Selasa, 17 Maret 2015

Pendidikan Seks dan Keragaman Budaya

Pendidikan Seks dan Keragaman Budaya

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BUKAN kehidupan namanya jika tidak ada pro dan kontra terhadap suatu masalah yang berkembang dan terjadi di tengah masyarakat. Itu, misalnya saja, tentang fenomena kehidupan seks remaja yang diduga semakin liar dan memerlukan intervensi yang solutif dari dunia pendidikan. Beragam pendapat dan argumen tentang bagaimana pendidikan seks diperkenalkan kepada para remaja usia sekolah menengah hingga saat ini masih dianggap belum menemukan jalan keluar dan kesepakatan yang memadai tentangnya.

Padahal, jika kita lihat berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan reproduksi yang ditandatangani 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja. Dalam konteks ini kita perlu menimbang peran sekolah dalam memberikan informasi tentang perilaku seksual secara memadai melalui sebuah pendekatan yang relevan bagi tujuan proses belajar-mengajar.

Bagaimana memulainya?

Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) mengajukan pertanyaan menarik tentang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. “Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu ras, bahasa, dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?” 

Pertanyaan sangat serius ini mengundang kita untuk menjawab bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah. Ketimpangan-ketimpangan itu, salah satunya, dapat diatasi dengan agenda keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Ronal Ferguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi dan pemahaman anak di sekolah, terutama menyangkut sikap dan perilaku siswa dalam memandang perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan seksual pria dan wanita.

Selain kebutuhan instinktif dari siswa dalam memandang perbedaan, memasukkan agenda pendidikan seks dengan kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan meminimalkan pemahaman siswa terhadap persepsi seks itu sendiri. Selain itu, alasan lainnya mengapa kita membutuhkan muatan keragaman budaya dan etnik dalam memperkenalkan pendidikan seks ialah untuk mengubah dan menambah respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya. Melalui pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru terhadap siswa juga akan berbeda, dan hal tersebut dengan sendirinya akan membantu siswa dalam mengaksentuasinya keragaman budaya di lingkungan sekolah (Gordy & Pritchard, 1995).

Mendiskusikan perihal seks ke dalam diskursus keragaman budaya dan etnik pasti akan jauh lebih menarik ketimbang memberikan para siswa kita dengan pendekatan biologis semata. Penting untuk memberikan persepsi kepada para siswa kita tentang makna perbedaan jenis kelamin dalam bingkai budaya dan agama agar tumbuh rasa hormat terhadap lawan jenis. Perilaku menghormati secara budaya tentu akan berimplikasi terhadap cara pandang dan cara berperilaku siswa terhadap lawan jenis masing-masing. Elaborasi terhadap keragaman secara budaya dengan demikian menjadi dasar yang diperlukan bukan hanya untuk pendidikan seks, melainkan juga untuk semua jenis keilmuan yang ingin diajarkan kepada siswa.

Pendekatan keragaman budaya juga dimaksudkan agar tidak muncul salah pengertian dari masyarakat terhadap pendidikan seks. Kemasan pendidikan seks melalui pendekatan keragaman budaya akan memudahkan siswa dan guru merasa nyaman untuk berbicara hal-hal yang sensitif tetapi penuh dengan rasa hormat. Selain itu, masyarakat perlu tahu bahwa memberikan pendidikan seks tidak dilakukan dengan sembarangan. Akan tetapi, kemasannya juga berusaha disesuaikan dengan usia dan perkembangan si anak. Dengan memakai bahasa yang komunikatif dan dijauhkan dari kesan vulgar, pendekatan keragaman budaya diharapkan dapat memberi rasa nyaman siswa, guru, dan orangtua sekaligus.

Jika kita mampu merumuskan pendekatan ini secara lebih konkret, akan banyak riset di sekitar ragam budaya dan kaitannya dengan pendidikan seks, seperti bagaimana mengaitkan nilai-nilai dari budaya tertentu dengan proses-proses reproduksi, serta bagaimana mereka harus menjaga kesehatan alat reproduksinya, bagaimana menyikapi tanda-tanda kedewasaan yang dialami, mulai makna mimpi basah bagi pelajar laki-laki, menstruasi yang dialami perempuan, penyakit kelamin yang bisa saja muncul, hingga bagaimana mengantisipasinya serta berbagai permasalahan lainnya.

Realitas menunjukkan kebanyakan remaja yang terjerumus pada perilaku seks tidak sehat ataupun menyimpang justru disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang hal itu. Dengan pendekatan ragam budaya, para siswa dan guru diharapkan dapat lebih mudah mendiskusikan masalah seks secara terbuka dan bertanggung jawab agar mereka tidak terjerumus ke dalam perilaku seks yang salah dan memberi efek buruk.

Pendidikan seks dengan pendekatan keragaman budaya diharapkan dapat mengembangkan aspek afeksi siswa ke arah yang lebih positif dan jernih dalam melihat persoalan seksual. Selain itu, pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan sikap siswa, guru, dan orangtua yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami perbedaan ideologi dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya dan agama). Semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat. Agen pertama yang akan menyampaikan paham dan ideologi keragaman budaya itu ialah para guru yang lebih dapat mengerti aspek kebutuhan pedagogis dalam mengajar. Artinya, tanggung jawab dan respons guru secara budaya juga akan memperkuat proses pemahaman siswa mengenai pentingnya pengetahuan tentang seks. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar