Negara
dan Keuangan Partai
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Nasional Perhimpunan
Pergerakan Indonesia
|
REPUBLIKA,
16 Maret 2015
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melontarkan gagasan pembiayaan partai dari
keuangan negara. Meski gagasan ini tidaklah baru dan bahkan sudah diatur
dalam undang-undang tentang partai politik, lontaran Mendagri itu mendapat
berbagai reaksi dan tanggapan. Boleh jadi, faktornya angka Rp 1 triliun
setahun untuk setiap partai, angka yang dinilai superjumbo, jadi dianggap
mengejutkan.
Elite
partai segera merespons positif. Berbagai alasan dan argumentasi
dikedepankan. Di lain pihak, ada kritik dari kalangan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang membangun argumentasi terutama dari realitas kehidupan
partai-partai yang belum berwajah indah, termasuk dalam tingkat akuntabilitas
keuangan. Tentu debat dan kontestasi gagasan ihwal ini lazim dan sehat dalam
perspektif demokrasi.
Adalah
Tim Revisi Paket UU Politik tahun 1998 (Tim Tujuh) yang dipimpin Dr Ryaas
Rasyid yang mengintroduksi gagasan dan ketentuan tentang bantuan anggaran
negara kepada partai politik. Dalam diskusi di Tim tentang reformasi politik
dan pembukaan keran demokrasi, yakni kebebasan warga negara untuk mendirikan
partai politik, masalahnya tidak hanya terhenti pada bagaimana partai dapat
didirikan.
Yang
lebih penting bagaimana partai-partai dapat menjalankan peran dan fungsinya
sebagai tenaga utama demokrasi. Maka, tersebutlah pula pertanyaan dari mana
partai dapat membiayai operasional dan kegiatannya?
Pertanyaan
itu dijawab, ada tiga jalur sumber pendanaan partai, yakni kekuatan internal,
partisipasi masyarakat, dan negara. Bentuknya berupa iuran anggota, sumbangan
perorangan atau korporasi, dan bantuan dari anggaran negara. Disadari iuran
anggota bukan sumber yang mencukupi. Sulit dibayangkan ada partai yang
sanggup bergerak dan berkegiatan hanya dengan mengandalkan iuran anggota.
Dibutuhkan
juga sumbangan masyarakat sebagai bentuk partisipasi. Wujud partisipasi
politik tidak saja terbatas pada melibatkan diri dalam kegiatan partai dan
mendukung saat pemilu, tetapi juga bisa berbentuk sumbangan keuangan, bahkan
juga dalam bentuk "natura". Sumbangan juga relevan karena partai
bukan entitas bisnis, badan usaha, atau pihak yang dapat memiliki saham di
perusahaan.
Namun,
agar kompetisi antarpartai tetap menjadi kompetisi politik dan tidak berubah
menjadi kontestasi kapital maka jumlah sumbangan dibatasi. Ada batas maksimal
bagi perorangan atau korporasi. Pembatasan itu juga agar partai tidak
dikuasai oleh penyumbang atau donor tertentu.
Jika
masyarakat dapat memberi sumbangan, lalu di mana posisi negara? Mengapa
partai mendapatkan bantuan dana dari negara? Di dalam sistem demokrasi,
partai adalah salah satu pilar penting. Tidak ada demokrasi tanpa kehadiran
partai. Tidak hadir demokrasi yang kuat tanpa eksistensi partai yang sehat
dan bertenaga. Partai-partai yang hidup dan bekerja fungsional adalah
keniscayaan bagi negara demokrasi.
Karena
itulah negara berkepentingan dan sekaligus bertanggung jawab mengembangkan
sistem kepartaian yang produktif dan menghasilkan partai yang hadir, kuat,
dan cakap menjalankan peran dan fungsinya. Ketika negara demokrasi
menghajatkan pemerintahan demokratis maka tak terelakkan kebutuhan akan
hadirnya partai yang sanggup menyangga dan menggerakkan pemerintahan
demokratis.
Sebagai
unsur penting pemerintahan demokratis, partai-partai adalah "anak
kandung" negara. Logis ketika negara bertanggung jawab atas kesehatan
dan kemampuan "anaknya" untuk berperan sesuai panggilan tugasnya dalam
sistem demokratis.
Bantuan
anggaran negara kepada partai adalah investasi negara di sektor publik negara
di sektor publik. Sama pentingnya dengan investasi negara di bidang ideologi,
ekonomi, kebudayaan, dan lainnya. Bantuan itu bukan terjemahan dari belas
kasihan karena partai-partai cekak kemampuan dananya, melainkan bentuk tugas
negara agar salah satu pilar penyangganya kuat dan tidak keropos.
Sebagai
ketentuan yang selama ini sudah dijalankan, perdebatannya terletak pada
sejauh mana negara harus mengambil tanggung jawab itu? Apakah berpola
maksimalis, di mana sebagian besar dana partai dicukupi negara; pola moderat
ketika bantuan negara dapat diandalkan untuk menutup sekitar setengah
kebutuhan partai; atau pola minimalis seperti yang selama ini telah berlaku?
Pascapemilu
1999, ketentuan UU No 2 Tahun 1999 yang menyangkut bantuan anggaran negara
kepada partai dilaksanakan pemerintah melalui peraturan pemerintah.
Ditetapkanlah dasarnya berupa perolehan suara pada pemilu legislatif, yakni
Rp 1.000 untuk setiap satu suara. Perolehan suara dinilai sebagai alat ukur
yang sahih, adil, dan akuntabel karena suara cermin dukungan rakyat kepada
partai politik.
Belakangan
diadakan perubahan. Pascapemilu 2009 nilai bantuan untuk setiap satu suara
menjadi hanya Rp 108. Jika dihitung, partai hanya mendapat bantuan Rp 21 juta
untuk setiap satu kursi DPR. Ketentuan ini berlaku sampai sekarang.
Berdasarkan formula ini, total bantuan APBN kepada partai yang lolos
threshold Pemilu 2014 adalah Rp 13,17 miliar. Angka yang terlalu kecil jika
dibandingkan kebutuhan dana partai.
Lalu,
bagaimana formula ke depan? Hemat saya, dasar jumlah perolehan suara pada
pemilu legislatif tetap bisa digunakan. Ketentuan penerima bantuan dibatasi
hanya partai yang lolos threshold juga masih relevan. Tentu tidak harus
langsung bicara angka jumbo Rp 1 triliun yang bikin kaget. Tapi nilai Rp
1.000, apalagi Rp 108 untuk satu suara juga perlu disesuaikan dengan
perkembangan ekonomi dan kebutuhan partai.
Yang
harus diputuskan secara politik oleh pemerintah dan DPR dengan
mempertimbangkan pendapat publik adalah pola bantuan itu maksimal, moderat,
atau minimal. Barulah bicara formulasi teknisnya, termasuk peruntukan,
hitung-hitungan, besaran, dan pertanggungjawabannya. Yang jelas, partai
politik harus makin semangat memperbaiki wajahnya di mata publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar