Rabu, 11 Maret 2015

Seberkas Asa yang Sirna

Seberkas Asa yang Sirna

Tri Marhaeni P Astuti  ;  Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

APAKAH yang masih tersisa dari asa rakyat manakala disuguhi tontonan akrobat politik para penguasa? Tak ada. Tak ada lagi asa yang tersisa. Rakyat makin terluka, ketika sang pemimpin yang dijagokannya ternyata malah mengikis harapan yang semula menggumpal hebat.

Tidakkah disadari, beberapa pekan belakangan ini rakyat hanya bisa berasa miris dengan sikap dan keputusan-keputusan politik di luar akal sehat? Dan, si empunya kekuasaan nomor satu di negeri ini hanya menebar senyum ke sana kemari tanpa berpihak pada rakyat seperti janjinya saat kampanye.

Menyedihkan, tentu. Rasa keadilan serasa tercabik ketika harapan makin tegaknya hukum malah tergantikan oleh kenyataan hukum yang dipermain-mainkan. Asa dari Nawacita dalam kampanye sang Presiden tentang penguatan pemberantasan korupsi, perlahan-lahan menguap entah ke mana.

Perlahan Sirna

Masih sangat jelas menari-nari di benak setiap insan rakyat Indonesia, betapa semangat memiliki pemimpin baru, sosok harapan untuk mendekonstruksi corak kepemimpinan, akan membawa perubahan di negeri ini. Kegembiraan memilih Joko Widodo sebagai presiden dibarengi segudang harapan, mengekspresikan asa yang terpendam.

Betapa pendukung dari segala lapisan masyarakat bersatu padu mengusung Jokowi untuk menduduki kursi orang nomor satu. Tak jarang, demi memenangkan sang kandidat, pendukung rela melakukan pembelaan apa saja. Relawan adalah sebagian yang terekspose media.

Masih banyak: ribuan, bahkan jutaan yang tak terekspose tetapi dengan semangat luar biasa mendukung Jokowi. Tak sedikit di antara mereka rela bersitegang, gegeran dengan saudara, teman, sahabat, tetangga, demi membela keyakinan mengusung calon harapannya.
Sekarang ketika Jokowi sudah menjadi orang satu, para pendukung dengan penuh harap dan doa serta kerja sepenuh hati selalu siap mendukung dan melaksanakan kebijakannya. Wajah sumringah para pendukung itu berbalut semangat perubahan dengan slogan Indonesia Hebat, siap menunggu langkah nyata yang prorakyat.

Tetapi apa yang terjadi? Yang muncul justru kekecewaan demi kekecewaan. Ketika Jokowi menetapkan Kabinet Kerja, mulai ada sedikit kekecewaan, ketika ia memilih tim hukum yang ”jauh panggang dari api” untuk membela rakyat.

Sedikit terobati ketika di tengah kabinet masih ada contoh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan kiprah berbeda. Ya, asa masih tersisa. Ketika makin hari kebijakan elite makin jauh dari logika akal sehat rakyat, asa itu perlahan-lahan namun pasti mulai menipis.

Bagaimana tidak? Diawali kisruh Polri vs Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kemudian berujung pada kriminalisasi KPK dan para tokoh kritis. Tim Sembilan yang berisi para begawan dan pakar tak didengarkan. Rekomendasi lembaga sekualitas Komnas HAM dan Komisi Ombusdman juga dianggap angin lalu.

Harapan pun makin terkikis. Bisa dibayangkan betapa kecewa pendukung Jokowi. Bukankah pengorbanan mereka sangat besar, namun ternyata bertepuk sebelah tangan? Pendukung Jokowi hanya ingin balasan sikap ”pemimpin yang membela rakyat”, ”pemimpin yang berakal sehat dan berlogika seperti rakyat yang dipimpinnya”. Ternyata asa itu semakin berlalu seiring bergeraknya waktu.

Defisit Harapan

Apalagikah yang bisa kita tunggu dari kondisi seperti ini? Logika akal sehat rakyat, dalam sejumlah pemanggungan kekuasaan lewat aneka kriminalisasi, selalu dipatahkan dengan defensivitas para elite. Setiap institusi tempat rakyat bersandar harap, selalu dirontokkan dengan argumentasi dan tindakan yang menghancurkan institusi harapan rakyat itu. Para penggawa hukum yang harusnya melindungi dan membela rakyat justru meminggirkan rasa aman rakyat dengan model-model kriminalisasi.

Sementara lembaga-lembaga keadilan satu per satu dirontokkan, diberangus, dilemahkan, bahkan dihilangkan kewenangannya. Suara bening akademisi, yang ”digugat” oleh ’’Tajuk Rencana’’ (SM, 7/3/15), hakikatnya sudah terepresentasikan melalui Tim Sembilan dengan kehadiran negarawan seperti Ahmad Syafii Maarif, Jimly Ashshiddiqie, Imam B Prasodjo, hingga Hikmahanto Juwana.

Namun saya melihat, dorongan dari dunia kampus lewat tekanan-tekanan opini untuk menguatkan suara masyarakat sipil masih belum terkonsolidasi dengan baik. Penguatan kembali harapan rakyat, kita harapkan bisa tersemangati oleh kemauan akademisi untuk menggelorakan suara-suara jernih.

Kalau tekanan opini para begawan itu masih juga diabaikan, percayalah, kekuasaan hanya akan memancarkan energi negatif ketimbang sawab maslahatnya. Dan, jika Indonesia mengalami masa-masa gelap itu, apalagi yang tersisa? Tak ada, tak jua asa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar