiriza dan PRD tuh serupa ya?” What? Dalam hati saya berujar: “Ngapaian Indah pusing-pusing mikir itu, kenapa juga dia tahu PRD?” Saya langsung jadi gembira—walau saya mantan PRD yang nyesek terus sama nasib partai itu dan aktivis-aktivisnya. Eh, PRD itu apa sih? Nanti akan ikut saya bahas dalam projek refleksi aktivisme ini.

Generasi aktivisme semacam inilah yang terus membuat aktivis-aktivis semacam Roy Murtadho juga AE Priyono terbengong-bengong. Sengaja saya sebut keduanya sebagai wakil generasi aktivisme yang jarak gerakannya ada sekitar 20-an tahun. Juga karena mereka tidak sangat jauh dari habitat saya bekerja. Siapa tahu akan bisa memancing mereka turut berefleksi juga. Roy Murtadho, yang padahal masih muda, sempat mengeluh betapa ia tidak paham dengan gaya bicara alay generasi baru beserta berbagai ornamen kata-katanya.

Apakah mereka-mereka ini yang disebut Alay? Rasanya kok tidak semua, karena ke-alay-an itu sepertinya hanya ciri khas anak-anak kota besar industri, khususnya Jakarta. Kalau daerah, apalagi di luar Jawa, kita tidak temukan ke-alay-an serupa kota, tetapi wolesnya bisa sama: tak mau mendalam, instan, pikirannya pendek-pendek dan sederhana, gampang galau, tak bisa diskusi terlalu panjang dan ruwet, tak bisa lepas matanya dari gawai, dsb. Sebagian mereka yang bergabung ke habitat aktivisme mulai mengisi kewolesannya itu dengan politik, seperti Indah dkk di Pamflet, juga kawan-kawan muda di sekitar habitat saya, Perempuan Mahardhika.

Karena habitat saya ada di sektor-sektor dengan aktivisme radikal, biasanya di tahap awal, politik para aktivisnya lebih banyak berisi slogan dan jargon ketimbang artikulasi kompleks riil politik dan kampanye-kampanyenya. Wajar, karena slogan dan jargon adalah pupuk pertama heroisme dan militansi. Selanjutnya, baru masuk ke pekerjaan yang lebih sulit: memahami kompleksitas realita dan membangun penyadaran kreatif atasnya. Sementara di habitat sektor-sektor tidak radikal dan menengah, slogan juga ada, namun diolah lebih ringan, bertahap dan hampir-hampir tidak politis. Entah kenapa, saya pikir hal-hal ringan semacam ini juga memberi pengaruh pada level heroisme dan militansi—semakin radikal slogan semakin terasa heroik walau tidak berarti makin militan. Seperti juga ketiadaan jaminan bahwa heroisme dan militansi yang dikenalkan oleh arena yang lebih radikal mampu membuat para aktivisnya, dalam jangka waktu panjang, lebih militan dibanding arena yang tidak radikal.

Apa kurang heroik dan militan generasi anti kediktatoran pada masanya hingga, entah bagaimana, menghantarkan sebagian mereka ikut jadi penjahat politik di masa sekarang?

Hambatan objektif

Perlukah jembatan antar generasi ini dibangun? Perlu. Karena kadang kita hanya butuh kenal dan mungkin sedikit berkawan hingga bisa menyamakan bahasa dan saling mengerti titik berangkat masing-masing, sebelum yang lain-lain. Dan proses ini tidak bisa dibangun di dalam ruang maya. Ruang yang paling memungkinkan bertemu biasanya ada di ruang aksi. Dan sayangnya, arena aksi-aksi yang diikuti oleh sebagian wakil-wakil generasi ini juga, dalam banyak contoh, tidak sama. Aksi Kamisan adalah jembatan paling memadai, sejauh ini, untuk mempertemukan mereka. Namun masih belum cukup.

Masalah aktivisme kita hari ini, menurut saya, bersumber pada dua hal objektif: pertama, ketidakmampuan (juga kegagalan) generasi aktivisme kiri, khususnya yang muncul dari generasi heroik-militan, membangun alternatif kekuatan politik anti kapitalisme yang riil. Perpecahan lebih banyak terjadi ketimbang uji-uji penyatuan kekuatan. Sementara seruan persatuan tetap lebih banyak padahal barisan baru saja terpecah belah. Lebih gampang menyerukan persatuan ke luar ketimbang berefleksi persatuan ke dalam. Sehingga generasi baru tidak sedang terbantu tumbuh ketertarikannya, hingga tumbuh kepercayaannya, pada seruan-seruan kiri. Kita terlalu pandai menggurui ketika barisan kita justru semakin melemah.

Kedua, kemenangan idelogi neoliberalisme khususnya di era pasca kediktatoran. Neoliberalisme, tak saja sukses memiskinkan, tetapi lebih sukses lagi menjadi perangkat ideologi yang memprivatisasi seluruh aspek kehidupan dan mencacah-cacah kesadaran sambil memabukkan. Kita dipaksa mengurus urusan kita sendiri-sendiri, bersaing di hadapan pasar dengan meningkatkan kapasitas diri (yang padahal sambil terus dihancurkan). Waktu bertemu muka, kecuali pengangguran, semakin sedikit. Buruh-buruh muda belum menikah disibukkan kerja lembur untuk bayar cicilan motor atau sekadar bayar utang ke rentenir, yang jumlahnya tak jarang sudah tak rasional untuk bisa dibayar dengan kerja 24 jam setiap hari. Anak-anak muda yang masih kuliah disibukkan tugas kuliah yang tidak masuk akal banyaknya dan belum tentu berguna, di tengah iklim akademik yang tidak menggairahkan. Dakwah-dakwah agama makin menjauhkan kita dari satu sama lain sambil seakan-akan membawa kita dekat dengan Tuhan.

Logika projek ‘demokratisasi’ lembaga donor juga berputar pada pesan ini: membuat rakyat menerima dan mamanajemen problem penderitaan sosialnya (baca: jangan buat rakyat marah) dan melokalisir persoalan itu pada lokus reformasi institusi yang sudah ada: menjauhkan rakyat dari revolusi sosial. Membuat para aktivisnya merasa sudah berbuat banyak hanya dengan pekerjaan-pekerjaan administratif seperti menyusun proposal, membuat laporan tandingan, atau sekadar klik petisi, dan sejenisnya. Semakin lama kita lihat bahwa pekerjaan di lembaga swadaya masyarakat (NGO) menjadi lapangan kerja tersendiri yang, sebenarnya, memang diorganisasikan sedemikian rupa sebagai kompleks industri non-profit yang, ironisnya, mendulang profit.

Reformasi institusi ini bukannya pekerjaan tidak penting. Di negeri luar biasa korup dengan birokrasi luar biasa tidak efisien seperti kita saat ini, semua upaya memprofesionalkan institusi dan membuatnya akuntabel pada rakyat adalah pekerjaan penting. Namun pekerjaan itu bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana untuk: mendistribusikan pendapatan nasional dan sumber daya pada seluruh rakyat dengan setara. Bukan agenda ‘projek demokratisasi’ yang semuanya salah, tetapi cara projek tersebut menumpulkan kekuatan massa, publik, dan menyerahkannya ke hadapan institusi negara lah yang merugikan. Rakyat kemudian hanya menjadi objek dan bukan subjek kekuasaan.

Impresario Aktivisme

Hambatan objektif ini bukan takdir yang tak bisa diubah. Hambatan tersebut adalah titik berangkat yang penting kita mengerti, agar antara keinginan dengan kenyataan tidak tertukar.

Temu pembaca dan penulis IndoPROGRESS saya pikir bisa menjadi semacam impresario aktivisme yang dimaksud Yosie. Pembaca dan penulis ini datang dari berbagai latar belakang, organisasi-komunitas dan pengalaman aktivisme. Betapa kayanya pembicaraan yang bisa dihasilkan. Tentu tetap saja ada yang sensi, karena penggunaan nama penyelenggara tertentu saja sudah bisa membuat kelompok tertentu tidak mau hadir. Hfff… penyakit ini memang epidemi, karena belum ada obatnya dan berkembang terus jenis-jenisnya di dalam semua sejarah perjuangan kelas modern, di semua tempat. Pencegahannya hanya dibiarkan saja, karena penyakit jenis ini makin diobati makin menjadi. Kita bergerak selalu dari yang mau, bukan galau memikirkan yang tidak mau. Yang tidak mau akan ikut kemudian jika aktivitas bersama ini berhasil menjadi daya tarik dan menghimpun banyak kekuatan.

Sehingga, yang kita butuhkan saat ini sepertinya semacam venue, ajang, dimana setidaknya, di tahap awal, diskusi dan kenalan bisa membuat perhatian kita semua ada pada masalah bersama, bukan pada masalah yang diada-adakan dan disama-samakan. Di ajang ini memungkinkan pertemuan lintas generasi, membuat Eko bisa ketemu Yosie tanpa perlu keduanya menyetujui bangun koperasi atau tidak, membuat Ken bisa bertemu penyiar Marsinah FM bernama Thin Koesna yang akan menjelaskan pikiran-pikirannya dengan bahasa sederhana dan mengajari Ken tentang perjuangan hak-hak pekerja LBT. Membuat Roy Murtadho berdiskusi khusuk tentang Islam dan sosialisme dengan AE. Priyono dan mugkin akan menerbitkan koran Islam-Kiri Res-Publica sebagai tandingan Republika. Dan yang tak kalah seru, mungkin bisa membuat Ted Sprague dan Coen Husain Pontoh pulang ke Indonesia dan mulai menjajal kemungkinan produksi Harian Indo-Marxis Progresif Militan.

Sepertinya terdengar bercanda. Tetapi ketika di dalam cakrawala canda saja tidak terpikir, bagaimana bisa membayangkan revolusi, apalagi sosialisme, ada di Indonesia, selain jadi ironi di sablon-sablon baju, tulisan di buku-buku atau pernyataan sikap dan program-program politik belaka? Apalagi membayangkan bisa mengalahkan Jokowi dan membuat pemerintahan revolusioner sepenuhnya?

Kita semua sedang berada dalam pusaran masalah besar, jauh lebih besar daripada masalah kita sendiri di organisasi sendiri. Dan di dalam pusaran masalah itu, masalah-masalah di habitat kiri, dimana saya berasal, juga tak kurang peliknya—apalagi banyak masalah yang dipelik-pelikkan, dibesar-besarkan, dipenting-pentingkan, hingga membuat masalah bersama yang jauh lebih besar jadi tidak tampak. Apakah habitat saya itu? Ada Politik Rakyat yang saya dukung, ada PRP, KPO-PRP, PPR, PPI, ada organisasi rakyat seperti serikat-serikat buruh kiri, organisasi mahasiswa kiri, organ tani kiri, ada militan Indonesia kiri. Sementara di seberang sana—karena jarang ketemu di arena kiri satunya—ada juga berdikarionline dan PRD, dan seterusnya dan seterusnya. Yang pasti, tidak lagi banyak diketahui oleh generasi masa kini.

Saya sebetulnya tidak mengerti bagaimana mungkin sebagian habitat saya ini bisa lebih fasih bicara perbedaan dan kritik ketimbang membangun sesuatu bersama? Dan kalaupun hendak membangun sesuatu bersama, tawaran dari salah satu kelompok di antara kami sudah terasa ‘anyep’ duluan bagi kelompok yang lain. Sederhana saja, menurut saya, sebabnya (sebelum soal apakah tawarannya relevan atau tidak): karena kami semua masih berada di lingkaran dan tradisi serupa, yang tak sedikit membawa warisan konflik-konflik sejarah yang tak semuanya penting, tapi begitu menghambat kerja-kerja bersama. Tema ini juga akan jadi refleksi aktivisme saya berikutnya, yang sepertinya akan beresiko membosankan pembaca.

Oleh sebab itulah, sementara ini, kesimpulan saya adalah ajang atau venue lain dibutuhkan, oleh inisiatif orang-orang/kelompok/komunitas yang tidak disangka-sangka. Venue ini masih jauh dari keinginan dan kebutuhan besar punya alat politik bersama—tunggu dan lihat saja lah. Ken Loach, sutradara kiri penting di Inggris, pernah meluncurkan seruan dan ajakan untuk membangun dan bergabung ke dalam Left Unity—seruan yang tidak datang dari organsasi kiri tradisional Inggris yang juga banyak berantemnya.

Kawan-kawan di IndoPROGRESS dan di Islambergerak punya kapasitas membangun venue ini, saya rasa—dibantu oleh tim kreatif kiri atau yang agak ke kiri yang bisa mereka himpun. Alasannya, karena tingkat keragaman para kontributor dan aktivis-aktvisnya adalah aset. Entah bagaimana jadinya nanti, saya tidak tidak tahu, yang penting politik kiri tidak anyep seperti sekarang ini.

Sepertinya kedengeran ngenes, di tengah persoalan ekonomi, politik dan sosial yang makin mendesak dan bikin nyesek, respon bersamanya kenapa tidak bisa cepat. Itulah bagian dari kenyataan, ternyata kita bukan pahlawan, kiri bukan pahlawan. Kita belum bisa punya solusi cepat jangka pendek untuk mengatasi lambatnya perbesaran perimbangan kekuatan melawan kapitalisme. Masing-masing kiri hanya bisa berencana, tapi keberhasilan dan kredibilitas solusi hanya bisa dimenangkan dari sejauh mana dukungan publik dan kerja bersama kelompok-kelompok dan orang-orang yang bersetuju.

Tetapi syukurlah, satu hal yang melegakan. Sengenes apapun situasi politik-kiri saat ini, perjuangan rakyat biasa, yang tidak kalah kirinya, tidak berhenti hanya karena problem-problem di kalangan aktivis kirinya saat ini.

‘memahami “kiri” sebagai semua kekuatan yang berdiri melawan sistem kapitalisme beserta logika mencari-laba (profit-driven) yang diusungnya, dan yang memperjuangkan sebuah masyarakat alternatif berdasarkan humanisme dan solidaritas, yang dibangun di atas kepentingan kelas pekerja. … Maka dari itu, kaum kiri tidak bisa direduksi sebatas mereka yang tergabung dalam partai-partai atau organisasi politik kiri; mereka juga mencakup aktor-aktor sosial dan gerakan-gerakan sosial.’

(Martha Harnecker—Ideas for Struggle)

Semoga kita dijauhkan dari perasaan dan prasangka paling kiri. Amien. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar