Akankah
Anomali Pemberantasan Korupsi Berlalu?
Krisna Harahap ; Mantan Anggota
Komisi Konstitusi MPR-RI
|
DETIKNEWS,
10 Maret 2015
Anomali upaya pemberantasan korupsi, hingga kini belum
juga berlalu. Hiruk pikuk hukum melanda tak tentu arah. Terakhir, istilah
’kriminalisasi’ menjadi ambigu.
Di satu pihak, istilah itu digunakan untuk serangkaian
tindakan penyelidikan/penyidikan yang dilakukan oleh polisi terhadap sejumlah
pimpinan dan penyidik KPK serta sejumlah penggiat pemberantasan korupsi.
Masalah-masalah lama dibogkar kembali. Apalagi yang baru.
Berlindung di balik laporan masyarakat, polisi berdalih
bahwa tindakan penyelidikan/penyidikan itu bukan bentuk kriminalisasi tetapi
tindakan yang wajib dilaksanakan oleh polisi. Bukankah setiap laporan anggota
masyarakat harus ditindak lanjuti oleh Polri sebagai pelayan masyarakat?
Yang menjadi masalah bagi para penggiat pemberantasan
korupsi adalah, mengapa laporan anggota masyarakat itu 'ujuk-ujuk'
'membanjir' pada saat Polri dan KPK sedang hanyut dalam persoalan serius?
Jawaban atas pertanyaan ini memang tergantung dari mana jawaban berasal.
Sehebat-hebat badai, pastilah akan berlalu. Begitu juga
dengan anomali. Paradigma baru akan muncul seiring sirnanya anomali. Pada
saat itu, keseimbangan baru pun bakal tercipta. Tentu saja yang diharapkan
adalah suatu keseimbangan di mana lembaga-lembaga penegak hukum melaksanakan
tugas dan fungsinya dalam suasana yang harmonis, bukan saling menjegal.
Khusus dalam upaya pemberantasan korupsi, kerja sama saling
menghormati saling menunjang di antara institusi itu sungguh sangat
diperlukan.
Tak kalah pentingnya adalah kerja sama dengan lembaga
legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Sudah sejak lama dari lembaga ini
muncul peraturan perundang-undangan yang kontroversial. Ada undang-undang
yang multi tafsir. Ada pula yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.
Semuanya menjadikan hakim semakin repot. Begitu juga dengan Mahkamah Agung,
lembaga tinggi negara yang diharapkan dapat meminimalisir perbedaan-perbedaan
mencolok putusan hakim.
Harmonisasi Perundang-undangan
Harmonisasi peraturan perundang-undangan agar saling
mengisi dan tidak saling bertentangan, mutlak dibutuhkan agar setiap
undang-undang yang lahir merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan tidak
bertabrakan dengan undang-undang yang ada. Sepuluh tahun yang lalu, sebagai
anggota Komisi Konstitusi MPR-RI, Penulis berusaha keras memperjuangkan agar
lembaga pemberantasan korupsi dimasukkan di dalam Konstitusi. Karena tak
membuahkan hasil, kearifan, kejelian, ketekunan dan keberpihakan para wakil
rakyat dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan upaya pemberantasan korupsi, sangat diperlukan.
Diundangkannya UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan menambah jumlah peraturan perundang-undangan yang saling
bertabrakan. Undang-undang ini menentukan bahwa yang berhak mengawasi
terjadinya penyalahgunaan wewenang yang terdiri dari melampaui wewenang,
mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang adalah aparat
pengawasan internal instansi yang bersangkutan.
Setelah melakukan pemeriksaan, pengawas internal bakal
tiba pada simpulan berupa 'tidak terdapat kesalahan' atau 'terdapat kesalahan
administratif' bahkan 'terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan
kerugian keuangan Negara'. 'Istimewa'nya, dalam waktu maksimal 10 hari
kerugian negara itu diharapkan akan dikembalikan oleh badan atau pejabat
pemerintah yang melakukan.
Ketentuan 'istimewa' lainnya berasal dari Pasal 21 yang
menyatakan bahwa suatu putusan Administrasi Pemerintahan baru dapat
dinyatakan melampaui wewenang dan sewenang-wenang serta campur aduk setelah
diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Vonis majelis hakim dapat
berupa sah tidaknya wewenang hingga pembatalan. Putusan PTUN tingkat pertama
dapat dibanding. Tetapi setelah itu, upaya hukum akan berakhir dan putusan
banding dinyatakan final and binding.
Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU No 30 Tahun
2014 ini, nyata-nyata tidak selaras dengan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.
Pasal 3 UU ini mengatur bagaimana 'setiap orang yang menyalah gunakan
kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara'.
Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan
hanya Pegawai Negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun.
Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan
mencolok di antara kedua undang-undang. Di dalam Pasal 4 UU No 31 Tahun 1999,
pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku.
Artinya, pelaku tetap dihukum, baik pidana penjara,pidana denda dan pidana
tambahan. Sebaliknya, dalam UU No 30 Tahun 2014, dalam tempo 10 hari, pelaku
dapat mengembalikan kerugian keuangan negara itu. Sejak awal, perbuatannya
kendati merugikan keuangan negara, sudah dianggap bukan tindak pidana.
Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa
besar pun kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya karena
yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif. Ketentuan ini
lebih diperjelas dengan tiadanya ketentuan lebih lanjut dalam UU No 30 Tahun
2014 seandainya kerugian negara itu tidak dikembalikan kendati waktu 10 hari
telah berlalu. Jelaslah bahwa UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan tidak selaras dengan UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya
pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar