Sampai
Kapan Rupiah Melemah?
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik, Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2015
JUJUR saja, saya
akhir-akhir ini mulai keteteran untuk menjelaskan me ngapa rupiah mengalami
depresiasi sedemikian besar hingga mencapai Rp13.200 per US$ pada pekan lalu.
Penjelasan paling standar, yaitu memang adanya tarikan fak tor ekster nal
yang sedemikian kuat yang tidak bisa dielakkan rupiah. Namun, ini pun belum
memuasakan benar.Apakah benar hanya faktor eksternal? Tidak adakah faktor
internal yang ikut memberi tekanan sehingga rupiah seperti terkena `sandwich'
atau ditekan dari atas dan bawah?
Mari kita analisis satu
per satu, mulai dari faktor eksternal. Perekonomian Amerika Serikat (AS) kini
memang tengah menggeliat atau sedang mengalami `musim semi' (spring).
Sejumlah indikator memang mengonfirmasi hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi AS
terakhir mencapai 2,5% atau lebih tinggi daripada ekspektasi 2%. Sementara
inflasi hanya 1,6%. Bahkan, pada Januari 2015 terjadi deflasi (inflasi
negatif), yakni -0,1%. Inflasi di AS dikatakan baik jika tidak lebih dari 2%.
Meski sebelumnya AS melakukan kebijakan quantitative easing (mencetak uang
untuk dibelikan surat berharga pemerintah AS sendiri), tetapi inflasi AS
tidak meningkat karena US$ beredar ke seluruh dunia, tidak cuma di AS.
Akibatnya, efek inflasinya tidak begitu besar, bahkan hampir tidak ada.
Tingkat pengangguran AS
juga menurun drastis hingga level sekarang 5,7%. Memang belum berada pada
level `normal' 4%. Namun, kondisi sekarang jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan saat krisis subprime mortgage yang memuncak pada 2009-2010.
Data penjualan mobil,
salah satu indikator untuk mendeteksi tingkat kesehatan perekonomian AS, juga
memberi impresi yang sama. Penjualan mobil di AS pada Februari 2015, lebih
tinggi hingga 9% jika dibandingkan dengan Februari 2014. Di sepanjang 2014,
penjualan mobil mencapai 16,5 juta unit. Dengan antusiasme konsumen yang
lebih besar, diperkirakan tahun ini akan terjual 17 juta unit. Ini akan
menjadi data penjualan mobil tertinggi sejak 2001.
Perekonomian AS kian
optimistis ketika harga minyak dunia turun separuh, dari US$100 per barel
menjadi US$50-US$60 per barel. Lebih dahsyat lagi, penurunan harga tersebut disumbang
oleh penemuan minyak nonkonvensional shale gas yang banyak terdapat di tiga
negara bagian AS, yakni Colorado, Wyoming, dan Dakota. Cadangan minyak AS
kini diperkirakan mencapai 1 triliun barel. Itu jauh berlipat jika
dibandingkan dengan pemilik cadangan minyak dunia terbesar, yakni Venezuela
(300 miliar barel) dan Arab Saudi (270 miliar barel).
Sementara itu, di sisi
lain, perekonomian negara-negara Eropa pengguna euro (zona euro) sedang tidak
baik. Bank Sentral Eropa (European Central Bank, ECB) kini ikutikutan the Fed
di AS menjalankan kebijakan quantitative easing. Imbasnya seperti pernah
dialami US$ dulu, maka kurs euro pun merosot tajam terhadap seluruh mata uang
dunia. Ditambah dengan krisis Yunani yang belum ketahuan solusinya, para
pemilik modal pun bergegas memindahkan aset-asetnya, dari semula berdenominasi
euro menjadi berdenominasi US$.
Itulah alasan utama
mengapa US$ sedemikian perkasa akhir-akhir ini. Di satu sisi, prospek
perekonomian AS sedemikian bagus. Sementara di sisi lain, prospek
perekonomian Eropa sedang tidak baik, sedangkan prospek negara-negara lain
kurang menjanjikan. Jepang seperti biasa masih mengalami stagnasi, sedangkan
Tiongkok diperkirakan perekonomiannya cuma bakal tumbuh 7% karena didera
kenaikan biaya produksi. Beijing juga sudah terlalu banyak polusi sehingga
industrialisasinya ha rus dikendalikan.
Bagaimana dengan faktor
internal? Secara funda mental ekonomi (economic
fundamentals), sebenarnya perekonomian Indonesia sedang baik-baik saja. Pertumbuhan
ekonomi 2014 mencapai 5,02%, tidaklah jelek jika di bandingkan dengan
negara-negara emerging mar kets. Pada 2015, pemerintah menargetkan 5,7%.
Kalaupun meleset, dugaan saya masih bisa mencapai 5,5%. Ini jelas tidak
buruk.
Inflasi 2015 bakal menukik
tajam. Diawali dengan deflasi selama dua bulan berturutturut pada Januari dan
Februari 2015, rasanya inflasi 2015 bakal dapat ditekan 4 atau 5% saja. Ini
juga catatan yang amat menjanjikan. Yang paling dahsyat tentunya ialah adanya
energi besar dari sisi anggaran pemerintah (stimulus fiskal) yang diperoleh
dari penghematan subsidi BBM yang jumlahnya sekitar Rp250 triliun. Ini semua
mestinya menjadi modal besar bagi kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
minimal 5,5%.
Kalaupun ada masalah, itu
datangnya berasal dari defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang pada 2014 mencapai US$26,5 miliar.
Namun, dari sisi defisit perdagangan (trade
deficit), sesungguhnya sudah terjadi penurunan dari minus US$4 miliar
(2013) menjadi minus US$1,8 miliar (2014) yang disebabkan berkurangnya impor
karena penurunan harga minyak dunia.
Pemerintah akan berusaha keras untuk
menurunkan defisit ini melalui beberapa inisiatif. Pertama, pemberian
insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi ke Indonesia yang
tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaanperusahaan induk
di negara asal.
Kedua, pemberlakuan bea
masuk antidumping. Ini dilakukan untuk mengurangi banjir impor barang-barang
yang harganya sengaja dibuat murah (predatory
pricing). Ketiga, meningkatkan kunjungan turis asing, antara lain melalui
perluasan negara-negara yang visanya akan dibebaskan. Dalam waktu dekat akan
diberlakukan ke Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Rusia.
Keempat, meningkatkan
penggunaan biofuel sehingga bisa menghemat devisa untuk mengimpor solar.
Semua langkah tersebut, saya duga memang akan bisa memperbaiki transaksi
berjalan, yakni kombinasi antara mendorong lebih banyak devisa masuk dan
mengurangi arus devisa keluar. Pendeknya, defisit neraca transaksi berjalan
akan bisa dikurangi. Namun, masalahnya semua hal itu bakal makan waktu, tidak
bisa segera atau serta-merta. Misalnya, soal meningkatnya turis asing datang
ke Indonesia, saya perkirakan paling cepat terjadi semester depan. Begitu
pula kebijakan antidumping, apa lagi soal insentif pajak bagi investor asing
di sini. Semuanya butuh waktu.
Karena itu, perlu dipikirkan
lagi, apa faktor lainnya yang bisa membuat rupiah menguat? Saya berpikir
bahwa harus ada senti men positif yang ditiupkan dari sisi nonekonomi,
seperti halnya dulu kita pernah mengalami adanya `efek Jokowi' yang tinggi,
saat pasar menyambut gembira pencalonan Jokowi menjadi presiden. Lalu, efek
Jokowi apa lagi yang bisa membantu rupiah? Menurut saya, karut-marut sektor
politik, terutama dalam proses pencalonan Kapolri dalam dua bulan terakhir
menjadi faktor yang membuat rupiah tak kunjung menguat, bahkan merosot. Saya
menduga, faktor kepemimpinan (leadership)
Presiden Jokowi yang kurang berani dan cepat mengambil keputusan (kurang decisive) menjadi kendalanya.
Ketika pasar menilai bahwa
Presiden Jokowi terasa lemah dan di bawah ekspektasi dalam kualitas
kepemimpinannya, maka para pemilik modal pun segera mencari aman, yakni
tukarkan kekayaannya dari denominasi rupiah menjadi denominasi US$. Sedemikian
sederhana saja. Dalam istilah teknis ekonomi, fenomena ini disebut flight to safety dan flight to quality.
Dunia usaha dan para
pemilik modal pada dasarnya memerlukan faktor kepastian (certainty). Jika yang mereka hadapi justru sebaliknya, yakni ketidakpastian
(uncertainty), tidak mengherankan
mereka pun akan `menubruk' valuta asing (terutama USD) untuk menyelamatkan
aset-asetnya yang semula berbentuk rupiah.
Presiden Jokowi hendaknya
menyadari kekurangan ini. Di awal-awal konflik KPK vs Polri, memang belum ada
tanda-tanda bahwa hal itu berpengaruh terhadap indikator ekonomi yang
sensitif, seperti kurs rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Rupiah
masih bertengger di Rp12.700 per US$ dan IHSG justru mencapai rekor baru
5.500. Namun, semua itu tentu ada batasnya.
Ketika masalah politik terus
berlarut-larut dan mulai muncul tandatanda kepemimpinan Presiden Jokowi
terganggu kualitasnya, maka pasar pun mulai merespons negatif. Itulah yang
terjadi sekarang. Kelelahan dan kekecewaan pasar diekspresikan menjadi
sentimen negatif berupa pelemahan rupiah menjadi Rp13.200 per US$ dan IHSG
kembali terkoreksi ke 5.426 pada penutupan akhir pekan lalu.
Namun, saya masih yakin
bahwa hal ini bersifat sementara. Saya mendorong agar Presiden Jokowi kembali
menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Esensi kepemimpinan pada hakikatnya
ialah bagaimana mengambil keputusan secara berani dan cepat (decisiveness tinggi). Hal itu pasti
mengandung risiko. Namun, pemimpin memang harus berani menempuhnya. Jangan
biarkan masalah menjadi berlarut-larut sehingga kian runyam tak terkendali.
Inilah faktor yang sedang tidak kita miliki sekarang. Rupiah masih bisa
ditolong. Saya tetap yakin bahwa kurs rupiah yang mendekati ekuilibrium ialah
di bawah Rp13.000 per US$, mungkin di sekitar Rp12.700 per US$ karena di sisi
lain, AS pun juga tidak akan suka jika mata uangnya terus-menerus menguat
yang justru akan mengganggu daya saing mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar