Rabu, 11 Maret 2015

Rumah Aspirasi

Rumah Aspirasi

Aminuddin  ;  Peneliti Sosial dan Politik di Bulaksumur Empat
KORAN TEMPO, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Jika tidak ada aral melintang, wakil rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat akan memiliki Rumah Aspirasi yang akan dibiayai oleh negara. Setiap anggota DPR akan memperoleh dana sekitar Rp 12,5 juta per bulan. Anggaran untuk Rumah Aspirasi tersebut telah disahkan oleh DPR pada 13 Februari. Dengan demikian, keuangan negara akan terbebani oleh Rumah Aspirasi yang dibentuk oleh wakil rakyat.

Rumah Aspirasi dirancang ada di setiap daerah pemilihan anggota DPR. Biaya Rp 1,78 triliun dibagikan kepada 560 orang anggota Dewan. Masing-masing mendapat sekitar Rp 150 juta per tahun, yang ditransfer langsung ke rekening pribadi (editorial Koran Tempo, 6 Maret 2015). Dana tersebut digunakan untuk menampung aspirasi rakyat.

Dasar pembentukan Rumah Aspirasi tertuang dalam Pasal 234 ayat (3) huruf (j) UU MD3 hasil revisi tahun 2014. Rumah Aspirasi diatur pula dalam Tatib DPR, Pasal 1 ayat (18) yang menyatakan bahwa Rumah Aspirasi adalah kantor setiap anggota sebagai tempat penyerapan aspirasi rakyat yang berada di daerah pemilihan anggota yang bersangkutan. Jika membaca bunyi pasal tersebut, jelas sekali bahwa dana Rumah Aspirasi dibiayai dengan uang negara.

Rumah Aspirasi yang diusulkan oleh DPR sudah lama menggaung. Namun dalam beberapa bulan terakhir baru disahkan. Pada 2010, dana aspirasi tersebut pernah dilontarkan di meja wakil rakyat. Namun, karena ada banyak penolakan dari fraksi, terutama dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang ketika itu menjadi partai oposisi, wacana tersebut hilang. Penolakan tersebut bahkan keluar dari ketua umum sendiri, yaitu Megawati Soekarno Putri. Namun sekarang, dana aspirasi tersebut disetujui. Bahkan anggota Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko, menyatakan bantuan Rp 12,5 juta per bulan dari APBN itu akan meningkatkan pelayanan di Rumah Aspirasi (Kompas, 26 Februari 2015).

Rumah Aspirasi seharusnya dibangun wakil rakyat dengan uang pribadi. Hal ini karena Rumah Aspirasi tidak hanya dipakai untuk kepentingan rakyat, bisa saja dipakai oleh partai politik. Anggota DPR adalah representasi dari partai politik. DPR dan partai memiliki keterkaitan yang sangat intim. Ketika DPR membutuhkan dukungan politik, otomatis partai yang akan menjadi basis dukungannya. Begitu pun dengan partai politik. Ketika partai politik membutuhkan semacam tempat, bukan tidak mungkin Rumah Aspirasi yang dibiayai dengan uang rakyat yang akan digunakan sebagai fasilitas partai. Jadi, sangat tidak masuk akal apabila Rumah Aspirasi dibiayai oleh uang negara. Bahkan tidak mungkin Rumah Aspirasi tersebut akan digunakan untuk berkampanye ketika menjelang pemilu.

Melihat hal tersebut, fungsi Rumah Aspirasi berpotensi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat otomatis akan tumpang tindih. Kita sebagai rakyat akan kesulitan membedakan siapa wakil rakyat dan siapa wakil partai.

Sebelum terlambat, semestinya DPR mempertimbangkan kembali agar dana untuk Rumah Aspirasi tersebut tidak berasal dari uang negara. Selayaknya dana tersebut keluar dari kantong anggota Dewan, agar tidak ada tumpang tindih antara kepentingan rakyat dan kepentingan partai politik. Jika kedua kepentingan tersebut berbaur, transparansi anggaran tersebut sulit dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar