Seberkas
Asa yang Sirna
Tri Marhaeni P Astuti ; Guru Besar
Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 10 Maret 2015
APAKAH yang masih tersisa dari asa rakyat manakala disuguhi
tontonan akrobat politik para penguasa? Tak ada. Tak ada lagi asa yang
tersisa. Rakyat makin terluka, ketika sang pemimpin yang dijagokannya
ternyata malah mengikis harapan yang semula menggumpal hebat.
Tidakkah disadari, beberapa pekan belakangan ini rakyat
hanya bisa berasa miris dengan sikap dan keputusan-keputusan politik di luar
akal sehat? Dan, si empunya kekuasaan nomor satu di negeri ini hanya menebar
senyum ke sana kemari tanpa berpihak pada rakyat seperti janjinya saat
kampanye.
Menyedihkan, tentu. Rasa keadilan serasa tercabik ketika
harapan makin tegaknya hukum malah tergantikan oleh kenyataan hukum yang
dipermain-mainkan. Asa dari Nawacita dalam kampanye sang Presiden tentang
penguatan pemberantasan korupsi, perlahan-lahan menguap entah ke mana.
Perlahan Sirna
Masih sangat jelas menari-nari di benak setiap insan
rakyat Indonesia, betapa semangat memiliki pemimpin baru, sosok harapan untuk
mendekonstruksi corak kepemimpinan, akan membawa perubahan di negeri ini.
Kegembiraan memilih Joko Widodo sebagai presiden dibarengi segudang harapan,
mengekspresikan asa yang terpendam.
Betapa pendukung dari segala lapisan masyarakat bersatu
padu mengusung Jokowi untuk menduduki kursi orang nomor satu. Tak jarang,
demi memenangkan sang kandidat, pendukung rela melakukan pembelaan apa saja.
Relawan adalah sebagian yang terekspose media.
Masih banyak: ribuan, bahkan jutaan yang tak terekspose
tetapi dengan semangat luar biasa mendukung Jokowi. Tak sedikit di antara
mereka rela bersitegang, gegeran dengan saudara, teman, sahabat, tetangga,
demi membela keyakinan mengusung calon harapannya.
Sekarang ketika Jokowi sudah menjadi orang satu, para
pendukung dengan penuh harap dan doa serta kerja sepenuh hati selalu siap
mendukung dan melaksanakan kebijakannya. Wajah sumringah para pendukung itu
berbalut semangat perubahan dengan slogan Indonesia Hebat, siap menunggu
langkah nyata yang prorakyat.
Tetapi apa yang terjadi? Yang muncul justru kekecewaan
demi kekecewaan. Ketika Jokowi menetapkan Kabinet Kerja, mulai ada sedikit
kekecewaan, ketika ia memilih tim hukum yang ”jauh panggang dari api” untuk
membela rakyat.
Sedikit terobati ketika di tengah kabinet masih ada contoh
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan kiprah berbeda. Ya,
asa masih tersisa. Ketika makin hari kebijakan elite makin jauh dari logika
akal sehat rakyat, asa itu perlahan-lahan namun pasti mulai menipis.
Bagaimana tidak? Diawali kisruh Polri vs Komisi
Pemberantasan Korupsi, yang kemudian berujung pada kriminalisasi KPK dan para
tokoh kritis. Tim Sembilan yang berisi para begawan dan pakar tak
didengarkan. Rekomendasi lembaga sekualitas Komnas HAM dan Komisi Ombusdman
juga dianggap angin lalu.
Harapan pun makin terkikis. Bisa dibayangkan betapa kecewa
pendukung Jokowi. Bukankah pengorbanan mereka sangat besar, namun ternyata
bertepuk sebelah tangan? Pendukung Jokowi hanya ingin balasan sikap ”pemimpin
yang membela rakyat”, ”pemimpin yang berakal sehat dan berlogika seperti
rakyat yang dipimpinnya”. Ternyata asa itu semakin berlalu seiring
bergeraknya waktu.
Defisit Harapan
Apalagikah yang bisa kita tunggu dari kondisi seperti ini?
Logika akal sehat rakyat, dalam sejumlah pemanggungan kekuasaan lewat aneka
kriminalisasi, selalu dipatahkan dengan defensivitas para elite. Setiap
institusi tempat rakyat bersandar harap, selalu dirontokkan dengan
argumentasi dan tindakan yang menghancurkan institusi harapan rakyat itu.
Para penggawa hukum yang harusnya melindungi dan membela rakyat justru
meminggirkan rasa aman rakyat dengan model-model kriminalisasi.
Sementara lembaga-lembaga keadilan satu per satu
dirontokkan, diberangus, dilemahkan, bahkan dihilangkan kewenangannya. Suara
bening akademisi, yang ”digugat” oleh ’’Tajuk Rencana’’ (SM, 7/3/15),
hakikatnya sudah terepresentasikan melalui Tim Sembilan dengan kehadiran
negarawan seperti Ahmad Syafii Maarif, Jimly Ashshiddiqie, Imam B Prasodjo,
hingga Hikmahanto Juwana.
Namun saya melihat, dorongan dari dunia kampus lewat
tekanan-tekanan opini untuk menguatkan suara masyarakat sipil masih belum
terkonsolidasi dengan baik. Penguatan kembali harapan rakyat, kita harapkan
bisa tersemangati oleh kemauan akademisi untuk menggelorakan suara-suara
jernih.
Kalau tekanan opini para begawan itu masih juga diabaikan,
percayalah, kekuasaan hanya akan memancarkan energi negatif ketimbang sawab
maslahatnya. Dan, jika Indonesia mengalami masa-masa gelap itu, apalagi yang
tersisa? Tak ada, tak jua asa… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar