Dari
Dana Siluman sampai Kartel
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 10 Maret 2015
BIROKRASI negara masih sangat kotor. Reformasi birokrasi
yang didengungkan sejak awal reformasi tak lebih dari pepesan kosong.
Isu tentang dana siluman pada APBD DKI Jakarta dan masih
eksisnya kartel-kartel yang merusak pasar kebutuhan pokok rakyat menjadi
bukti bahwa reformasi birokrasi belum menghasilkan apa pun. Birokrasi negara,
baik di tingkat pusat maupun daerah, masih dikendalikan pemburu rente. Mereka
kini fokus mencari dan mencoba modus baru untuk melakukan tindak pidana
korupsi.
Pencarian modus baru terus dilakukan setelah para birokrat
tersebut melihat agresivitas KPK dalam beberapa tahun belakangan ini. Salah
satu modus yang populer belakangan ini adalah membangun kemitraan dengan
pengusaha. Oknum birokrat memuluskan proses memenangkan tender proyek,
sedangkan pengusaha berperan mencari barang dengan harga yang menguntungkan.
Biasanya, nilai proyek sudah digelembungkan dengan
kesepakatan bagi hasil keuntungan. Itulah yang terjadi pada kasus dana
siluman pada APBD DKI dan wajar bila Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
melaporkan ke KPK. Fenomena ini perlu digarisbawahi pemerintahan Jokowi-JK.
Pemerintah perlu mengkaji ulang desain reformasi
birokrasi. Program remunerasi saja rupanya belum cukup. Soalnya, andai tren
korupsi dijadikan salah satu indikator keberhasilan maka reformasi birokrasi
belum menghasilkan sesuatu yang signifikan. Kualitas pengawasan justru perlu
terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Kemajuan teknologi memungkinkan
pemerintah meningkatkan mutu pengawasan.
Tidak kalah pentingnya memperbaiki sistem perekrutan CPNS
di pusat dan daerah. Kasus yang dilaporkan Ahok ke KPK tak jauh berbeda dari
kasus proyek Hambalang yang terkuak pada paruh pertama 2012. Ada delapan
kejanggalan dalam realisasi dan pembiayaan Hambalang. Namun, paling heboh
adalah proses di DPR.
Sebagian anggota Komisi X yang membidangi olahraga mengaku
tidak tahu apa-apa perihal peningkatan skala proyek itu, dari sekolah atlet
senilai ’’hanya’’ Rp 125 miliar kemudian berubah menjadi pusat olahraga
senilai Rp 1,2 triliun, dengan anggaran tahun jamak. Saat ini pun khalayak
mungkin kehabisan katakata untuk mendeskripsikan modus korupsi berkait kasus
dana siluman pada APBD DKI itu. Proyek siluman itu sudah terdeteksi pada APBD
DKI 2014.
Wujudnya, pengadaan uninterruptible power supply (UPS)
komputer dengan anggaran Rp 300 miliar. Padahal, permintaan UPS tidak pernah
ada. Konon, hal itu terjadi karena oknum SKPD dipaksa mengisi proyek titipan
DPRD. Dalam APBD 2014, Pemprov DKI belum sepenuhnya menerapkan sistem E-budgeting.
Kartel Beras
Dalam APBD DKI 2015, modus yang sama kembali diulangi.
Bukan hanya merekayasa rencana belanja UPS melainkan juga menyusupkan
beberapa proyek lain senilai Rp 12,1 triliun.
Efektivitas penerapan Ebudgeting untuk APBD 2015 akan
memudahkan Ahok menemukan proyek dan dana siluman itu. Selain kasus dana
siluman di APBD, pemerintahan Jokowi-JK juga kembali diingatkan tentang masih
eksisnya kartel-kartel yang mengendalikan permintaan dan penawaran aneka
komoditas kebutuhan pokok rakyat.
Eksistensi kartel-kartel itu setidaknya sudah terbuktikan
oleh lonjakan harga beras menjelang akhir Februari 2015. Sewaktu blusukan
memantau stok beras di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/2), Jokowi
menegaskan, ”Kalau ada yang mengganggu perekonomian, siapa pun dia, saya
perintahkan tangkap.”
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel secara terbuka
menyinyalir peran kartel beras di balik kenaikan harga. Kini, masyarakat
menunggu aksi nyata Presiden dan Menteri Perdagangan. Untuk mengetahui
identitas anggota kartel, cukup mempelajari riwayat para importir yang
terdaftar di sejumlah kementerian.
Jokowi dan Rachmat Gobel harus bisa memaksa para birokrat
menyajikan informasi sejujur-jujurnya. Itu saja. Tentang penyebab lonjakan
harga beras, Perum Bulog membela diri dan cenderung menyalahkan pemerintah
karena tidak merealisasikan pengadaan 462.000 ton raskin periode November-Desember
2014.
Per bulan realisasi pengadaan raskin mencapai 232.000 ton
untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran. Bila kekosongan raskin menjadi penyebab
kenaikan harga beras, kenapa Bulog tidak memberi peringatan dini kepada
instansi terkait lainnya? Padahal Bulog punya analisis standar tentang sebab
akibat bila pengadaan raskin melenceng dari jadwal.
Bulog seharusnya lebih berani mengingatkan instansi
terkait untuk mencegah ekses. Stok 1,4 juta ton beras di gudang Bulog cukup
untuk memenuhi permintaan pasar 5 bulan ke depan. Sayang, stok sebesar itu
tak mampu melindungi rakyat. Lonjakan harga beras sudah terjadi dan rakyat
menanggung akibatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar