Selasa, 17 Maret 2015

Sampai Kapan Rupiah Melemah?

Sampai Kapan Rupiah Melemah?

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

JUJUR saja, saya akhir-akhir ini mulai keteteran untuk menjelaskan me ngapa rupiah mengalami depresiasi sedemikian besar hingga mencapai Rp13.200 per US$ pada pekan lalu. Penjelasan paling standar, yaitu memang adanya tarikan fak tor ekster nal yang sedemikian kuat yang tidak bisa dielakkan rupiah. Namun, ini pun belum memuasakan benar.Apakah benar hanya faktor eksternal? Tidak adakah faktor internal yang ikut memberi tekanan sehingga rupiah seperti terkena `sandwich' atau ditekan dari atas dan bawah?

Mari kita analisis satu per satu, mulai dari faktor eksternal. Perekonomian Amerika Serikat (AS) kini memang tengah menggeliat atau sedang mengalami `musim semi' (spring). Sejumlah indikator memang mengonfirmasi hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi AS terakhir mencapai 2,5% atau lebih tinggi daripada ekspektasi 2%. Sementara inflasi hanya 1,6%. Bahkan, pada Januari 2015 terjadi deflasi (inflasi negatif), yakni -0,1%. Inflasi di AS dikatakan baik jika tidak lebih dari 2%. Meski sebelumnya AS melakukan kebijakan quantitative easing (mencetak uang untuk dibelikan surat berharga pemerintah AS sendiri), tetapi inflasi AS tidak meningkat karena US$ beredar ke seluruh dunia, tidak cuma di AS. Akibatnya, efek inflasinya tidak begitu besar, bahkan hampir tidak ada.

Tingkat pengangguran AS juga menurun drastis hingga level sekarang 5,7%. Memang belum berada pada level `normal' 4%. Namun, kondisi sekarang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan saat krisis subprime mortgage yang memuncak pada 2009-2010.

Data penjualan mobil, salah satu indikator untuk mendeteksi tingkat kesehatan perekonomian AS, juga memberi impresi yang sama. Penjualan mobil di AS pada Februari 2015, lebih tinggi hingga 9% jika dibandingkan dengan Februari 2014. Di sepanjang 2014, penjualan mobil mencapai 16,5 juta unit. Dengan antusiasme konsumen yang lebih besar, diperkirakan tahun ini akan terjual 17 juta unit. Ini akan menjadi data penjualan mobil tertinggi sejak 2001.

Perekonomian AS kian optimistis ketika harga minyak dunia turun separuh, dari US$100 per barel menjadi US$50-US$60 per barel. Lebih dahsyat lagi, penurunan harga tersebut disumbang oleh penemuan minyak nonkonvensional shale gas yang banyak terdapat di tiga negara bagian AS, yakni Colorado, Wyoming, dan Dakota. Cadangan minyak AS kini diperkirakan mencapai 1 triliun barel. Itu jauh berlipat jika dibandingkan dengan pemilik cadangan minyak dunia terbesar, yakni Venezuela (300 miliar barel) dan Arab Saudi (270 miliar barel).

Sementara itu, di sisi lain, perekonomian negara-negara Eropa pengguna euro (zona euro) sedang tidak baik. Bank Sentral Eropa (European Central Bank, ECB) kini ikutikutan the Fed di AS menjalankan kebijakan quantitative easing. Imbasnya seperti pernah dialami US$ dulu, maka kurs euro pun merosot tajam terhadap seluruh mata uang dunia. Ditambah dengan krisis Yunani yang belum ketahuan solusinya, para pemilik modal pun bergegas memindahkan aset-asetnya, dari semula berdenominasi euro menjadi berdenominasi US$.

Itulah alasan utama mengapa US$ sedemikian perkasa akhir-akhir ini. Di satu sisi, prospek perekonomian AS sedemikian bagus. Sementara di sisi lain, prospek perekonomian Eropa sedang tidak baik, sedangkan prospek negara-negara lain kurang menjanjikan. Jepang seperti biasa masih mengalami stagnasi, sedangkan Tiongkok diperkirakan perekonomiannya cuma bakal tumbuh 7% karena didera kenaikan biaya produksi. Beijing juga sudah terlalu banyak polusi sehingga industrialisasinya ha rus dikendalikan.

Bagaimana dengan faktor internal? Secara funda mental ekonomi (economic fundamentals), sebenarnya perekonomian Indonesia sedang baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2014 mencapai 5,02%, tidaklah jelek jika di bandingkan dengan negara-negara emerging mar kets. Pada 2015, pemerintah menargetkan 5,7%. Kalaupun meleset, dugaan saya masih bisa mencapai 5,5%. Ini jelas tidak buruk.

Inflasi 2015 bakal menukik tajam. Diawali dengan deflasi selama dua bulan berturutturut pada Januari dan Februari 2015, rasanya inflasi 2015 bakal dapat ditekan 4 atau 5% saja. Ini juga catatan yang amat menjanjikan. Yang paling dahsyat tentunya ialah adanya energi besar dari sisi anggaran pemerintah (stimulus fiskal) yang diperoleh dari penghematan subsidi BBM yang jumlahnya sekitar Rp250 triliun. Ini semua mestinya menjadi modal besar bagi kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 5,5%.

Kalaupun ada masalah, itu datangnya berasal dari defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang pada 2014 mencapai US$26,5 miliar. Namun, dari sisi defisit perdagangan (trade deficit), sesungguhnya sudah terjadi penurunan dari minus US$4 miliar (2013) menjadi minus US$1,8 miliar (2014) yang disebabkan berkurangnya impor karena penurunan harga minyak dunia. 

Pemerintah akan berusaha keras untuk menurunkan defisit ini melalui beberapa inisiatif. Pertama, pemberian insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi ke Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaanperusahaan induk di negara asal.

Kedua, pemberlakuan bea masuk antidumping. Ini dilakukan untuk mengurangi banjir impor barang-barang yang harganya sengaja dibuat murah (predatory pricing). Ketiga, meningkatkan kunjungan turis asing, antara lain melalui perluasan negara-negara yang visanya akan dibebaskan. Dalam waktu dekat akan diberlakukan ke Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Rusia.

Keempat, meningkatkan penggunaan biofuel sehingga bisa menghemat devisa untuk mengimpor solar. Semua langkah tersebut, saya duga memang akan bisa memperbaiki transaksi berjalan, yakni kombinasi antara mendorong lebih banyak devisa masuk dan mengurangi arus devisa keluar. Pendeknya, defisit neraca transaksi berjalan akan bisa dikurangi. Namun, masalahnya semua hal itu bakal makan waktu, tidak bisa segera atau serta-merta. Misalnya, soal meningkatnya turis asing datang ke Indonesia, saya perkirakan paling cepat terjadi semester depan. Begitu pula kebijakan antidumping, apa lagi soal insentif pajak bagi investor asing di sini. Semuanya butuh waktu.

Karena itu, perlu dipikirkan lagi, apa faktor lainnya yang bisa membuat rupiah menguat? Saya berpikir bahwa harus ada senti men positif yang ditiupkan dari sisi nonekonomi, seperti halnya dulu kita pernah mengalami adanya `efek Jokowi' yang tinggi, saat pasar menyambut gembira pencalonan Jokowi menjadi presiden. Lalu, efek Jokowi apa lagi yang bisa membantu rupiah? Menurut saya, karut-marut sektor politik, terutama dalam proses pencalonan Kapolri dalam dua bulan terakhir menjadi faktor yang membuat rupiah tak kunjung menguat, bahkan merosot. Saya menduga, faktor kepemimpinan (leadership) Presiden Jokowi yang kurang berani dan cepat mengambil keputusan (kurang decisive) menjadi kendalanya.

Ketika pasar menilai bahwa Presiden Jokowi terasa lemah dan di bawah ekspektasi dalam kualitas kepemimpinannya, maka para pemilik modal pun segera mencari aman, yakni tukarkan kekayaannya dari denominasi rupiah menjadi denominasi US$. Sedemikian sederhana saja. Dalam istilah teknis ekonomi, fenomena ini disebut flight to safety dan flight to quality.

Dunia usaha dan para pemilik modal pada dasarnya memerlukan faktor kepastian (certainty). Jika yang mereka hadapi justru sebaliknya, yakni ketidakpastian (uncertainty), tidak mengherankan mereka pun akan `menubruk' valuta asing (terutama USD) untuk menyelamatkan aset-asetnya yang semula berbentuk rupiah.

Presiden Jokowi hendaknya menyadari kekurangan ini. Di awal-awal konflik KPK vs Polri, memang belum ada tanda-tanda bahwa hal itu berpengaruh terhadap indikator ekonomi yang sensitif, seperti kurs rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Rupiah masih bertengger di Rp12.700 per US$ dan IHSG justru mencapai rekor baru 5.500. Namun, semua itu tentu ada batasnya. 

Ketika masalah politik terus berlarut-larut dan mulai muncul tandatanda kepemimpinan Presiden Jokowi terganggu kualitasnya, maka pasar pun mulai merespons negatif. Itulah yang terjadi sekarang. Kelelahan dan kekecewaan pasar diekspresikan menjadi sentimen negatif berupa pelemahan rupiah menjadi Rp13.200 per US$ dan IHSG kembali terkoreksi ke 5.426 pada penutupan akhir pekan lalu.

Namun, saya masih yakin bahwa hal ini bersifat sementara. Saya mendorong agar Presiden Jokowi kembali menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Esensi kepemimpinan pada hakikatnya ialah bagaimana mengambil keputusan secara berani dan cepat (decisiveness tinggi). Hal itu pasti mengandung risiko. Namun, pemimpin memang harus berani menempuhnya. Jangan biarkan masalah menjadi berlarut-larut sehingga kian runyam tak terkendali. Inilah faktor yang sedang tidak kita miliki sekarang. Rupiah masih bisa ditolong. Saya tetap yakin bahwa kurs rupiah yang mendekati ekuilibrium ialah di bawah Rp13.000 per US$, mungkin di sekitar Rp12.700 per US$ karena di sisi lain, AS pun juga tidak akan suka jika mata uangnya terus-menerus menguat yang justru akan mengganggu daya saing mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar