Rabu, 11 Maret 2015

Akankah Anomali Pemberantasan Korupsi Berlalu?

Akankah Anomali Pemberantasan Korupsi Berlalu?

Krisna Harahap  ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR-RI
DETIKNEWS, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Anomali upaya pemberantasan korupsi, hingga kini belum juga berlalu. Hiruk pikuk hukum melanda tak tentu arah. Terakhir, istilah ’kriminalisasi’ menjadi ambigu.

Di satu pihak, istilah itu digunakan untuk serangkaian tindakan penyelidikan/penyidikan yang dilakukan oleh polisi terhadap sejumlah pimpinan dan penyidik KPK serta sejumlah penggiat pemberantasan korupsi. Masalah-masalah lama dibogkar kembali. Apalagi yang baru.

Berlindung di balik laporan masyarakat, polisi berdalih bahwa tindakan penyelidikan/penyidikan itu bukan bentuk kriminalisasi tetapi tindakan yang wajib dilaksanakan oleh polisi. Bukankah setiap laporan anggota masyarakat harus ditindak lanjuti oleh Polri sebagai pelayan masyarakat?

Yang menjadi masalah bagi para penggiat pemberantasan korupsi adalah, mengapa laporan anggota masyarakat itu 'ujuk-ujuk' 'membanjir' pada saat Polri dan KPK sedang hanyut dalam persoalan serius? Jawaban atas pertanyaan ini memang tergantung dari mana jawaban berasal.

Sehebat-hebat badai, pastilah akan berlalu. Begitu juga dengan anomali. Paradigma baru akan muncul seiring sirnanya anomali. Pada saat itu, keseimbangan baru pun bakal tercipta. Tentu saja yang diharapkan adalah suatu keseimbangan di mana lembaga-lembaga penegak hukum melaksanakan tugas dan fungsinya dalam suasana yang harmonis, bukan saling menjegal.

Khusus dalam upaya pemberantasan korupsi, kerja sama saling menghormati saling menunjang di antara institusi itu sungguh sangat diperlukan.

Tak kalah pentingnya adalah kerja sama dengan lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Sudah sejak lama dari lembaga ini muncul peraturan perundang-undangan yang kontroversial. Ada undang-undang yang multi tafsir. Ada pula yang bertentangan dengan undang-undang lainnya. Semuanya menjadikan hakim semakin repot. Begitu juga dengan Mahkamah Agung, lembaga tinggi negara yang diharapkan dapat meminimalisir perbedaan-perbedaan mencolok putusan hakim.

Harmonisasi Perundang-undangan

Harmonisasi peraturan perundang-undangan agar saling mengisi dan tidak saling bertentangan, mutlak dibutuhkan agar setiap undang-undang yang lahir merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan tidak bertabrakan dengan undang-undang yang ada. Sepuluh tahun yang lalu, sebagai anggota Komisi Konstitusi MPR-RI, Penulis berusaha keras memperjuangkan agar lembaga pemberantasan korupsi dimasukkan di dalam Konstitusi. Karena tak membuahkan hasil, kearifan, kejelian, ketekunan dan keberpihakan para wakil rakyat dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi, sangat diperlukan.

Diundangkannya UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menambah jumlah peraturan perundang-undangan yang saling bertabrakan. Undang-undang ini menentukan bahwa yang berhak mengawasi terjadinya penyalahgunaan wewenang yang terdiri dari melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang adalah aparat pengawasan internal instansi yang bersangkutan.

Setelah melakukan pemeriksaan, pengawas internal bakal tiba pada simpulan berupa 'tidak terdapat kesalahan' atau 'terdapat kesalahan administratif' bahkan 'terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara'. 'Istimewa'nya, dalam waktu maksimal 10 hari kerugian negara itu diharapkan akan dikembalikan oleh badan atau pejabat pemerintah yang melakukan.

Ketentuan 'istimewa' lainnya berasal dari Pasal 21 yang menyatakan bahwa suatu putusan Administrasi Pemerintahan baru dapat dinyatakan melampaui wewenang dan sewenang-wenang serta campur aduk setelah diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Vonis majelis hakim dapat berupa sah tidaknya wewenang hingga pembatalan. Putusan PTUN tingkat pertama dapat dibanding. Tetapi setelah itu, upaya hukum akan berakhir dan putusan banding dinyatakan final and binding.

Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU No 30 Tahun 2014 ini, nyata-nyata tidak selaras dengan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Pasal 3 UU ini mengatur bagaimana 'setiap orang yang menyalah gunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara'. Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya Pegawai Negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun.

Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan mencolok di antara kedua undang-undang. Di dalam Pasal 4 UU No 31 Tahun 1999, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku. Artinya, pelaku tetap dihukum, baik pidana penjara,pidana denda dan pidana tambahan. Sebaliknya, dalam UU No 30 Tahun 2014, dalam tempo 10 hari, pelaku dapat mengembalikan kerugian keuangan negara itu. Sejak awal, perbuatannya kendati merugikan keuangan negara, sudah dianggap bukan tindak pidana.

Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa besar pun kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya karena yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif. Ketentuan ini lebih diperjelas dengan tiadanya ketentuan lebih lanjut dalam UU No 30 Tahun 2014 seandainya kerugian negara itu tidak dikembalikan kendati waktu 10 hari telah berlalu. Jelaslah bahwa UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak selaras dengan UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.

Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar