Kisruh
Politik Parpol
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat International Institute
for Democracy and Electoral Assistance 2007-2010 dan
2010-2013
|
KOMPAS,
17 Maret 2015
Tak
ragu lagi, kisruh politik merupakan fenomena paling menonjol dan paling
mengganggu dalam bulan-bulan awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak
Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014, kegaduhan politik tidak pernah berhenti
dengan berbagai dampak negatif pada penyelenggaraan negara dan pembangunan.
Padahal,
sebagaimana disepakati para ahli ilmu politik, praktisi politik, dan
masyarakat sipil, adalah suatu kebajikan (virtues)
parpol jika ia dapat memelihara kestabilannya. Dengan stabilitasnya, parpol
sekaligus berbuat kebajikan utama selanjutnya, yaitu memberikan ketenangan
dan kemantapan bagi pemerintah menjalankan pemerintahan dan pembangunan.
Namun,
sejak pilpres sampai sekarang, kekisruhan politik menyangkut parpol tidak
mereda, tetapi terus berlanjut dengan gejala kian meningkat. Kegaduhan
politik ini jelas mengganggu konsolidasi politik dan demokrasi, serta
merupakan salah satu prasyarat politik penting bagi pemerintah untuk bisa
bekerja dengan baik.
Kekisruhan
politik terjadi pada beberapa tingkatan, mulai dari internal parpol hingga
koalisi parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yang berhadapan dengan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik pada kedua ranah politik itu pada
gilirannya juga berimbas pada level pemerintahan.
Bahkan,
menjelang Pemilu Presiden 2014, kekisruhan internal telah melanda Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar, yang bermula karena adanya
perbedaan sikap dalam memberikan dukungan kepada salah satu dari dua pasang
calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketua
Umum PPP Suryadharma Ali dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kala
itu, mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa lewat KMP. Namun, ada
elite di setiap partai itu yang ingin partainya mendukung Joko Widodo-Jusuf
Kalla.
Kegaduhan
politik dalam dua parpol tersebut kian meningkat ketika kedua belah pihak
yang bertentangan sikap politik itu saling memecat—sebuah ekspresi
otoritarianisme. Akibatnya, rekonsiliasi menjadi kian sulit. Ketika konflik
dibawa ke pengadilan, keputusan hakim pun tidak cukup memadai bagi resolusi
konflik di antara pihak-pihak yang bertikai di PPP dan Partai Golkar.
Publik
tampaknya mesti harus bersabar. Sementara kegaduhan Partai Golkar memasuki
episode baru dengan perolehan isyarat baik bagi kubu Agung Laksono, Partai
Amanat Nasional (PAN) yang baru menyelesaikan kongres di Bali awal Maret 2015
kini terlihat mulai terlanda friksi antara kubu Zulkifli Hasan yang menang
dan loyalis Hatta Rajasa.
Friksi
juga mulai terlihat di Partai Demokrat. Partai pimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono yang berencana menyelenggarakan kongres pada Mei 2015 ini mulai
terbelah antara kubu yang ingin Yudhoyono tetap menjadi ketua umum dan kubu
Forum Komunikasi dan Deklarasi Partai Demokrat yang menolak Yudhoyono kembali
memimpin partai.
Gejala
sama bukan tidak mungkin melanda parpol lain ketika nanti menyelenggarakan
kongres.
Mengamati
gejala dan ekspresi kegaduhan politik yang berketerusan, dengan memodifikasi
teori Benjamin Reilly dan Per Nordlund (2008), Indonesia tampaknya pas untuk
masuk ke dalam kategori states of
conflict-prone politics—negara yang rentan dengan konflik politik. Dengan
masuk kategori ini, Indonesia ”kian lengkap” karena sebelumnya sudah termasuk
kategori conflict-prone societies—masyarakat
yang rentan dengan konflik antarmasyarakat, antaretnis, dan antaragama.
Mengapa
Indonesia sangat rentan konflik politik? Pada satu segi disebabkan
konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Reformasi lembaga politik
seperti parpol telah berlangsung sejak 1998, tetapi reformasi budaya politik
tidak terjadi secara signifikan. Budaya politik lama semacam otoritarianisme
dan nepotisme politik terus bertahan dalam berbagai ekspresinya.
Dengan
demikian, budaya politik demokratis tidak sepenuhnya terwujud dalam parpol.
Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan
akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol sejak dari
tingkat pusat sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan ”dinasti”
pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan memanfaatkan pemilu.
Parpol
yang rawan konflik internal jelas tidak bisa dibiarkan berlanjut. Reformasi
kepartaian jilid dua sangat diperlukan agar demokrasi Indonesia dapat terus
terkonsolidasikan sehingga pemerintahan dapat berfungsi lebih efektif. Untuk
itu, parpol perlu membenahi kelembagaannya. Parpol tidak pernah bisa kuat
jika kalangan pemimpin dan anggota sering berganti parpol atau mendirikan
parpol baru karena tiadanya budaya politik dialog, toleransi, dan akomodasi.
Parpol perlu mengubah praktik politik yang lebih berdasarkan personal ”orang
kuat” daripada anggota dan masyarakat luas.
Tak
kurang pentingnya, parpol mesti terus merevitalisasi anggotanya; tidak
memerlukan anggota dan simpatisan hanya pada waktu pemilu/pilkada. Parpol
mesti dapat menampilkan orientasi pada kebajikan publik dengan meninggalkan
pragmatisme dan oportunisme politik yang bernyala-nyala. Dengan begitu,
parpol dapat menampilkan organisasi, ideologi, dan orientasi politik
kerakyatan, serta kebajikan publik yang solid. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar