Pendidikan
Seks dan Keragaman Budaya
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2015
BUKAN kehidupan namanya
jika tidak ada pro dan kontra terhadap suatu masalah yang berkembang dan
terjadi di tengah masyarakat. Itu, misalnya saja, tentang fenomena kehidupan
seks remaja yang diduga semakin liar dan memerlukan intervensi yang solutif
dari dunia pendidikan. Beragam pendapat dan argumen tentang bagaimana
pendidikan seks diperkenalkan kepada para remaja usia sekolah menengah hingga
saat ini masih dianggap belum menemukan jalan keluar dan kesepakatan yang
memadai tentangnya.
Padahal, jika kita lihat
berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan reproduksi yang ditandatangani
184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks
bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan
tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual
dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi
para remaja. Dalam konteks ini kita perlu menimbang peran sekolah dalam
memberikan informasi tentang perilaku seksual secara memadai melalui sebuah
pendekatan yang relevan bagi tujuan proses belajar-mengajar.
Bagaimana
memulainya?
Dalam buku Politics, Language, and Culture: A
Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) mengajukan pertanyaan
menarik tentang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. “Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara
melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu ras, bahasa,
dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?”
Pertanyaan
sangat serius ini mengundang kita untuk menjawab bahwa tidak mungkin rasanya
kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi,
akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah.
Ketimpangan-ketimpangan itu, salah satunya, dapat diatasi dengan agenda
keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Ronal
Ferguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya
terhadap prestasi dan pemahaman anak di sekolah, terutama menyangkut sikap
dan perilaku siswa dalam memandang perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan
seksual pria dan wanita.
Selain kebutuhan
instinktif dari siswa dalam memandang perbedaan, memasukkan agenda pendidikan
seks dengan kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan
meminimalkan pemahaman siswa terhadap persepsi seks itu sendiri. Selain itu,
alasan lainnya mengapa kita membutuhkan muatan keragaman budaya dan etnik
dalam memperkenalkan pendidikan seks ialah untuk mengubah dan menambah
respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan
etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya. Melalui
pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru
terhadap siswa juga akan berbeda, dan hal tersebut dengan sendirinya akan
membantu siswa dalam mengaksentuasinya keragaman budaya di lingkungan sekolah
(Gordy & Pritchard, 1995).
Mendiskusikan perihal seks
ke dalam diskursus keragaman budaya dan etnik pasti akan jauh lebih menarik
ketimbang memberikan para siswa kita dengan pendekatan biologis semata.
Penting untuk memberikan persepsi kepada para siswa kita tentang makna
perbedaan jenis kelamin dalam bingkai budaya dan agama agar tumbuh rasa
hormat terhadap lawan jenis. Perilaku menghormati secara budaya tentu akan
berimplikasi terhadap cara pandang dan cara berperilaku siswa terhadap lawan
jenis masing-masing. Elaborasi terhadap keragaman secara budaya dengan
demikian menjadi dasar yang diperlukan bukan hanya untuk pendidikan seks,
melainkan juga untuk semua jenis keilmuan yang ingin diajarkan kepada siswa.
Pendekatan keragaman
budaya juga dimaksudkan agar tidak muncul salah pengertian dari masyarakat
terhadap pendidikan seks. Kemasan pendidikan seks melalui pendekatan
keragaman budaya akan memudahkan siswa dan guru merasa nyaman untuk berbicara
hal-hal yang sensitif tetapi penuh dengan rasa hormat. Selain itu, masyarakat
perlu tahu bahwa memberikan pendidikan seks tidak dilakukan dengan
sembarangan. Akan tetapi, kemasannya juga berusaha disesuaikan dengan usia
dan perkembangan si anak. Dengan memakai bahasa yang komunikatif dan
dijauhkan dari kesan vulgar, pendekatan keragaman budaya diharapkan dapat
memberi rasa nyaman siswa, guru, dan orangtua sekaligus.
Jika kita mampu merumuskan
pendekatan ini secara lebih konkret, akan banyak riset di sekitar ragam
budaya dan kaitannya dengan pendidikan seks, seperti bagaimana mengaitkan
nilai-nilai dari budaya tertentu dengan proses-proses reproduksi, serta
bagaimana mereka harus menjaga kesehatan alat reproduksinya, bagaimana
menyikapi tanda-tanda kedewasaan yang dialami, mulai makna mimpi basah bagi
pelajar laki-laki, menstruasi yang dialami perempuan, penyakit kelamin yang
bisa saja muncul, hingga bagaimana mengantisipasinya serta berbagai
permasalahan lainnya.
Realitas menunjukkan
kebanyakan remaja yang terjerumus pada perilaku seks tidak sehat ataupun
menyimpang justru disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang hal itu.
Dengan pendekatan ragam budaya, para siswa dan guru diharapkan dapat lebih
mudah mendiskusikan masalah seks secara terbuka dan bertanggung jawab agar
mereka tidak terjerumus ke dalam perilaku seks yang salah dan memberi efek
buruk.
Pendidikan seks dengan
pendekatan keragaman budaya diharapkan dapat mengembangkan aspek afeksi siswa
ke arah yang lebih positif dan jernih dalam melihat persoalan seksual. Selain
itu, pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan sikap siswa, guru, dan
orangtua yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami
perbedaan ideologi dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya
dan agama). Semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai
sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat. Agen pertama yang akan
menyampaikan paham dan ideologi keragaman budaya itu ialah para guru yang
lebih dapat mengerti aspek kebutuhan pedagogis dalam mengajar. Artinya,
tanggung jawab dan respons guru secara budaya juga akan memperkuat proses
pemahaman siswa mengenai pentingnya pengetahuan tentang seks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar