Golkar
di Persimpangan Jalan
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 16 Maret 2015
Prahara
di tubuh Partai Golkar kian memanas. Rivalitas kubu Agung Laksono dan kubu
Aburizal Bakrie semakin menjauh dari titik temu untuk bersatu.
Salah
satu faktor pemicu kian panasnya atmosfer konflik di tubuh Golkar adalah
keputusan Kementrian Hukum dan HAM yang mengakui kepengurusan DPP Partai
Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.
Keputusan
yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 10
Maret 2015 ini merujuk pada keputusan Mahkamah Partai Golkar yang ditafsiri
memenangkan munas versi kubu Agung.
Rujukan
hukumnya disandarkan pada Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun
2011 bahwa putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat.
Pascapengakuan, Golkar pun seolah berada di persimpangan jalan. Bingung,
langkah apa lagi yang mesti ditempuh untuk merekatkan kedua kubu, sekaligus
bingung menentukan bandul politiknya pada masa mendatang.
Dilema Kekuasaan
Sebagaimana
diketahui, putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat ambigu. Kesamaan
pendapat terjadi di antara Muladi dan HAS Natabaya, yang berbeda dengan
pendapat Djasri Marin dan Andi Mattalatta. Muladi dan Natabaya
merekomendasikan agar dua kubu menghindari the winner takes all, merehabilitasi mereka yang dipecat, dan
mengajak pihak yang kalah dalam kepengurusan.
Sementara
itu, Djasri Marin dan Andi Mattalatta menyampaikan pendapat yang lebih tegas.
Keduanya menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus
Marham sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal Golkar secara aklamasi tak
demokratis.
Keduanya
juga menilai bahwa pelaksanaan Munas Jakarta sangat terbuka, transparan, dan
demokratis meski memiliki banyak kekurangan. Tak bulatnya pandangan MPG
inilah yang memicu multiinterpretasi atas putusan yang dikeluarkan.
Ini
menjadi celah argumen bagi kubu ARB untuk terus melakukan upaya hukum di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan membawa putusan Kemenkumham ke PTUN DKI
Jakarta. Yang menarik dicermati dari kekisruhan internal Golkar ini ada dua
hal. Pertama, dilema dalam memilih saluran penyelesaian konflik.
Golkar
yang surplus politisi senior tentu menyadari agenda politik mendesak yang
akan dihadapi mereka pada 2015 yakni pilkada serentak. Jika konflik tak
teratasi segera, ancaman nyata ada di depan mata. Sudah terbayang betapa
banyak agenda yang mesti disiapkan struktur Partai Golkar di daerah dalam
menyambut ketatnya persaingan pilkada serentak ini.
Jika
pun Golkar masih bisa ikut serta dalam perhelatan pilkada, belum menjamin
solidnya mesin pemenangan akibat dualisme kepengurusan yang pasti punya imbas
hingga ke struktur Golkar di daerah. Dalam jangka panjang ini juga akan
berpengaruh pada eksistensi Partai Golkar dalam hubungannya dengan
psikopolitis pemilih dan masyarakat.
Seorang
elite Partai Golkar kubu ARB mengkhawatirkan, jika konflik terus
berlarut-larut, bukan mustahil Golkar di Pemilu 2019 akan menjadi one digit
party! Dilema penyelesaian konflik muncul saat pendekatan kultural berupa
islah lewat mediasi gagal total. Lantas muncul alternatif penyelesaian
seperti diatur UU Partai Politik, ternyata juga tak membuahkan putusan jelas.
Sementara
solusi lewat pengadilan atau saluran di luar partai juga mengandung risiko
serius yakni pihak yang kalah biasanya menjadi kelompok penyimpang bahkan
memungkinkan ada partai baru atau partai tandingan yang menggerus konstituen
Golkar. Dilema kedua, yang sesungguhnya lebih besar dan menggoda arah politik
Golkar, yakni kekuasaan!
Sebagaimana
kita ketahui, sejarah Partai Golkar adalah sejarah kekuasaan. Konflik di
tubuh Partai Golkar harus juga dimaknai sebagai per-tarungan antarfaksi yang
akan membawa ke mana arah politik Golkar di era Jokowi-JK. Kubu ARB
berkepentingan membawa Golkar di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), sedangkan
kubu Agung berkeinginan mendulang sumber daya politik dengan merapat ke
Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Tak
dimungkiri, situasi dinamis rezim Jokowi-JK yang sedang mencari titik
keseimbangan politik juga tampaknya membuka peluang besar akomodasi politik.
Langkah pemerintahan Jokowi-JK ini seolah mengonfirmasi tesis Arend Lijhart
dalam bukunya, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), bahwa
dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan
menggunakan demokrasi model konsensus.
Koalisi
membangun pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut. Rekam jejak
elite kekuasaan kita lebih banyak memilih pola ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada
kompetisi politik secara fair. Anatomi kekuasaan Jokowi- JK pun tampaknya
meneruskan tradisi lama yakni mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud
pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.
Jika
Golkar akhirnya juga masuk ke dalam skema koalisi partai pendukung
pemerintah, ini menyebabkan parpol di luar kekuasaan tak lagi efektif di
parlemen. Dengan begitu, pola hubungan promiscuous
atau sering gonta-ganti pasangan di dalam koalisi yang menjadi wajah rezim
SBY juga akan menghiasi wajah kekuasaan Jokowi.
Padahal
Jokowi yang mengikrarkan diri akan membangun koalisi ramping dan berbasis
hubungan tanpa syarat. Meski masuknya Golkar akan menambah dukungan terhadap
Jokowi, saat bersamaan juga secara substantif akan mengundang kritisisme
publik atas nilai keberbedaan rezim Jokowi dibanding SBY dan Soeharto.
Tradisi Baru, Mungkinkah?
Terlepas
dari siapa pun yang memenangi konflik internal di tubuh Golkar, seharusnya
menjadikan momentum saat ini untuk memulai tradisi baru sebagai partai modern
yakni siap di dalam dan di luar kekuasaan. Golkar sudah terbukti memiliki
daya tahan sebagai kolaborator dalam beberapa rezim kekuasaan, tetapi belum
teruji berada di luar pemerintahan.
Ada
beberapa keuntungan bagi Golkar jika lima tahun ke depan konsisten berada di
luar kekuasaan. Pertama, Golkar memiliki kesempatan untuk menata ulang cara
pandang, mental, dan mekanisme keorganisasian. Sejak reformasi hingga
sekarang, Golkar senantiasa disibukkan dengan perburuan kekuasaan dan abai
dengan urusan rumah tangga sendiri, termasuk lemahnya optimalisasi peran
partai dari pusat hingga daerah.
Kedua,
Golkar bisa memaksimalkan posisi strategisnya sebagai partai pemenang kedua
untuk memperkuat peran dan posisi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks
and balances bisa berjalan. Kelompok di luar pemerintahan selama dua periode
SBY nyaris tumpul karena tak mampu menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Ketiga,
keberadaan di luar kekuasaan harusnya menjadi kesempatan Golkar untuk
melakukan reposisi, terutama dalam pola hubungannya dengan basis konstituen.
Persepsi masyarakat tentang Golkar bisa menjadi lebih positif jika mau
bekerja nyata (working in public)
selama lima tahun ke depan.
Bukan
mustahil, Golkar juga akan meraup insentif elektoral seperti PDIP di Pemilu
2014. Mungkinkah terjadi? Sangat bergantung pada mental dan sikap politisi
Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar