Sengketa
Jurnalistik dan Konsistensi Polisi
Agus Sudibyo ; Redaktur Pelaksana ”Jurnal Prisma”
|
KOMPAS,
17 Maret 2015
Kriminalisasi
terhadap pers masih menjadi masalah nyata di Indonesia hingga saat ini. Entah
karena ketidaktahuan atau karena kesengajaan, beberapa pihak masih menggugat
perusahaan pers atau wartawan ke polisi untuk urusan pemberitaan yang
dianggap merugikan.
Kasus
terakhir yang menyita perhatian publik adalah gugatan terhadap majalah Tempo
karena pemberitaan tentang rekening gendut perwira Polri. Wartawan Tempo
dianggap telah membocorkan rahasia bank.
Urusan
jurnalistik diselesaikan secara jurnalistik. Sengketa pers diselesaikan
berdasarkan UU Pers. Prinsip inilah yang semestinya menjadi titik tolak
dalammenangani kasus pemberitaan pers tentang rekening gendut perwira Polri.
Kasus ini jelas kasus jurnalistik karena murni tentang bagaimana pers
memberitakan suatu masalah publik.
Bisa
saja media melakukan kesalahan di sini. Namun, kesalahan itu berada dalam
koridor jurnalistik sehingga tidak dapat dipidanakan secara langsung
menggunakan undang-undang lain di luar UU Pers. Kesalahan jurnalistik harus
diselesaikan berdasarkan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Pers dan
Peraturan Dewan Pers.
Nota kesepahaman
Penanganan
gugatan hukum terhadap majalah Tempo menunjukkan irisan otoritas Dewan Pers
dan polisi dalam menangani sengketa pers. Oleh karena itu, semestinya
titik-tolaknya adalah nota kesepahaman yang ditandatangani kedua pihak
Februari 2012. Nota kesepahaman ini secara khusus mengatur mekanisme
koordinasi antara Dewan Pers dan polisi terkait dengan pengaduan tentang pers
yang diterima oleh polisi.
Jika
polisi menerima pengaduan langsung tentang pers, polisi akan terlebih dahulu
meminta Dewan Pers menilai apakah pengaduan itu tentang perkara jurnalistik
atau non-jurnalistik. Jika pengaduan tersebut tentang perkara jurnalistik,
penyelesaiannya akan diserahkan kepada Dewan Pers. Sebaliknya, jika pengaduan
itu ternyata tentang perkara non-jurnalistik, penyelesaiannya diserahkan kepada
polisi.
Dalam
konteks ini, kasus pemberitaan majalah Tempo
tentang rekening gendut perwira Polri sekali
lagi adalah perkara jurnalistik sehingga
penyelesaiannya menjadi otoritas Dewan Pers.
Bagaimana
Dewan Pers menyelesaikannya? Dewan pers memeriksa kemungkinan terjadinya
pelanggaran kode etik jurnalistik. Pelanggaran itu bisa terjadi pada dua
level: perilaku jurnalistik (perilaku dan tindakan wartawan ketika melakukan
liputan) dan produk jurnalistik (umumnya berita). Setelah memintaklarifikasi
media dan pihak yang diberitakan, Dewan Pers kemudian membuat keputusan
tentang pelanggaran kode etik jurnalistik.
Jika
tidak ada pelanggaran kode etik jurnalistik, tidak ada konsekuensi apa pun
yang harus ditanggung institusi media atau wartawan. Jika ada pelanggaran
kode etik jurnalistik dalam pemberitaan, media wajib memuat hak jawab secara
proporsional sebagaimana telah diatur dalam peraturan Dewan Pers tentang hak
jawab. Jika pelanggaran kode etik jurnalistik itu diwarnai dengan pemuatan
opini yang menghakimi, hak jawab harus disertai dengan permintaan maaf kepada
pihak yang terhakimi dan kepada masyarakat khalayak media.
Jika
terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik terkait dengan perilaku wartawan,
Dewan Pers memberikan rekomendasi sanksi untuk dijalankan perusahaan media
atau asosiasi wartawan tempat si wartawanbernaung.
Dalam
kasus pemberitaan tentang rekening gendut perwira Polri, perlu dibedakan
antara tanggung jawab institusi pers dan tanggung jawab personal wartawan.
Untuk produk jurnalistik yang telah dipublikasikan secara terbuka, secara
institusional yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi, bukan lagi
wartawan yang melakukan liputan.Sementara terkait dengan perilaku dan
tindakan wartawan ketika melakukan liputan, merupakan tanggung jawab personal
wartawan sekaligus perusahaan media karena wartawan melakukan liputan juga
atas nama medianya.
Pemidanaan terhadap pers
Penyelesaian
secara jurnalistik mungkin saja tidak menyelesaikan masalah. Ada beberapa
kemungkinan di sini:(1) institusi media tidak melaksanakan hak jawab
sebagaimana telah diputuskan Dewan Pers, (2) institusi media mengulangi
pelanggaran kode etik jurnalistik serupa kepada pihak yang sama dalam
pemberitaan berikutnya setelah pemuatan hak jawab sebagaimana telah diputuskan
oleh Dewan Pers, (3) institusi media bersedia memuat hak jawab, tetapi pihak
pengadu tidak puas dan memutuskan menempuh jalur hukum.
Jika
dua kemungkinan pertama yang terjadi, dapat disimpulkan institusi media tak
memiliki itikad baik untuk menegakkan kode etik jurnalistik dan UU Pers. Oleh
karena itu, Dewan Pers tak akan menghalangi upaya pihak-pihak yang dirugikan
untuk menempuh jalur hukum.
Perlu
ditegaskan, untuk menangani kasus seperti ini, polisi atau pengadilan harus
merujuk kepada UU Pers. Penegak hukum harus memastikan, sebelum menempuh
jalur hukum, pengadu telah terlebih dahulu menempuh prosedur baku
penyelesaian secara jurnalistik: hak jawab, hak koreksi, dan pengaduan ke
Dewan Pers. Oleh karena itu, koordinasi dan konsultasi dengan Dewan Pers pada
fase ini mutlak dibutuhkan.
Sebaliknya,
jika kemungkinan ketiga yang terjadi, Dewan Pers akan melindungi dan
mendampingi institusi media menghadapi gugatan hukum yang diajukan pihak
pengadu. Dewan Pers punya kewajiban melindungi institusi media yang mempunyai
itikad baik melaksanakan kode etik jurnalistik dan UU Pers.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa pers tidak kebal hukum. Pers dapat
dipidanakan sejauh dilakukan berdasarkan ketentuan UU Pers. Yang perlu
dihindari adalah pemidanaan terhadap pers berdasarkan UU yang lain tanpa
mengindahkan UU Pers dan otoritas Dewan Pers. Keputusan polisi meminta
pendapat Dewan Pers dalam kasus majalah Tempo adalah keputusan tepat.
Selanjutnya, yang dibutuhkan adalah konsistensi polisi untuk memberikan
kesempatan kepada Dewan Pers guna menyelesaikan masalah ini.
Beda
urusannya jika masalahnya adalah wartawan merugikan pihak lain di luar
pekerjaannya sebagai wartawan, misalnya wartawan melakukan penipuan,
pemerasan, atau terlibat sengketa hukum dengan pihak lain. Kasus seperti
initidak relevan untuk ditangani dengan UU Pers meskipun pelakunya adalah
wartawan. Wartawan di sini adalah warga negara biasa yang harus diperlakukan
sama dengan warga negara yang lain. Menjadi otoritas kepolisian untuk
menangani kasus seperti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar