Rabu, 11 Maret 2015

Dari Dana Siluman sampai Kartel

Dari Dana Siluman sampai Kartel

Bambang Soesatyo  ;  Anggota Komisi III DPR, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA MERDEKA, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

BIROKRASI negara masih sangat kotor. Reformasi birokrasi yang didengungkan sejak awal reformasi tak lebih dari pepesan kosong.

Isu tentang dana siluman pada APBD DKI Jakarta dan masih eksisnya kartel-kartel yang merusak pasar kebutuhan pokok rakyat menjadi bukti bahwa reformasi birokrasi belum menghasilkan apa pun. Birokrasi negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih dikendalikan pemburu rente. Mereka kini fokus mencari dan mencoba modus baru untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Pencarian modus baru terus dilakukan setelah para birokrat tersebut melihat agresivitas KPK dalam beberapa tahun belakangan ini. Salah satu modus yang populer belakangan ini adalah membangun kemitraan dengan pengusaha. Oknum birokrat memuluskan proses memenangkan tender proyek, sedangkan pengusaha berperan mencari barang dengan harga yang menguntungkan.

Biasanya, nilai proyek sudah digelembungkan dengan kesepakatan bagi hasil keuntungan. Itulah yang terjadi pada kasus dana siluman pada APBD DKI dan wajar bila Gubernur Basuki Tjahaja Purnama melaporkan ke KPK. Fenomena ini perlu digarisbawahi pemerintahan Jokowi-JK.

Pemerintah perlu mengkaji ulang desain reformasi birokrasi. Program remunerasi saja rupanya belum cukup. Soalnya, andai tren korupsi dijadikan salah satu indikator keberhasilan maka reformasi birokrasi belum menghasilkan sesuatu yang signifikan. Kualitas pengawasan justru perlu terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Kemajuan teknologi memungkinkan pemerintah meningkatkan mutu pengawasan.

Tidak kalah pentingnya memperbaiki sistem perekrutan CPNS di pusat dan daerah. Kasus yang dilaporkan Ahok ke KPK tak jauh berbeda dari kasus proyek Hambalang yang terkuak pada paruh pertama 2012. Ada delapan kejanggalan dalam realisasi dan pembiayaan Hambalang. Namun, paling heboh adalah proses di DPR.

Sebagian anggota Komisi X yang membidangi olahraga mengaku tidak tahu apa-apa perihal peningkatan skala proyek itu, dari sekolah atlet senilai ’’hanya’’ Rp 125 miliar kemudian berubah menjadi pusat olahraga senilai Rp 1,2 triliun, dengan anggaran tahun jamak. Saat ini pun khalayak mungkin kehabisan katakata untuk mendeskripsikan modus korupsi berkait kasus dana siluman pada APBD DKI itu. Proyek siluman itu sudah terdeteksi pada APBD DKI 2014.

Wujudnya, pengadaan uninterruptible power supply (UPS) komputer dengan anggaran Rp 300 miliar. Padahal, permintaan UPS tidak pernah ada. Konon, hal itu terjadi karena oknum SKPD dipaksa mengisi proyek titipan DPRD. Dalam APBD 2014, Pemprov DKI belum sepenuhnya menerapkan sistem E-budgeting.

Kartel Beras

Dalam APBD DKI 2015, modus yang sama kembali diulangi. Bukan hanya merekayasa rencana belanja UPS melainkan juga menyusupkan beberapa proyek lain senilai Rp 12,1 triliun.

Efektivitas penerapan Ebudgeting untuk APBD 2015 akan memudahkan Ahok menemukan proyek dan dana siluman itu. Selain kasus dana siluman di APBD, pemerintahan Jokowi-JK juga kembali diingatkan tentang masih eksisnya kartel-kartel yang mengendalikan permintaan dan penawaran aneka komoditas kebutuhan pokok rakyat.

Eksistensi kartel-kartel itu setidaknya sudah terbuktikan oleh lonjakan harga beras menjelang akhir Februari 2015. Sewaktu blusukan memantau stok beras di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/2), Jokowi menegaskan, ”Kalau ada yang mengganggu perekonomian, siapa pun dia, saya perintahkan tangkap.”

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel secara terbuka menyinyalir peran kartel beras di balik kenaikan harga. Kini, masyarakat menunggu aksi nyata Presiden dan Menteri Perdagangan. Untuk mengetahui identitas anggota kartel, cukup mempelajari riwayat para importir yang terdaftar di sejumlah kementerian.

Jokowi dan Rachmat Gobel harus bisa memaksa para birokrat menyajikan informasi sejujur-jujurnya. Itu saja. Tentang penyebab lonjakan harga beras, Perum Bulog membela diri dan cenderung menyalahkan pemerintah karena tidak merealisasikan pengadaan 462.000 ton raskin periode November-Desember 2014.

Per bulan realisasi pengadaan raskin mencapai 232.000 ton untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran. Bila kekosongan raskin menjadi penyebab kenaikan harga beras, kenapa Bulog tidak memberi peringatan dini kepada instansi terkait lainnya? Padahal Bulog punya analisis standar tentang sebab akibat bila pengadaan raskin melenceng dari jadwal.

Bulog seharusnya lebih berani mengingatkan instansi terkait untuk mencegah ekses. Stok 1,4 juta ton beras di gudang Bulog cukup untuk memenuhi permintaan pasar 5 bulan ke depan. Sayang, stok sebesar itu tak mampu melindungi rakyat. Lonjakan harga beras sudah terjadi dan rakyat menanggung akibatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar