Seandainya
Ahok Muslim
Arfanda Siregar ; Pengamat
Gerakan dan Politik Islam
|
KORAN
TEMPO, 10 Maret 2015
Sayang beribu sayang, Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya
Purnama (Ahok) bukan seorang muslim. Sepak terjangnya yang tegas, berani, dan
pantang menyerah memperjuangkan kebenaran identik dengan nilai Islam yang
seharusnya terpatri pada identitas politikus Islam.
Apa yang menjadi sumber keributan antara Ahok dan DPRD DKI
Jakarta persis pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Para anggota Dewan
yang terhormat menuding mantan Bupati Belitung tersebut sengaja tidak
mengirimkan Raperda APBD DKI 2015 yang menjadi usul bersama anggota DPRD dan
Pemerintah Provinsi DKI.
Keterlambatan tersebut dipicu oleh ulah DPRD yang menolak
menggunakan sistem e-budgeting yang telah disiapkan Ahok untuk menguji
akuntabilitas dan transparansi anggaran. Ahok ingin pengajuan rencana
anggaran tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang kental akan aroma
korupsi dan kolusi. Apalagi, Ahok menduga, dalam anggaran tahun lalu terdapat
dana siluman sebesar Rp 12,7 triliun yang merupakan hasil inisiasi anggaran
dari pihak DPRD. Dana tersebut ditengarai digunakan untuk pembelian
uninterruptible power supply (UPS) untuk beberapa sekolah.
Atas penolakan tersebut, DPRD DKI Jakarta pun berang dan
menghukumnya melalui hak angket. Bukannya takut, Ahok malah membalas dengan
melaporkan keberadaan dana siluman tersebut kepada KPK. Dengan bahasa
khasnya, Ahok menantang siapa yang bakal masuk ke penjara. Apakah dia, atau
anggota Dewan. "Makanya, silakan angket diteruskan. Nanti kita buktikan,
saya masuk penjara atau tidak. Kita buktikan siapa yang bohong," kata
Ahok di depan para wartawan sesaat setelah mengadukan keberadaan dana siluman
dalam APBD 2014.
Padahal apa yang menjadi sumber perseteruan tersebut
merupakan gambaran nyata kualitas APBD di seluruh negeri ini. Jika kepala
daerah berkomitmen mendapatkan APBD yang bersih dan akuntabel, langkah Ahok
tersebut harus diikuti.
Sudah bukan rahasia umum lagi, APBD di negeri ini merupakan
hasil perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif. Selama ini, pengesahan
anggaran di daerah berjalan lancar karena Dewan dan eksekutif sama-sama
diuntungkan dengan mark-up anggaran. Baik eksekutif maupun legislatif
menerima jatah sehingga saling menjaga kerahasiaan pencurian uang rakyat.
Atas dasar keinginan mendapatkan anggaran yang benar-benar
bersih dan akuntabel, Ahok melawan arus dan melawan kekuatan legislatif.
Islam mengajarkan kebenaran adalah kebenaran. Insan yang jujur senantiasa
memperjuangkan kebenaran, meskipun harus berlawanan dengan orang lain dan
nyawa menjadi taruhan.
Dari seluruh kepala daerah di negeri ini, yang mayoritas
beragama Islam, tak ada yang seberani Ahok melawan tirani DPRD. Mereka
terlalu cinta pada jabatan dan kemungkinan turut kecipratan hasil
persekongkolan jahat tersebut. Ahok berani secara konfrontatif dan tidak ikut
dalam arus kompromistis seperti gubernur lain, karena nothing to lose.
Baginya, jabatan bukan segala-galanya. Dia tak gila jabatan. Dia tidak rakus,
sehingga tak peduli dapat dimakzulkan oleh parlemen.
Dia mengamalkan wejangan Rasulullah SAW yang berbunyi,
“Katakanlah kebenaran, walaupun pahit.” Seandainya saja Ahok muslim, mungkin
dialah orang yang paling tepat memimpin negeri korup yang mayoritas rakyatnya
muslim ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar