Selasa, 17 Maret 2015

Negara dan Keuangan Partai

Negara dan Keuangan Partai

Anas Urbaningrum  ;  Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
REPUBLIKA, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melontarkan gagasan pembiayaan partai dari keuangan negara. Meski gagasan ini tidaklah baru dan bahkan sudah diatur dalam undang-undang tentang partai politik, lontaran Mendagri itu mendapat berbagai reaksi dan tanggapan. Boleh jadi, faktornya angka Rp 1 triliun setahun untuk setiap partai, angka yang dinilai superjumbo, jadi dianggap mengejutkan.

Elite partai segera merespons positif. Berbagai alasan dan argumentasi dikedepankan. Di lain pihak, ada kritik dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membangun argumentasi terutama dari realitas kehidupan partai-partai yang belum berwajah indah, termasuk dalam tingkat akuntabilitas keuangan. Tentu debat dan kontestasi gagasan ihwal ini lazim dan sehat dalam perspektif demokrasi.

Adalah Tim Revisi Paket UU Politik tahun 1998 (Tim Tujuh) yang dipimpin Dr Ryaas Rasyid yang mengintroduksi gagasan dan ketentuan tentang bantuan anggaran negara kepada partai politik. Dalam diskusi di Tim tentang reformasi politik dan pembukaan keran demokrasi, yakni kebebasan warga negara untuk mendirikan partai politik, masalahnya tidak hanya terhenti pada bagaimana partai dapat didirikan.

Yang lebih penting bagaimana partai-partai dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga utama demokrasi. Maka, tersebutlah pula pertanyaan dari mana partai dapat membiayai operasional dan kegiatannya?

Pertanyaan itu dijawab, ada tiga jalur sumber pendanaan partai, yakni kekuatan internal, partisipasi masyarakat, dan negara. Bentuknya berupa iuran anggota, sumbangan perorangan atau korporasi, dan bantuan dari anggaran negara. Disadari iuran anggota bukan sumber yang mencukupi. Sulit dibayangkan ada partai yang sanggup bergerak dan berkegiatan hanya dengan mengandalkan iuran anggota.

Dibutuhkan juga sumbangan masyarakat sebagai bentuk partisipasi. Wujud partisipasi politik tidak saja terbatas pada melibatkan diri dalam kegiatan partai dan mendukung saat pemilu, tetapi juga bisa berbentuk sumbangan keuangan, bahkan juga dalam bentuk "natura". Sumbangan juga relevan karena partai bukan entitas bisnis, badan usaha, atau pihak yang dapat memiliki saham di perusahaan.

Namun, agar kompetisi antarpartai tetap menjadi kompetisi politik dan tidak berubah menjadi kontestasi kapital maka jumlah sumbangan dibatasi. Ada batas maksimal bagi perorangan atau korporasi. Pembatasan itu juga agar partai tidak dikuasai oleh penyumbang atau donor tertentu.

Jika masyarakat dapat memberi sumbangan, lalu di mana posisi negara? Mengapa partai mendapatkan bantuan dana dari negara? Di dalam sistem demokrasi, partai adalah salah satu pilar penting. Tidak ada demokrasi tanpa kehadiran partai. Tidak hadir demokrasi yang kuat tanpa eksistensi partai yang sehat dan bertenaga. Partai-partai yang hidup dan bekerja fungsional adalah keniscayaan bagi negara demokrasi.

Karena itulah negara berkepentingan dan sekaligus bertanggung jawab mengembangkan sistem kepartaian yang produktif dan menghasilkan partai yang hadir, kuat, dan cakap menjalankan peran dan fungsinya. Ketika negara demokrasi menghajatkan pemerintahan demokratis maka tak terelakkan kebutuhan akan hadirnya partai yang sanggup menyangga dan menggerakkan pemerintahan demokratis.

Sebagai unsur penting pemerintahan demokratis, partai-partai adalah "anak kandung" negara. Logis ketika negara bertanggung jawab atas kesehatan dan kemampuan "anaknya" untuk berperan sesuai panggilan tugasnya dalam sistem demokratis.

Bantuan anggaran negara kepada partai adalah investasi negara di sektor publik negara di sektor publik. Sama pentingnya dengan investasi negara di bidang ideologi, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya. Bantuan itu bukan terjemahan dari belas kasihan karena partai-partai cekak kemampuan dananya, melainkan bentuk tugas negara agar salah satu pilar penyangganya kuat dan tidak keropos.

Sebagai ketentuan yang selama ini sudah dijalankan, perdebatannya terletak pada sejauh mana negara harus mengambil tanggung jawab itu? Apakah berpola maksimalis, di mana sebagian besar dana partai dicukupi negara; pola moderat ketika bantuan negara dapat diandalkan untuk menutup sekitar setengah kebutuhan partai; atau pola minimalis seperti yang selama ini telah berlaku?

Pascapemilu 1999, ketentuan UU No 2 Tahun 1999 yang menyangkut bantuan anggaran negara kepada partai dilaksanakan pemerintah melalui peraturan pemerintah. Ditetapkanlah dasarnya berupa perolehan suara pada pemilu legislatif, yakni Rp 1.000 untuk setiap satu suara. Perolehan suara dinilai sebagai alat ukur yang sahih, adil, dan akuntabel karena suara cermin dukungan rakyat kepada partai politik.

Belakangan diadakan perubahan. Pascapemilu 2009 nilai bantuan untuk setiap satu suara menjadi hanya Rp 108. Jika dihitung, partai hanya mendapat bantuan Rp 21 juta untuk setiap satu kursi DPR. Ketentuan ini berlaku sampai sekarang. Berdasarkan formula ini, total bantuan APBN kepada partai yang lolos threshold Pemilu 2014 adalah Rp 13,17 miliar. Angka yang terlalu kecil jika dibandingkan kebutuhan dana partai.

Lalu, bagaimana formula ke depan? Hemat saya, dasar jumlah perolehan suara pada pemilu legislatif tetap bisa digunakan. Ketentuan penerima bantuan dibatasi hanya partai yang lolos threshold juga masih relevan. Tentu tidak harus langsung bicara angka jumbo Rp 1 triliun yang bikin kaget. Tapi nilai Rp 1.000, apalagi Rp 108 untuk satu suara juga perlu disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan partai.

Yang harus diputuskan secara politik oleh pemerintah dan DPR dengan mempertimbangkan pendapat publik adalah pola bantuan itu maksimal, moderat, atau minimal. Barulah bicara formulasi teknisnya, termasuk peruntukan, hitung-hitungan, besaran, dan pertanggungjawabannya. Yang jelas, partai politik harus makin semangat memperbaiki wajahnya di mata publik. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar